TRAGEDI MUDIK
Makan bersama di Masjid Dukuh Dilem, Desa Kebonrejo, Kabupaten Magelang, Jateng, yang membuat kangen para pemudik |
MUDIK atau Pulang Kampung istilah orang Jawa, atau Pulang Basamo untuk masyarakat Minangkabau, kini selalu menjadi agenda tahunan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak
diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan Moehammad Hatta
tanggal 17 Agustus 1945, penduduk yang bersuku-suku
dan berlainan adat-istiadat ini
mulai ingin mengenal daerah lainnya. Pulau Jawa sejak diproklamirkannya
kemerdekaan RI sudah menyandang predikat sebagai pulau yang berpenduduk terbanyak dibanding pulau-pulau
lainnya. Dan, tertuang dalam sejarah kerajaan Majapahit
bahwa penduduk Jawa sudah senang hijrah ke banyak tempat,
misalkan ke Jawa Barat, Malaka bahkan hingga Madagaskar.
Bahkan kini di seantero
dunia sudah banyak negara yang dipadati oleh masyarakat Jawa,
yang kemudian diikuti oleh masyarakat lainnya seperti Padang, Batak, dan lainnya.
“Ngampung dulu ke Jawa
ah, sudah setahun nggak nengok keluarga di Jawa,”
kata Hariyanto, penduduk Cipanas. Padahal Cipanas,
Jawa Barat, kan juga masih di Pulau Jawa ?
“Tapi saya dari Jawa -Lampung,
orangtua saya dari
Jogjakarta sudah imigrasi ke Lampung di Pring Sewu sekarang. Oh ya
sekarang Pring Sewu sudah jadi kabupaten, itu gara-gara
orang Jawa banyak yang pindah ke sana. Wah,
kalau orang Padang hijrahnya ke pasar-pasar,
sedangkan kalau orang Jawa
ke hutan-hutan, he…
he…he…. Kalau seperti
saya ini mudiknya bisa dua
tempat yaitu ke Jogja dan Lampung,”
tambahnya bercanda.
Mudik memang sudah jadi tren, sudah
melanda ke seluruh desa di Indonesia. “Hijrah
sekarang ini bukan saja karena tidak mau disebut
kampungan tapi memang di kampung kan
pendapatan rendah, jadi ya pindah saja dulu,”
kata Tachrir, penduduk Magelang yang
pindah ke Jakarta meskipun semula harus bekerja sebagai
tukang becak namun kini sudah meningkat
jadi tukang ojek dan sudah menjadi anggota Go Ojex. “Soal
mudik harus berangkat, Mas,”
katanya.
Dulu di tahun tujuh puluhan pemudik menggunakan bus,
kereta api, kapal, mungkin sebagian
kecil dengan pesawat. Sekarang meningkat dengan kendaraan pribadi.
Misalkan dengan sepeda motor atau mobil,
sisanya baru naik bus, kereta api, kapal dan pesawat udara
yang sudah dengan tiket murahnya, sudah tidak peduli dengan kondisi jalan yang
kurang baik dan cuaca buruk pun tetap harus ‘HENGKANG’
dari tempat perantauan.
Memang, dengan adanya
pemudik bisa meningkatkan taraf hidup pengusaha angkutan yang memang tidak
pernah mundur, pedagang kaki lima di jalur-jalur
pemudik, kebutuhan bensin naik tajam, masjid-masjid dan
mushala menjadi sasaran untuk istirahat dan isi
perut.
Memang, nyaman bisa
berkumpul bersama dengan keluarga di kampung, bisa cerita-cerita
pengalaman ketika di perantauan, bercanda-ria dengan
saudara-saudara dan teman-teman, yang
akhirnya menarik minat saudara-saudara dan teman-teman
untuk ikut jika kembali ke perantauan.
Kecelakaan mobil di Ciamis yang melukai 5 penumpangnya |
Namun, tidak sedikit yang menuai
bencana. Saat mengendarai sepeda motor misalnya, terjadi
tabrakan antarsepeda motor atau tertabrak kendaraan
yang lebih besar, bus luar kota, misalnya, yang
sopirnya kadang ugal-ugalan.
Jalan tol yang sudah
dibangun di mana-mana untuk digunakan dengan sebaik-baiknya
dan seaman-amannya, malah menjadi ajang kebut-kebutan
yang mengakibatkan tewasnya para pengguna jalan tol tersebut. Misalnya,
Tol Cipali (Cipularang Palimanan) yang baru saja diresmikan,
sudah memakan korban yang mungkin belum ratusan tapi sudah cukup
banyak. Contoh, kecelakaan Suzuki Panther menabrak truk yang sedang parkir menewaskan
5 penumpangnya, Gran Max yang menewaskan 7 penumpangnya, bus
yang menewaskan 12 orang. Laka lantas mobil Avanza yang terjadi
di Ciamis melukai 5 penumpangnya, di Sukabumi truk
terbalik melukai sopir dan pembantu sopirnya. Sehingga
mengundang komentar Wakil Gubernur Jawa
Barat, Dedy Miswar, yang
mengusulkan di jalan tol diberi 0alat pengejut untuk mengurangi
rasa kantuk para sopir. Juga dikatakan
setiap 30 km mesti ada tempat ‘REST AREA’ atau lebih baik
menggunakan bahasa Indonesia ‘TEMPAT ISTIRAHAT’. Bisa saja bahasa
Inggris digunakan tapi
sebagai bahasa kedua.
Gelombang perantau dari desa menuju kota-kota
besar tiap tahunnya selalu bertambah, karena memang untuk mencari
nafkah baik usaha ataupun bekerja di desa sangat
terbatas. Memang tidak semua tidak berhasil hidup di desa, sebagian kecil masyarakat
yang kreatif di desa juga bisa hidup setara dengan yang di
kota besar. Bahkan ada juga yang bisa melebihi pendapatan
yang hidup di kota besar. Namun saat ini lapangan usaha atau
kerja di desa tetap
tidak mencukupi dengan jumlah tenaga kerjanya yang semakin lama
semakin membengkak. Hingga sudah banyak juga yang memutuskan untuk pergi
bekerja ke luar negeri. Mereka berjuang
untuk mencari nafkah yang dianggap lebih baik dibanding di
negara sendiri, seperti
ke Australia, Selandia Baru, Amerika, Kanada,
Eropa, juga Guyana. Entah kapan, masyarakat
Jawa dari Guyana (orang Jawa yang dibawa penjajah Belanda) akan memproklamirkan
bahasa Jawa menjadi bahasa dunia yang pertama.
Rencana pemerintahan ORDE LAMA untuk
memusatkan perhatian USAHA dan KERJA di UDIK (Desa) yang didengung-dengungkan
sejak pemerintahan ORDE BARU, ORDE REFORMASI dan kini ORDE
KERJA, dibantu diingatkan oleh penyanyi IWAN FALS dengan sepotong kata-katanya
membangun desa itu lebih diutamakan daripada di kota, namun belum
juga terlaksana. Meskipun terlihat Orde Kerja ingin
melaksanakan rencana pemerintahan SOEKARNO ini,
namun terganjal oleh oknum-oknum yang masih suka
dengan kata-kata ‘UDIK’ itu kampungan. Jadi
jangan naikkan derajat orang kampung, lebih menarik besarkan
KOTA BESAR supaya lebih besar, supaya di luar sana
melihat Indonesia itu besar IT’S A BIG CITY. Demikian celoteh
seorang bule dari Selandia Baru ketika mengomentari tentang Jakarta.
BENAR, Jakarta is never sleep city. Tidak ada kota-kota
lain di dunia ini dengan tingkat kesibukan seperti Jakarta. Namun hasilnya
ekonominya ‘ZERO’. Dibanding dengan kota Sydney, Auckland,
misalnya, dengan kesibukan yang biasa saja, tidak ada
aksi mudik tapi hasil kerjanya bisa ‘TERLIHAT MATA’. Juga
Shanghai yang harus bilang ‘WOW’ gitu ?!?! Dan
pendatang baru HO CHI MINH City yang usianya baru berumur beberapa kali panen
jagung.
Ya, kita ingat POLITIK mercu suar yaitu
tanda mercu suar yang indah dari jauh tapi ternyata belang-bonteng
jika dilihat dari dekat, ini tidak sejalan dengan moto iklan foto ‘LEBIH INDAH
DARI WARNA ASLINYA’ yang mestinya bisa berkaca pada moto itu. So, semakin
dekat semakin indah, namun jangan keropos dalamnya ‘seperti
balon’. Ya, mesti seperti batu akik, warnanya
indah, halus dan berisi.
Memang,
bukan tanggung jawab Presiden Jokowi sebagai pelaksana tugas proyek, ini
tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita
bangsa guna meratakan harta kekayaan yang katanya ‘GEMAH RIPAH LOH JINAWI’ tapi
belum ‘TOTO TENTREM KERTO RAHARJO’ (teratur,
adil dan makmur).
Nah, jika proyek ini berhasil,
tidak ada lagi bencana MUDIK, yang ada Ayo mudik tanpa kembali ke kota perantauan,
lalu ayo kita jalan-jalan saja, ke mana
saja yang diinginkan bahkan keliling dunia DENGAN KAPAL PESIAR ?
Atau PESAWAT ? Pun di-‘IYA’-kan.
Jangan penduduk keturunan asing saja yang bisa keliling dunia. PRIBUMI MESTI
BISA. Ayo maju… ayo maju… ayo maju… maju… Kata
seorang sopir angkot. Mari berkaca dengan usaha angkutan ini
yang usahanya selalu jalan ke depan dan
MAJU terus. Karena kalau angkot jalannya
mundur ya nabrak-nabrak to yo !!!
BRAVO KABINET KERJA. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Budi Slamet Riyadi
Kepala Perwakilan
Majalah FAKTA Jakarta
No comments:
Post a Comment