PERPUSTAKAAN Medayu
Agung, persisnya berlokasi di Jalan Medayu Selatan 42-44 Rungkut, Surabaya, Rabu
(14/5), kelihatan semarak. Masalahnya, perpustakaan milik Oei Hiem Hwie, yang
biasa disapa Pak Hwie, itu kedatangan utusan dari Museum MURI untuk menyerahkan
penghargaan pada Pak Hwie (76), wartawan 3 jaman yang pernah dibuang ke Pulau
Buru oleh Belanda.
Hepi Ichwan Bachtiar yang diikuti rombongan, dipercaya oleh Jaya
Suprana, Direktur MURI, untuk menyerahkan piagam penghargaan yang dibalut
dengan pigura eksklusif. Dalam piagam tersebut terbaca “Piagam Penghargaan
Museum Rekor Dunia-Indonesia. No.6459/R.MURI/V/2014. Disampaikan kepada Oei Him
Hwie Atas Rekor Kolektor Surat Kabar Terlengkap Sejak Awal Terbit”.
Penghargaan yang diserahkan oleh Hepi Ichwan Bachtiar itu terlihat
ditandatangani oleh Jaya Suprana di Semarang pada 1 Mei 2014, Ketua Umum
sekaligus Direktur MURI. Untuk bisa dicatat di buku besar yang dilanjutkan
dengan pemberian penghargaan ini, menurut Pak Hepi, nama panggilan akrab Hepi
Ichwan Bachtiar, perlu penelitian cukup lama, apakah seseorang itu layak
dicatat dalam rekor MURI.
Seperti diketahui bahwa Pak Hwie mengoleksi beberapa Surat Kabar
yang terbit di tahun 1940-an hingga terbitan tahun 2014 ini. Juga mengoleksi Majalah yang terbit mulai
tahun 1948-2014. Bukan itu saja, buku-buku kuno juga tersimpan di sana. Saking
lamanya dimakan usia, sampai kertasnya berwarna kekuningan dan rentan hancur
bila jatuh. “Agar tidak disentuh pengunjung harus diletakkan dalam etalase,”
kata Pak Hwie kepada para wartawan.
Ia menjelaskan bahwa buku kuno tersebut di antaranya Oud Batavia
dicetak tahun 1935 karangan F De Haan, Oud Surabaia yang dicetak tahun 1932.
Dan lebih kuno lagi adalah Staatblad cetakan tahun 1891 dan tahun 1893 serta ratusan
buku kuno lainnya.
Di samping itu ada naskah asli tulisan tangan Pramoedya Ananta
Toer berjudul “Bumi Manusia” dan “Diatas Lumpur”. Dua tulisan tersebut tidak
dicetak secara luas akan tetapi dicetak menjadi beberapa buku saja dengan cetak
stensilan. Setelah dicetak selanjutnya dijilid dengan cara tradisionil. Yakni,
dilem dengan sagu terus ditindih di ranjang tempat tempat tidur agar
benar-benar lengket. Sebagai kenangan, mesin stensil tersebut juga disimpan di
Perpustakaan Medayu Agung.
Dijelaskan Pak Hwie bahwa sewaktu menulis naskah maupun mencetak
dengan stensil serta menjilid, dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. “Saya
bersyukur bisa menyelamatkan naskah tersebut bahkan berhasil menjilidnya,” kata
Pak Hwie sambil menunjukkan naskah asli yang disimpan dalam etalase.
Yang perlu dicatat juga bahwa hasil koleksinya pernah ditawar
seseorang dari Negara Australia sebesar Rp 1 miliar. Mantan Wartawan Koran Terompet Masyarakat ini
sempat tergiur dengan penawaran yang sangat aduhai tersebut. Akan tetapi
setelah berpikir ke depan untuk kepentingan pendidikan dan ingat pesan Presiden
RI 1, Soekarno, yang dikenal dengan “JASMERAH” kepanjangan dari Jangan
Melupakan Sejarah, maka tawaran tersebut ditolaknya.
Kini koleksinya diabadikan dalam Perpustakaan
Medayu Agung. Rupanya perpustakaan langka tersebut bergaung sampai di telinga
Jaya Suprana, Direktur MURI. Hingga akhirnya pada 14 Mei 2014 Pak Hwie mendapat
penghargaan dari MURI yang diserahkan oleh Hepi Ichwan Bachtiar, keluarga besar
Jaya Suprana, seperti disebutkan sebelumnya. (Tim) majalah fakta onlinePak Hwie saat menerima penghargaan MURI dari Hepi Ichwan Bachtiar |
No comments:
Post a Comment