POTRET suram terlihat di
sejumlah perempatan jalan di Kota Makassar. Upaya Pemkot Makassar untuk menekan
jumlah anak jalanan (anjal) dan gelandangan dan pengemis (gepeng) sejauh ini
masih jauh dari harapan. Seolah tak berpengaruh dengan perhelatan politik,
mereka memilih beraktifitas hanya dengan alasan untuk menyambung hidup.
Optimalisasi pembinaan anjal melalui tim terpadu dengan mendirikan posko di
titik-titik rawan kehadiran anjal, juga mulai tak beroperasi lagi. Posko
terpadu pun tidak berfungsi maksimal, bahkan menjadi tempat berteduh anjal dan
gepeng.
Menanggapi hal itu Anggota Komisi D Bidang Kesra DPRD Kota
Makassar, Stafuns Swardi Hiong, mengungkapkan, persoalan anjal tidak lagi
berakar pada aspek sosial. Namun menjadi mata pencaharian terorganisir yang
dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Jadi, soal anjal dan gepeng ternyata bukan
lagi faktor sosial tapi sudah bergeser pada upaya kejahatan, khususnya
perlindungan anak. Karena mulai terorganisir oleh jaringan dari kelompok
tertentu. Untuk itu, menurutnya, Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar diharapkan
tidak hanya melakukan pembinaan terhadap anjal namun mengungkap para pelaku
yang mengorganisir para anjal tersebut. Fakta yang ia temukan, beberapa anjal
dan gepeng kebanyakan berasal dari luar Kota Makassar yang notabene memilih profesi meminta-minta karena alasan keuntungan
yang besar.
“Jadi, kebanyakan dari mereka adalah masyarakat urban
dari sejumlah daerah di Sulsel. Mereka datang menyewa tempat kemudian beraktifitas
menggunakan pakaian layaknya pengemis lalu meminta-minta di jalanan Kota
Makassar. Padahal sebagian besar dari mereka punya handphone dan motor. Jadi, ada kecenderungan kalau pengemis menjadi
profesi alternatif mereka,” ucap Swardi.
Anjal yang setiap hari mengemis di warung kopi wilayah
Panakukkang, Rendi, Sinta dan Sitti (samaran) memilih profesi ini lantaran
desakan dari orangtua mereka. “Kalau tidak mau disuruh begitu saya dipukuli,”
aku mereka. Mereka pun mengaku mulai beraktifitas dari pagi hingga malam. Biasanya
hasil dari mengemis itu mereka antarkan ke orangtuanya yang berprofesi sama.
Mereka biasanya berkelompok dan biasanya bertempat di areal pelataran Mall
Panakukkang atau perempatan lampu merah.
Begitu juga dengan kelompok lainnya. Sebagian teman mereka
memilih tempat beroperasi di setiap pembayaran loket parkir keluar Mal
Panakukkang atau mengikuti ibu-ibu yang ada uang kembaliannya.
Sebelumnya, Dinsos Kota Makassar
memprediksi ada 100 lebih titik potensi aktifitas anjal dan pengamen di
Makassar. Namun pada tahun 2013 Dinsos hanya mampu mengoptimalkan 10 posko tim
terpadu pembinaan anjal. Dinsos sebelumnya mengaku melakukan tim penindakan yang
terdiri dari Satpol PP dan Tripika setiap kecamatan. Faktanya, upaya Dinsos
belum memberikan dampak positif terhadap punurnan jumlah anjal di Makassar. (Tim) majalah fakta online
No comments:
Post a Comment