HERI Prabu (34), penduduk Kolonel Masturi Cimahi yang pernah
menjadi aktor sinetron Jaka Sembung, diduga menipu mertuanya, H Lili (59),
pengusaha bus Madona trayek Bandung Cililin dan Garut. Ia yang sudah punya
istri Sri Kuntari SSos menikah lagi dengan Angel (15), penduduk Cisaat,
Sukabumi, siswi MTs Negeri Kota Sukabumi. Ia pun sempat menjadi buronan Polda
Jabar.
Kemarin
oleh Pengadilan Negeri (PN) Cibadak, ia dalam kasus lain divonis 30 bulan. Lalu
banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang ternyata putusannya menguatkan
putusan PN Cibadak. Kemudian ia kasasi ke Mahkamah Agung RI yang putusannya
juga menguatkan putusan PT Bandung, yang menyatakan ia terbukti melakukan
penipuan dan penggelapan mobil Avanza milik Yadi dengan kerugian Rp 300 juta
berikut uang pinjaman Rp 50 juta. Perkara ini ditangani oleh Wijaya SH, Advokat
Peradi Cabang Bandung, dengan biaya honorarium Rp 50 juta tapi dibayar Rp 5
juta dengan alasan bapak dan ibunya sedang sakit keras.
Merasa tidak puas terhadap putusan
MA, Heri Prabu yang merasa punya kenalan Iptu Dodi, Kanit Serse Polsek Cisaat, Polres
Sukabumi, lalu membuat laporan polisi seolah-olah ia ditipu oleh Advokat Wijaya
SH. Buntutnya, pada Minggu kemarin, tanpa ada pemanggilan lebih dulu terhadap
Advokat Wijaya SH langsung dilakukan penangkapan di kantornya, Jalan Caringin, Bandung,
dengan membawa anggota 6 orang memakai kendaraan Kijang F 1223 BB. Akan tetapi
Advokat Wijaya SH saat itu sedang tidak ada di tempat karena mengantar berobat
ke luar negeri, yang ada hanya stafnya, Advokat Abdurahman SH. Iptu Dodi berpesan
apabila perkaranya ingin beres harus menyediakan uang sebesar Rp 25 juta.
Karena permintaannya tersebut tidak dipenuhi maka hampir setiap hari Kantor
Advokat Wijaya SH ditongkrongi polisi
secara bergantian seperti petugas Densus nyanggong
teroris saja.
Ketua
Dewan Kehormatan Peradi Pusat, Maruli Simorangkir SH MH, didampingi Sekjen
Peradi, Advokat Ardadam Achyar SH MH, sangat menyayangkan kejadian itu. “Oknum
polisi itu seharusnya mengetahui bahwa anggota Peradi mempunyai hak imunitas
(kekebalan hukum) yang diatur dalam pasal 16 UU No.18 Tahun 2003 yang
memberikan perlindungan kepada advokat yang menjalankan profesinya tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana”.
Ketentuan
itu pun kemudian dipertegas lagi dalam nota kesepakatan (MoU) antara Kapolri dengan
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tertanggal 27 Februari 2012 bahwa baik
sebagai saksi maupun sebagai tersangka harus dilakukan pemanggilan melalui DPN
atau Cabang keberadaan si advokat. “Yang menjadi ganjil, seharusnya 3 kali pemanggilan
berturut-turut tidak hadir baru diadakan penangkapan dikarenakan panggilan
tidak diindahkan oleh tersangka. Bukannya langsung ditangkap seperti itu. Ini
namanya penangkapan semena-mena, melecehkan KUHAP dan Nota Kesepakatan Peradi
dengan Kapolri tertanggal 27 Februari 2012. Advokat itu mempunyai kode etik
sama dengan polisi, kalau advokat diatur dalam UU No.18 Tahun 2013 tentang
advokat yang memuat imunitas. Sedangkan kalau polisi mempunyai UU No.2 Tahun
2002 tentang Polri. Negara kita negara hukum yang berlandaskan kepada ketentuan
pasal 33 UUD 1945 yaitu azas mufakat harusnya saling menghargai sesama penegak
hukum. Kalau salah, uji material melalui kode etik masing-masing, jangan sampai
terjadi benturan antara advokat dan polisi,” kata Abdurahman di ruang kerjanya
sewaktu ditemui FAKTA.
Ketua
Peradi Pusat, Maruli Simorangkir, mengharapkan polisi jangan main tangkap
advokat, lebih baik serahkan kepada Kantor Cabang Peradi setempat tentang
pelanggaran yang telah dilakukan oleh advokat atau bisa langsung ke DPP Peradi. Menurut Advokat Wijaya SH, permasalahan
ini akan diserahkan kepada Kapolda Jabar, Irjen Pol M Irawan, dan Kapolri,
Jenderal Sutarman, supaya kasus pelecehan profesi advokat ini segera ditangani
agar tidak menjadi preseden buruk di dunia hukum kita. (F.481)
� � p �O# % pal) dengan PT BBI yang
diwakili H Suriansyah selaku Dirut dalam hal ini sebagai pihak kedua (penyewa).
Dengan demikian
secara formal, sejak tanggal 03 Februari 2014 kapal Khatulistiwa berada dalam
kendali dan penguasaan PT BBI khususnya operasional lapangan sesuai dengan
kontrak dimaksud. Perizinan, muatan, dan lain-lain menjadi tanggung jawab PT
BBI, sedangkan PT RUB hanya bertanggung jawab mengenai kelayakan melaut atas kapalnya.
Dan, pada tanggal 28 Maret 2014 itu untuk pertama kalinya kapal Khatulistiwa
beroperasi dan langsung ditangkap Polair.
Terlepas
dalam kedudukannya selaku Dirut PT RUB, secara pribadi Rio sudah mengenal
Nurmualip, ditambah terjalin dalam hubungan bisnis ini kedudukannya sebagai
investor dan penyandang dana dari PT BBI. Rio juga mengenal beberapa kapten
kapal yang bisa menjual BBM di laut. Di lain pihak Nurmualip mencari dan akan
membeli BBM di bawah bendera PT BBI. Pada tanggal 27 Maret 2014, Nurmualip
melalui istrinya mentranfer dana pada rekening Rio sebesar Rp 500 juta guna keperluan
membeli BBM tersebut. Kemudian Rio langsung meneruskan dana tersebut kepada Denny
Arifin selaku pengawas PT BBI yang saat itu ikut di kapal dan keesokan harinya
berlayar menuju kapal yang akan menjual BBM dan berhasil membeli 64.600 liter
solar. Namun dalam perjalanan pulang menuju pangkalan PT BBI disergap oleh
Polair. Anehnya, setelah kurang lebih 10 hari kapalnya ditahan di PT Samudera
Cendana, plang PT BBI lenyap entah ke mana dan sebelum itu solar isi lambung
Khatulistiwa sebanyak 64.600 liter dipindahkan ke kapal LCT Mandala.
Dari
kontruksi kejadian dan hubungan hukum, formal maupun non formal, sebagaimana
diuraikan di atas, dapat ditarik benang merah dalam bisnis migas ini sebagai
berikut; H Suriansyah dan Nurmualip dengan bendera PT BBI adalah penyewa kapal
sekaligus penyandang dana pembelian BBM di laut, sedangkan Rio secara pribadi hanya
sebagai tempat transit dana PT BBI karena pengawas PT BBI atau kapten kapal
tidak memiliki rekening dengan jumlah mutasi yang besar. Denny Arifin selaku
pengawas PT BBI adalah eksekutor yang membeli dan membayar BBM, sementara kapten
kapal Khatulistiwa semata-mata hanya menjalankan dan memelihara kapal saja.
Jadi, cukup beralasan jika pasal yang diterapkan adalah pasal 23 jo pasal 53 UU
No.22 Tahun 2001 tentang Migas dan pasal 480 jo 55 dan 56 KUHP, tinggal
mengkualifikasi perbuatan masing-masing personil seperti yang diajarkan pada
teori deelneming.
Dan,
sudah cukup jelas peranan masing-masing personil dalam peristiwa hukum ini,
maka pertanyaannya adalah mengapa H Suriansyah dan Nurmualip yang merupakan
otak atau intelectual dader tidak
dijadikan tersangka ? Maka tidak berlebihan jika bisa ditarik kesimpulan jika
Rio merupakan kambing hitam. Jika jawaban pidananya hanya sampai pada Rio, maka
loloslah intelektual dadernya dan Rio-lah
yang akan menanggung semuanya.
FAKTA mengirim surat konfirmasi ke PT BBI lewat
email, namun sampai saat ini tidak ada balasan. Begitu juga ketika konfirmasi
ke H Suriansyah lewat SMS, tidak mendapat jawaban pula. (F.956) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment