BANYAK pendapat pakar hukum tentang efek jera bagi
koruptor di negeri ini. Istilahnya, dalam peribahasa yakni “banyak jalan menuju
Roma”. Maklum, dari tahun ke tahun kasus korupsi makin bertambah saja. Bahkan
di tahun 2014 ini muncul kasus korupsi temuan KPK pada elit-elit politik yang
menjabat gubernur, bupati dan pejabat negara lainnya.
“Saya
menyebut koruptor bertambah terus seperti deret ukur sedang penanganannya atau
pemberatasannya seperti deret hitung saja, satu, dua, tiga dan seterusnya,
meski di Indonesia sudah ada pengadilan khusus tindak pidana korupsi,” tegas
Advokat Dr Ir H Yudi Wibowo Sukinto SH MH.
Terinspirasi
dengan kasus-kasus tersebut, Yudi Wibowo Sukinto membuat tulisan berjudul
“Konsep Efek Jera Bagi Koruptor”. Seterusnya tulisan berbobot tersebut dikirim
ke Sekretariat Negara (Setneg). Ternyata Sudi Silalahi, Menteri Sekretariat
Negara RI, merespon dan tertarik pada tulisan Yudi.
Terbukti
pekan lalu tulisan Yudi sudah muncul di
NEGARAWAN, buletin bulanan berisi Jurnal Kementerian Sekretariat Negara
RI, yang mempunyai motto “Berpikir, Bertindak untuk Kepentingan Bangsa dan
Negara” setebal 163 halaman disertai suplemen galeri foto para negarawan 21
halaman.
Dalam
buletin tersebut, pada halaman satu diisi oleh H Susilo Bambang Yudhoyono,
Presiden RI, sewaktu pertemuan negara penghasil minyak di Nusa Dua, Bali,
dengan judul,“Transcrip of Opening Remarks APEC Leaders Meeting Retreat Session
I” sebanyak 6 halaman. Seterusnya, Sudi Sialahi, Mesneng RI, menulis judul,“Menjadikan
Pemilu 2014 sebagai Bagian dari Kemajuan Pembangunan” sebanyak 6 halaman juga. Dan,
dilanjutkan oleh Waris, Sekjen Dewan Ketahanan Nasional RI, Djohan Effendi,
Priyono Tjiptoherijanto dan J Kristiadi, yang keduanya merupakan pengamat
politik handal.
Berikutnya
adalah tulisan Yudi Wibowo Sukinto sebanyak 7 halaman yang merupakan usulan
kepada pemerintah RI mengenai efek jera bagi koruptor. Dikatakan Yudi yang kini menjadi Dosen
Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep dan menjadi pembicara masalah hukum
di salah satu Radio FM di Surabaya, bahwa efek jera yang diusulkan dimungkinkan
bisa tercapai. Dijelaskan Yudi bahwa tindak pidana korupsi bila terbukti maka
sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim adalah hukuman pokok, hukuman denda
dan hukuman tambahan. Hukuman denda (subsidair) yang menyebut jumlah rupiah
bila tidak dibayar maka diganti dengan hukuman tambahan.
Yudi
mencontohkan kasus korupsi P2SEM yang dilakukan oleh Ketua DPRD Provinsi Jatim,
H Fathorrosyid. Ketika itu selain mendapat hukuman pokok selama 4 tahun, Fathor
diharuskan mengembalikan uang sebesar Rp 5.900.000.000,- atau subsidair selama
5 bulan penjara. “Ternyata ia memilih mendekam di jeruji besi Rutan Medaeng
selama 5 bulan,” tegas alumnus S3 Unibraw Malang ini.
Begitu
pula kasus-kasus korupsi lainnya, seperti yang dilakukan oleh Susno Duaji,
mantan Kabareskrim Mabes Polri, dalam kasus korupsi dana Pengamanan Pilkada Jabar
2008 dan korupsi penanganan PT Salman Arwana Lestari.
“Seharusnya
pidana tambahannya jangan dipidana saja tetapi harus dipekerjakan dengan upah
UMR, misalnya di Jakarta sebesar Rp 2.500.000,- per bulan. Sebab kalau dipidana
tambahan 5 bulan tanpa dipekerjakan maka tak ubahnya ‘pindah tidur’ di penjara.
Maka, jangan salahkan kalau dalam penjara tersebut disibukkan dengan nyabu,
minum minuman keras, judi dan lain-lain secara sembunyi-sembunyi. Pada akhirnya
seusai keluar dari penjara kejahatannya malah meningkat. Dahulunya hanya
sebatas nyabu, bisa meningkat menjadi pengedar sabu dan seterusnya”.
Kembali
pada kasus korupsi, lanjut Yudi, kalau terpidana dendanya sekian miliar tetapi
tak mau/mampu bayar maka harus dibagi dengan upah UMR dikalikan bulan, hasilnya
bisa puluhan bulan bahkan bisa saja ratusan bulan. Dan, selama masa tersebut
harus dipekerjakan di bagian upah yang paling rendah. Misalnya, terpidana
peternakan bisa dipekerjakan di bagian membersihkan kandang babi, bisa dipekerjakan memandikan kuda. Terpidana
yang ahli mesin bisa dipekerjakan sebagai sopir. “Bahkan bilamana perlu bisa
diperjakan sebagai tukang korek sampah untuk didaur ulang. Cara-cara demikian
dijamin akan menimbulkan efek jera. Dan bila disosialisasikan maka yang terjadi
adalah enggan melakukan korupsi dan negara kita bisa bersih dari korupsi”.
Yudi
mengharapkan tulisannya berjudul “Konsep Efek Jera Bagi Koruptor” dengan The
Imprisonment for Non Payment of Fine Negara Republik Indonesia yang sudah
dimuat/dibukukan di Majalah Negarawan, Jurnal Kementrian Mensesneg RI, menjadi
acuan RUU KUHAP yang dibuat oleh Prof Dr Andi Hamzah SH. “Sehingga RUU
KUHAP tersebut ada manfaatnya bagi nusa,
bangsa dan negara RI, bisa efektif, selain membuat efek jera pada koruptor juga
dapat digunakan untuk tindak pidana lainnya yang bersifat menimbulkan kerugian
negara/daerah yang diwajibkan oleh undang-undang untuk menggantinya,” harap
Yudi. (Tim)R.26
Advokat Dr Ir H Yudi Wibowo Sukinto SH MH |
No comments:
Post a Comment