Tuesday, August 5, 2014

ANEKA BERITA : WALHI TERIMA PENGADUAN SENGKETA LAHAN DI KRUENG SIMPO

Satu unit truk sedang mengangkut kayu hasil penyerobotan lahan warga
di Desa Krueng Simpo, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireun
WALHI Aceh menerima pengaduan masyarakat Krueng Simpo, Kabupaten Bireun, terkait kasus sengketa lahan di area kelola masyarakat, Kamis (1/5). Berdasarkan beberapa dokumen yang WALHI Aceh terima, terungkap PT Syaukath Sejahtera diduga telah menyerobot lahan milik masyarakat setempat.
Direktur Walhi Aceh, M Nur, menjelaskan bahwa surat gampong tanggal 12 Februari 2014 tentang Permohonan Penyelesaian Masalah Sengketa Lahan yang ditujukan kepada Bupati dan ditembuskan ke DPRK Bireuen, belum mendapatkan respon. Padahal, dalam surat tersebut pihak aparatur gampong sudah melampirkan hasil rapat dan peta indikatif. “Bahkan masyarakat sudah dipanggil oleh Polres Bireuen atas laporan pihak perusahaan dengan tuduhan menebar intimidasi dan menerobos lahan berdasarkan laporan yang dilayangkan pihak PT ke Polres Bireuen,” jelasnya.
M Nur juga mengutip pernyataan warga saat memberikan laporan bahwa Polres Bireun hanya meminta masyarakat menghentikan pekerjaan di wilayah yang sedang bersengketa, sementara pihak PT Syaukath Sejahtera sendiri tidak diminta oleh Polres Bireuen untuk menghentikan kegiatan mereka di lahan yang hingga saat ini masih bersengketa. Tindakan Polres Bireuen ini justru membuat masyarakat menjadi resah karena kasus lahan tersebut belum diselesaikan dengan baik.
Menurut M Nur, masyarakat sudah menunjukan itikad baik dengan mengirimkan hasil musyawarah gampong pada tanggal 12 Februari 2014 yang meminta pihak perusahaan menghentikan seluruh kegiatan di area yang bersengketa serta meminta perusahaan menunjukkan bukti kepemilikan yang sah terhadap lahan yang dikuasainya. Namun perusahaan hanya menunjukkan lokasi berdasarkan izin prinsip.
Lebih lanjut kata M Nur, masyarakat juga meminta bukti kepemilikan yang sah terhadap lahan rakyat yang diklaim oleh pihak PT tersebut serta dokumen jual beli lahan yang diklaim oleh perusahaan. Tapi sampai sekarang pihak perusahaan belum bisa menunjukkan surat kepemilikan lahan yang sah berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP).
            Masyarakat juga menyampaikan perihal dua anggota TNI yang dipekerjakan untuk melakukan pengamanan terhadap lahan perkebunan perusahaan itu. Keamanan pekerja dan pencari lahan untuk PT tersebut berasal dari Koramil Juli, yang berperan sebagai mandor lapangan sekaligus mesin pendobrak terkait masalah yang dihadapi oleh PT dengan masyarakat.
            “Tidak saja oknum TNI yang terlibat, Geuchik Gampong Krueng Simpo juga dinilai sudah tidak melakukan perlindungan terhadap masyarakatnya. Geuchik Gampong dan tokoh masyarakat dalam rapat dengan masyarakat  pada tanggal 12 April 2014 tidak mau menandatangani surat permohanan penyelesaian masalah sengketa lahan perkebunan rakyat dengan pihak PT Syaukath Sejahtera,” paparnya.
            M Nur menambahkan, surat yang ditujukan kepada Bupati Bireuen ini adalah wujud upaya kooperatif masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan asas musyawarah mufakat. Tapi, Geuchik Krueng Simpo malah terindikasi melakukan kerja sama dengan pihak PT Syaukath Sejahtera yang berperan dalam penyediaan lahan.
            “Untuk itu WALHI Aceh meminta kepada Pemerintah Kabupaten Bireun, lembaga penegak hukum, BPN, DPRK, Dinas Kehutanan dan pihak perusahaan untuk membuka kembali komunikasi penyelesaian kasus ini dengan arif dan bijaksana sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, seperti UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pasal 21 yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan usaha perusakan kebun, dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan,” cetus M Nur mengingatkan.
            Namun, untuk menggunakan dasar hukum ini bagi perusahaan perkebunan diwajibkan memiliki ijin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai dasar bahwa perusahaan berhak mendapatkan usaha perkebunannya. Berdasarkan pasal 21, pelanggar diancam dengan  pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 milyar. “Jangan sampai kasus ini didiamkan hingga terjadi hal-hal negatif dan mengabaikan hukum yang berlaku,” ujarnya. (F.955) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment