MERASA dizalimi,
dikhianati, I Made Mudana Wiguna, Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan,
menggugat Pilbendesa atau Pemilihan Bendesa yang dilakukan panitia pemilihan
dengan ketua Prof I Ketut Widnya PhD. Surat gugatan dilayangkan ke MUDP
(Majelis Utama Desa Pakraman) Provinsi Bali untuk menjadi bahan pertimbangan
dan evaluasi hukum dalam persidangan kasusnya nanti. “Yang jelas, kasus ini
harus disikapi sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi bendesa lainnya. Dan
biar terbukti kebenarannya,” ungkap Wiguna.
Munculnya gugatan bermula dari pemilihan
bendesa yang dilakukan warga 2 banjar atas desakan Prof Widnya Cs, yang dilaksanakan
pada Jum’at, 9 Mei 2014. Padahal Wiguna
masih sah sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan hingga periode 2018.
Pengesahan dan pengukuhannya pun secara tertulis melalui keputusan Sabha Desa
IV Desa Pakraman setempat tertanggal 27 Mei 2013 yang turut disahkan Prof I
Ketut Widnya yang saat itu menjabat sebagai Penua Kertha Desa.
Pertimbangan pengukuhan Wiguna saat itu,
termuat dalam surat pengukuhan, Perda Provinsi Bali nomor 3 tahun 2003, serta
Awig-awig dan Eka Ilikita (aturan adat tertulis yang harus dipenuhi setiap
warga desa adat setempat) Desa Pakraman Serangan tahun 2007. Poin mendasar yang
menjadi pertimbangan itu bahwa jika dipandang berhasil, bendesa menjabat dapat
terangkat kembali melalui paruman Sabha Desa.
Menurut Wiguna, poin itulah yang menjadi
dasar keberatan pihak Prof I Ketut Widnya Cs sehingga mendesak supaya dilakukan
pemilihan bendesa ulang melalui pemilihan langsung yang digelar pada 9 Mei 2014.
Pihak yang bersangkutan pun pernah menyampaikan keberatannya atas penjelasan
poin itu, bahkan berharap supaya awig-awig tersebut direvisi. Padahal, kata
Wiguna, poin itu justru salah satu hasil penyempurnaan dengan melibatkan salah
satu pakar hukum adat dari Universitas Udayana. Pertimbangan ditambahkannya
poin itu, jabatan bendesa adat tidak bisa disamakan dengan jabatan laiknya Desa
Dinas. Sehingga pengangkatan dan pemilihan pun tidak bisa disamakan dengan
pemilihan seperti yang berjalan dan dilakukan pada desa dinas.
“Anehnya, kenapa tidak dulu saat revisi
keberatan itu disampaikan ? Kok malah
saat awig rampung dikukuhkan bahkan disetujui semua pihak termasuk Pemkot
Denpasar dan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar baru dipandang
menyalahi,” ujar Wiguna.
Aneh memang, jika diperhatikan seksama yang
terjadi justru terdapat ketimpangan. Warga dua banjar, menurut Prof Widnya,
termasuk dirinya, menyampaikan tidak menganggap sah Wiguna sebagai bendesa
menjabat, namun dirinya malah mengaku sebagai Ketua Kerta Desa Adat Serangan.
Padahal kedudukan kertha desa diangkat dan disahkan oleh bendesa menjabat yakni
Wiguna pasca dikukuhkan kembali sebagai bendesa pada 27 Mei 2013.
“Memang aneh, mereka (Prof Widnya Cs) mengaku
bertindak berdasarkan awig-awig 2007, namun tidak mengakui keputusan sabha desa
yang juga atas pertimbangan awig-awig tersebut,” ujar Wiguna.
Ditemui terpisah, Drs I Made Karim, Ketua
MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) Kota Denpasar, sependapat jika poin dalam
awig-awig Desa Pakraman Serangan tahun 2007 itu perlu dipertimbangkan. Atas
dasar itu juga dirinya atas nama lembaga mengirimkan surat tertanggal 14
Desember 2013. Isi surat itu mengharapkan agar konflik yang terjadi di Desa
Adat Serangan diselesaikan secara bijaksana alias tidak muncul menjadi kasus hingga
mencoreng Kota Denpasar.
“Kami telah bersurat supaya kasus di Serangan
itu diselesaikan secara baik-baik. Paos 11 ayat 1 yang menjadi akar perdebatan
agar direnungkan sebijaksana mungkin,” ujar Karim.
Sayang, perihal surat yang dikeluarkan pihak
MMDP Kota Denpasar itu bukan perintah untuk menyelesaikan kasus dan
mempertimbangkan poin pada awig-awig, melainkan perihal tertulis Pelaksanaan
Pemilihan Bendesa Serangan. Atas terbitnya surat itulah pihak Prof Widnya Cs
beranggapan bahwa MMDP Kota Denpasar memberi perintah untuk dilaksanakannya
pemilihan bendesa.
“Atas dasar penunjukan itu, kemudian kami
melakukan sosialisasi dan koordinasi terhadap seluruh masyarakat Serangan.
Tujuannya supaya ketika proses pemilihan digelar dapat berjalan dengan baik dan
benar,” ujar Widnya ditemui usai pemilihan bendesa.
Selain Wiguna, I Ketut Arya Saputra ST selaku
Penua Sabha Desa Pakraman Serangan turut mengklaim bahwa pemilihan yang dilakukan
kelompok Professor Widnya itu tidak benar, melanggar aturan seperti yang tertuang
dalam Awig-Awig Desa Pakraman Serangan tahun 2007. Apalagi, Professor Widnya
yang mengaku sebagai Ketua Kertha Desa Desa Pakraman Serangan itu telah
diberhentikan dari jabatan sejak 28 April 2014. Bahkan pemberhentiannya
dilakukan secara resmi melalui surat bernomor 039/DPS/IV/2014 tanggal 28 April
2014, dengan alasan yang bersangkutan diangap tidak konsisten.
“Yang kami khawatirkan, pasca pemilihan ini yang
memicu terjadinya pertikaian. Antar teman, tetangga bahkan antar saudara
terjadi perpecahan. Itu sesungguhnya yang kami pikirkan. Dan majelis madya
seharusnya bijak menyikapi kondisi ini,” ujar Arya Saputra diamini puluhan
warga Serangan, termasuk Bendesa, Mudana Wiguna. (F.915) majalah fakta online
No comments:
Post a Comment