DINILAI tidak bisa melunasi kreditnya, Ariadi Budi
Setiawan terancam kehilangan rumahnya. Kepada Budi Chaerul Budiman dari FAKTA, Ariadi
mengungkapkan bahwa usahanya yang selama ini dirintis tiba-tiba jatuh, untuk
mempertahankan usahanya tersebut Ariandi mengajukan kredit ke Bank Mega Cabang
Soekarno Hatta Bandung. Uang kredit sebesar Rp 130 juta dia gunakan untuk
mengembangkan kembali usahanya, namun keberuntungan belum berpihak kepadanya
sehingga usahanya semakin merosot. Hal itu jelas berdampak pada cicilan yang
harus dibayar ke Bank Mega setiap bulannya. Selanjutnya dia dianggap tidak
mampu membayar angsuran hutangnya sebesar Rp 5 juta setiap bulannya.
Ariadi
menerima surat dari Bank Mega perihal perubahan denda pembayaran dipercepat
tertanggal 14 Maret 2013 dengan nomor 103/BSH/III/2013, yang intinya terhitung tanggal 4 Maret 2013 denda bagi
debitur KUK yang melakukan pelunasan fasilitas pinjaman jatuh tempo adalah
sebesar 5 kali angsuran.
Selang
beberapa hari setelah menerima surat tersebut, Ariadi melihat adanya pengumuman
kedua lelang eksekusi hak tanggungan di salah satu media cetak terbitan Bandung
tertanggal 13 Maret 2013 mengenai tanah dan bangunan dengan sertifikat hak guna
bangunan No.1233 dengan luas tanah 84 m2 yang terletak di Griya Cempaka Arum
atas nama Lily Gina Martini yang akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) Bandung tanggal 27 Maret 2013.
Menurut
Ariadi, pengumuman kedua lelang eksekusi hak tanggungan di salah satu media cetak
tanggal 13 Maret 2013 tersebut terkesan terburu-buru dan terkesan tidak
memberikan waktu sama sekali kepada Ariadi selaku debitur. Ironisnya, lelang
tersebut dimenangkan oleh Taralam Sinaga yang juga mantan pegawai KPKNL. Berdasarkan
risalah lelang tersebut sertifikatnya pun berubah nama menjadi atas nama
pemenang lelang. "Pagi-pagi saya dijemput oleh pihak Bank Mega dan saya
dipaksa ikut ke kantor Bank Mega. Di sana saya diintimidasi dan dipaksa harus
menandatangani PPJB," tutur Ariadi saat wawancara dengan FAKTA.
Mendapat
perlakuan tersebut Ariadi merasa terpojok dan menunjuk pengacara Masitoh SH MH dan Hamidah SH yang beralamat di Jalan A H
Nasution, Bandung, agar bisa menangani masalah ini. Melalui pengacaranya itu
Ariadi menggugat PT Bank Mega Cabang Soekarno Hatta sebagai tergugat 1,
Pemerintah Republik Indonesia cq Kementerian keuangan Republik Indonesia cq
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) cq Kantor Wilayah VIII DJKN Bandung
cq Kantor Pelayanan Kekayaan Negara & Lelang (KPKNL) Bandung sebagai turut
tergugat 1 dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung sebagai turut
tergugat II.
Setelah
melalui beberapa kali sidang tiba-tiba sidang gugatan dengan nomor perkara
114/pdt/G/2013/PNBDG tidak berlanjut, dan Masitoh SH MH mengajukan permohonan
pencabutan perkara. "Memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum yang
bersangkutan dengan perkara ini menetapkan mengabulkan permohonan pencabutan
perkara No.114/pdt/G/2013/PN.Bdg dari kuasa penggugat". Itulah sebagian
bunyi penetapan hakim.
Ironisnya,
pencabutan perkara tersebut oleh Masitoh SH MH tidak disampaikan ke Ariadi
selaku kliennya. Ariadi baru tahu adanya pencabutan perkara tersebut setelah
Taralam Sinaga memberikan fotocopyan penetapan hakim itu kepada Ariadi. "Nih lihat pengacara kamu sudah mencabut
perkara ini," ujarnya.
Ariadi
mencoba menghubungi Masitoh SH MH untuk mengklarifikasi pencabutan perkara
tersebut, namun Ariadi tidak berhasil menemuinya bahkan telepon dan SMS-nya
tidak dibalas. Padahal setelah pencabutan perkara tersebut, Masitoh SH MH
seharusnya membatalkan kuasa dari Ariadi. Ariadi pun mencoba konsultasi dengan
pengacara Sas Sembiring SH, namun Sas Sembiring SH menyarankan agar Ariadi
mencabut kuasa dulu dari pengacara sebelumnya yakni Masitoh SH MH. Menurut
Sembiring, pihaknya tidak bisa aktif mendampingi Ariadi, mengingat secara hukum
Masitoh masih pengacaranya Ariadi karena belum dicabut kuasanya. "Silakan Bapak
cabut kuasa dulu dari pengacara sebelumnya," tutur Sembiring SH.
Dikonfirmasi
melalui ponselnya, Masitoh SH MH mengatakan bahwa semua itu hanya salah paham
saja dan dia akan melakukan pencabutan kuasa. Namun, anehnya, pada surat
pencabutan kuasa tersebut Masitoh mencantumkan bulan April 2014, padahal Ariadi
Budi Setiawan mengajukan pencabutan kuasa pada bulan Juni 2014. Dengan demikian
seolah-olah surat pencabutan kuasa tersebut telah dibuat pada bulan April 2014.
"Dia tidak mau tanda tangan kalau pencabutan kuasa tersebut pada bulan
Juni 2014," ujar Ariadi.
Taralam Sinaga selaku pemenang lelang menawarkan
kepada Ariadi Budi Setiawan untuk mengosongkan rumah tersebut dengan kompensasi
sebesar Rp 30 juta, namun Ariadi mencoba untuk melakukan negosiasi agar kompensasi
tersebut bisa dinaikkan lagi. (F.956) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment