Saturday, September 12, 2015

OPINI

TRAGEDI MUDIK

Makan bersama di Masjid Dukuh Dilem, Desa Kebonrejo,
Kab
upaten Magelang, Jateng, yang membuat kangen para pemudik
MUDIK atau Pulang Kampung istilah orang Jawa, atau Pulang Basamo untuk masyarakat Minangkabau, kini selalu menjadi agenda tahunan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan Moehammad Hatta tanggal 17 Agustus 1945, penduduk yang bersuku-suku dan berlainan adat-istiadat ini mulai ingin mengenal daerah lainnya. Pulau Jawa sejak diproklamirkannya kemerdekaan RI sudah menyandang predikat sebagai pulau yang berpenduduk terbanyak dibanding pulau-pulau lainnya. Dan, tertuang dalam sejarah kerajaan Majapahit bahwa penduduk Jawa sudah senang hijrah ke banyak tempat, misalkan ke Jawa Barat, Malaka bahkan hingga Madagaskar. Bahkan kini di seantero dunia sudah banyak negara yang dipadati oleh masyarakat Jawa, yang kemudian diikuti oleh masyarakat lainnya seperti Padang, Batak, dan lainnya.
Ngampung dulu ke Jawa ah, sudah setahun nggak nengok keluarga di Jawa,” kata Hariyanto, penduduk Cipanas. Padahal Cipanas, Jawa Barat, kan juga masih di Pulau Jawa ? Tapi saya dari Jawa -Lampung, orangtua saya dari Jogjakarta sudah imigrasi ke Lampung di Pring Sewu sekarang. Oh ya sekarang Pring Sewu sudah jadi kabupaten, itu gara-gara orang Jawa banyak yang pindah ke sana. Wah, kalau orang Padang hijrahnya ke pasar-pasar, sedangkan kalau orang Jawa ke hutan-hutan, he he…he…. Kalau seperti saya ini mudiknya bisa dua tempat yaitu ke Jogja dan Lampung, tambahnya bercanda.
Mudik memang sudah jadi tren, sudah melanda ke seluruh desa di Indonesia. “Hijrah sekarang ini bukan saja karena tidak mau disebut kampungan tapi memang di kampung kan pendapatan rendah, jadi ya pindah saja dulu,” kata Tachrir, penduduk Magelang yang pindah ke Jakarta meskipun semula harus bekerja sebagai tukang becak namun kini sudah meningkat jadi tukang ojek dan sudah menjadi anggota Go Ojex. “Soal mudik harus berangkat, Mas, katanya.
Dulu di tahun tujuh puluhan pemudik menggunakan bus, kereta api, kapal, mungkin sebagian kecil dengan pesawat. Sekarang meningkat dengan kendaraan pribadi. Misalkan dengan sepeda motor atau mobil, sisanya baru naik bus, kereta api, kapal dan pesawat udara yang sudah dengan tiket murahnya, sudah tidak peduli dengan kondisi jalan yang kurang baik dan cuaca buruk pun tetap harus ‘HENGKANG’ dari tempat perantauan.
Memang, dengan adanya pemudik bisa meningkatkan taraf hidup pengusaha angkutan yang memang tidak pernah mundur, pedagang kaki lima di jalur-jalur pemudik, kebutuhan bensin naik tajam, masjid-masjid dan mushala menjadi sasaran untuk istirahat dan isi perut.
Memang, nyaman bisa berkumpul bersama dengan keluarga di kampung, bisa cerita-cerita pengalaman ketika di perantauan, bercanda-ria dengan saudara-saudara dan teman-teman, yang akhirnya menarik minat saudara-saudara dan teman-teman untuk ikut jika kembali ke perantauan.
Kecelakaan mobil di Ciamis yang melukai 5 penumpangnya
Namun, tidak sedikit yang menuai bencana. Saat mengendarai sepeda motor misalnya, terjadi tabrakan antarsepeda motor atau tertabrak kendaraan yang lebih besar, bus luar kota, misalnya, yang sopirnya kadang ugal-ugalan.
Jalan tol yang sudah dibangun di mana-mana untuk digunakan dengan sebaik-baiknya dan seaman-amannya, malah menjadi ajang kebut-kebutan yang mengakibatkan tewasnya para pengguna jalan tol tersebut. Misalnya, Tol Cipali (Cipularang Palimanan) yang baru saja diresmikan, sudah memakan korban yang mungkin belum ratusan tapi sudah cukup banyak. Contoh, kecelakaan Suzuki Panther menabrak truk yang sedang parkir menewaskan 5 penumpangnya, Gran Max yang menewaskan 7 penumpangnya, bus yang menewaskan 12 orang. Laka lantas mobil Avanza yang terjadi di Ciamis melukai 5 penumpangnya, di Sukabumi truk terbalik melukai sopir dan pembantu sopirnya. Sehingga mengundang komentar Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Miswar, yang mengusulkan di jalan tol diberi 0alat pengejut untuk mengurangi rasa kantuk para sopir. Juga dikatakan setiap 30 km mesti ada tempat ‘REST AREA’ atau lebih baik menggunakan bahasa Indonesia ‘TEMPAT ISTIRAHAT’. Bisa saja bahasa Inggris digunakan tapi sebagai bahasa kedua.
Gelombang perantau dari desa menuju kota-kota besar tiap tahunnya selalu bertambah, karena memang untuk mencari nafkah baik usaha ataupun bekerja di desa sangat terbatas. Memang tidak semua tidak berhasil hidup di desa, sebagian kecil masyarakat yang kreatif di desa juga bisa hidup setara dengan yang di kota besar. Bahkan ada juga yang bisa melebihi pendapatan yang hidup di kota besar. Namun saat ini lapangan usaha atau kerja di desa tetap tidak mencukupi dengan jumlah tenaga kerjanya yang semakin lama semakin membengkak. Hingga sudah banyak juga yang memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri. Mereka berjuang untuk mencari nafkah yang dianggap lebih baik dibanding di negara sendiri, seperti ke Australia, Selandia Baru, Amerika, Kanada, Eropa, juga Guyana. Entah kapan, masyarakat Jawa dari Guyana (orang Jawa yang dibawa penjajah Belanda) akan memproklamirkan bahasa Jawa menjadi bahasa dunia yang pertama.
Rencana pemerintahan ORDE LAMA untuk memusatkan perhatian USAHA dan KERJA di UDIK (Desa) yang didengung-dengungkan sejak pemerintahan ORDE BARU, ORDE REFORMASI dan kini ORDE KERJA, dibantu diingatkan oleh penyanyi IWAN FALS dengan sepotong kata-katanya membangun desa itu lebih diutamakan daripada di kota, namun belum juga terlaksana. Meskipun terlihat Orde Kerja ingin melaksanakan rencana pemerintahan SOEKARNO ini, namun terganjal oleh oknum-oknum yang masih suka dengan kata-kata ‘UDIK’ itu kampungan. Jadi jangan naikkan derajat orang kampung, lebih menarik besarkan KOTA BESAR supaya lebih besar, supaya di luar sana melihat Indonesia itu besar IT’S A BIG CITY. Demikian celoteh seorang bule dari Selandia Baru ketika mengomentari tentang Jakarta. BENAR, Jakarta is never sleep city. Tidak ada kota-kota lain di dunia ini dengan tingkat kesibukan seperti Jakarta. Namun hasilnya ekonominya ‘ZERO’. Dibanding dengan kota Sydney, Auckland, misalnya, dengan kesibukan yang biasa saja, tidak ada aksi mudik tapi hasil kerjanya bisa ‘TERLIHAT MATA’. Juga Shanghai yang harus bilang ‘WOW’ gitu ?!?! Dan pendatang baru HO CHI MINH City yang usianya baru berumur beberapa kali panen jagung.
Ya, kita ingat POLITIK mercu suar yaitu tanda mercu suar yang indah dari jauh tapi ternyata belang-bonteng jika dilihat dari dekat, ini tidak sejalan dengan moto iklan foto ‘LEBIH INDAH DARI WARNA ASLINYA’ yang mestinya bisa berkaca pada moto itu. So, semakin dekat semakin indah, namun jangan keropos dalamnya ‘seperti balon’. Ya, mesti seperti batu akik, warnanya indah, halus dan berisi.
Memang, bukan tanggung jawab Presiden Jokowi sebagai pelaksana tugas proyek, ini tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita bangsa guna meratakan harta kekayaan yang katanya ‘GEMAH RIPAH LOH JINAWI’ tapi belum TOTO TENTREM KERTO RAHARJO’ (teratur, adil dan makmur).
Nah, jika proyek ini berhasil, tidak ada lagi bencana MUDIK, yang ada Ayo mudik tanpa kembali ke kota perantauan, lalu ayo kita jalan-jalan saja, ke mana saja yang diinginkan bahkan keliling dunia DENGAN KAPAL PESIAR ? Atau PESAWAT ? Pun di-‘IYA’-kan. Jangan penduduk keturunan asing saja yang bisa keliling dunia. PRIBUMI MESTI BISA. Ayo maju… ayo maju… ayo maju maju… Kata seorang sopir angkot. Mari berkaca dengan usaha angkutan ini yang usahanya selalu jalan ke depan dan MAJU terus. Karena kalau angkot jalannya mundur ya nabrak-nabrak to yo !!! BRAVO KABINET KERJAweb majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Budi Slamet Riyadi
Kepala Perwakilan Majalah FAKTA Jakarta

No comments:

Post a Comment