SUSILO Bambang Yudhoyono sebagai
Ketua Umum DPP Partai Demokrat sekaligus Presiden RI pusing tujuh keliling
memikirkan para kader mudanya yang sebenarnya memiliki kecerdasan, kemampuan
yang mumpuni, berpengalaman dan berpenampilan meyakinkan serta digadang-gadang
menjadi pemimpin besar di masa mendatang, ternyata malah menjadi koruptor
besar/ulung, menggarong uang negara dan rakyat. Terbukti bahwa kader muda
ternyata tidak menjamin akhlaknya bagus dan berjiwa patriot, sebaliknya akhlaknya
malah lebih buruk dari kader yang sudah tua yang katanya banyak dosa.
Mengapa
terjadi demikian ? Karena Partai Demokrat memang tidak memiliki kader binaan
dan militan. Partai Demokrat dapat dibilang sebagai partai baru yang tumbuh dan
berkembang sangat pesat dan bersifat dadakan. Pendirinya pun langsung jadi presiden
hingga barang tentu Partai Demokrat menjadi partai pemerintah yang berkuasa di
negeri ini. Sedangkan kader-kadernya juga pendatang baru dan ada pula kader
bajing loncat yang berharap menjadi penguasa pula di negeri ini. Ironisnya
lagi, apa yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan
dan kekuasaan, yang barang tentu tidak lepas untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya
sebagai modal untuk meraih kedudukan dan kekuasaan.
Kelemahan
kader pendatang baru dan kader bajing loncat pada umumnya hanya mementingkan
kepentingan diri sendiri untuk mendapatkan pengaruh dan uang sebanyak-banyaknya
guna meraih kekuasaan yang lebih besar. Kader-kader partai seperti itu tidak akan
memikirkan membesarkan partai, disegani, dihormati, diteladani dan disenangi
oleh rakyat. Semua itu diabaikan, yang terpenting masing-masing individu bisa
mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, kedudukan dan kekuasaan hingga akhirnya
lupa diri membabi-buta seperti orang kelaparan dan kehausan, melihat ada
makanan dan minuman tidak peduli milik siapa langsung saja diembat, dirampas,
tanpa peduli orang lain. Yang penting diri sendiri merasa puas melakukan apa
saja yang diinginkan. Seharusnya sebagai kader partai baru dalam melakukan
segala tindakan dan tingkah laku lebih berhati-hati, cermat, cerdas dan memberi
contoh yang baik. Apalagi pendiri partainya menjadi presiden/penguasa di negeri
ini seharusnya mereka menjaga kredibilitas dan kehormatannya agar tidak
mencemarkan nama baik presiden dan partainya yang sedang berkuasa. Tapi,
nyatanya, mereka malah ugal-ugalan seperti tidak bermoral saja. Seharusnya mereka
mencari simpati rakyat, lebih-lebih sudah menjadi partai penguasa.
Tidak
seperti partai yang kader-kadernya militan dan hasil binaan. Walupun ada
kadernya yang korupsi, namun umumnya dilakukan oleh kader-kader yang sudah tua yang
mungkin sudah mendekati pelupa, pikun atau merasa sudah tua kapan lagi akan
menikmati harta kekayaan yang melimpah kalau tidak dari hasil korupsi. Makanya
karena sudah tua sebagian kadernya ada yang rakus, mungkin pada saat mudanya dulu
belum ada kesempatan untuk merampok uang negara dan uang rakyat, atau mungkin
juga karena harta kekayaannya masih kurang/belum mencukupi untuk anak-cucunya 7
turunan. Bisa saja itu terjadi. Namun bagaimanapun juga kader binaan, militant,
beda dengan kader muda pendatang baru dan kutu loncat. Kader binaan sudah digembleng
dan sering diwejang serta ditanamkan sifat militan dan ideologi partainya untuk
membela, memperjuangkan, membesarkan partai apa pun rintangan, halangan,
tantangannya akan dihadapi sampai titik darah penghabisan. Semua itu untuk
kejayaan partai dan ujung-ujungnya untuk menuju kesejahteraan rakyat, keadilan,
kemakmuran, keamanan dan ketenteraman.
Partai
Demokrat sebagian besar kader-kader mudanya yang mempunyai potensi menjadi
pemimpin di masa depan tidak seperti itu. Dapat dikatakan gege mangsa (tergesa-gesa), belum waktunya sudah tergesa-gesa ingin
segera menjadi penguasa. Itu namanya tamak, rakus. Bagaimana tidak dikatakan
seperti itu, belum bekerja keras dengan baik, belum mendapatkan hasil yang
memadai, ingin cepat kaya dengan cara menggarong uang rakyat.
Bagaimana
Partai Demokrat akan maju dan menjadi besar, bila kader-kadernya masa bodoh
terhadap partainya. Misalnya saja DPD Partai Demokrat Propinsi Jatim,
Sekretarisnya saja jarang berada di kantor partai, rumahnya di Madiun. Kantor
DPD-nya memang megah tetapi sepi, kadernya jarang datang, ogah-ogahan, karena
tidak ada pemimpinnya yang standby di kantor DPD. Bagaimana bisa mengendalikan
kadernya bila para pemimpin utama/inti, Sekretaris/Wakil Sekretaris, direktur
eksekutif atau lainnya, jarang ada di kantor
DPD. Masak mengendalikan dan membina kader hanya melalui HP/telepon saja, apa
efektif ? Mengapa itu bisa terjadi dan dibiarkan saja ? Makanya bila memilih pengurus
partai yang strategis itu harus teliti, cermat, layak dan cerdas serta dilihat
potensinya, loyalitasnya, bisa bekerja keras, tidak kenal lelah, dan cukup
waktu untuk menangani partai. Jangan hanya asal comot, karena kedekatan, balas
budi, yang sifatnya like and dislike
saja. Bagaimana kader Partai Demokrat bisa militan untuk membesarkan partainya
kalau cara memilih pengurus partainya seperti itu. Ini merupakan kritik
membangun demi kemajuan dan kebesaran Partai Demokrat di masa yang akan datang.
Kelihatannya Partai Demokrat sekarang sedang redup karena ulah para kadernya
yang salah langkah, hanya memikirkan dirinya sendiri untuk kejayaan dirinya
sendiri, mengabaikan kepentingan partai yang lebih besar.
Seharusnya
DPD I, DPC II termasuk PAC dan Ranting minimal setiap 3 bulan sekali melakukan
temu kader untuk membahas berbagai permasalahan partai dan menggembleng
kader-kadernya untuk menjadi militan. Perlu dicontoh pembinaan yang dilakukan
TNI dan Polri pada anggotanya. Anggota TNI/Polri sampai rela mempertaruhkan
nyawanya demi kedaulatan bangsa dan negara. Itu semua hasil dari gemblengan
para pimpinan TNI/Polri.
Partai
Demokrat bila ingin maju kadernya harus militan dan cepat bergerak, cepat untuk
menarik simpati rakyat agar berpaling pada Partai Demokrat. Tapi barang tentu
juga harus diperhatikan untuk operasionalnya. Pengurus PAC dan Ranting seharusnya
diberikan uang transpor/uang lelah atau apa namanya setiap bulan agar mereka
bergairah untuk bekerja, berjuang untuk kejayaan partai, jangan hanya pada saat
akan Pilkada, Pileg, Pilpres, ulang tahun partai dan berbagai kegiatan partai
lainnya digelontorkan dana yang cukup besar. Ini dirasa tidak efektif dan efisien,
karena sekarang rakyat sudah pandai, siapa saja yang memberi uang akan diterima
saja tetapi soal memilih suka-suka hatinya saja. Lain dengan kader militan
seperti PDIP, PKS, PAN, P3, PKB, Partai Golkar. Kader partai tersebut sulit
untuk digoyah, berapa pun uang yang diberikan akan mereka terima saja tetapi soal
memilih nanti dulu kecuali kyai/tokoh yang berpengaruh yang mengarahkan baru
akan diikuti/diturut. Bila para pimpinan Partai Demokrat tidak memperhatikan
pengurus PAC dan Ranting dengan memberi uang saku untuk bergerak, jangan harap
Partai Demokrat akan berhasil. Pertanyaannya, dari mana untuk mendapatkan dana
itu ? Ketua DPP, DPD, DPC bisa memerintahkan kadernya yang jadi anggota DPR,
DPRD I, DPRD II, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, para simpatisan dan
pimpinan partai yang kaya raya untuk setor pada partai setiap bulannya sekian
persen dari gajinya untuk memberikan uang perangsang/transport/uang lelah pada
kader yang berjuang di lini bawah dan untuk biaya operasional partai, serta
untuk bantuan pada masyarakat miskin yang membutuhkan.
Masak
para menteri, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, DPRD I, DPRD II dari
Partai Demokrat bergelimang harta sedangkan pengurus PAC dan Ranting sebagai
ujung tombak partai tidak mendapatkan apa-apa. Padahal apa yang mereka dapatkan
itu semua tidak lepas dari perjuangan pengurus PAC dan Ranting yang ada di
bawah. Bila pengurus PAC dan Ranting tidak diperhatikan, jangan salahkan bila
mereka bermalas-malasan mengurusi partai. Untuk apa berjuang mati-matian toh
bila sudah jadi atau terpilih hasilnya dinikmati sendiri, lupa dengan yang
turut memperjuangkannya. Mereka tahunya DPP, DPD dan DPC bergelimang uang karena
sumbernya dari mana-mana, tapi mengapa tidak pernah disalurkan ke bawah hanya
untuk keperluan para pengurusnya saja ? Mengapa tidak disalurkan ke PAC, Ranting
dan masyarakat, melainkan hanya dinikmati para petinggi partai saja. Seperti
pengadaan kalender partai saja dikirim dari DPP, mengapa tidak dibuat di
masing-masing DPD tapi dananya dari DPP.
Perlu
diingat bahwa kejayaan Partai Demokrat masa yang lalu karena figur SBY, bukan
hasil kerja keras para kader partai. Sedangkan SBY sudah tidak bisa mencalonkan
lagi karena sudah 2 periode berturut-turut menjadi presiden. Bagaimana nasib
Partai Demokrat nanti ? Kelihatannya kepercayaan rakyat pada Partai Demokrat
memang sudah luntur lantaran banyak petinggi partai tersebut yang tersandung kasus
korupsi, tidak sesuai dengan janjinya pada saat kampanye pilpres,”Tolak Korupsi”,
eee… ternyata malah korupsi besar-besaran. (R.26)
Oleh :
Drs H Imam Djasmani SH.
Pengamat Sosial dan Politik
No comments:
Post a Comment