Thursday, January 5, 2017

UNTAIAN PERISTIWA

Balai Budaya Cak Markeso, Ruang Publik “Penyambung Rasa” Warga Ketandan

Walikota Surabaya,Tri Rismaharini, meresmikan 
Balai Budaya Cak Markeso di Kampung Ketandan.
WARGA Ketandan RW IV, Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, kini memiliki ruang publik representatif. Ruang publik berupa joglo yang diberi nama Balai Budaya Cak Markeso tersebut, Rabu (27/7) diresmikan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, bersama beberapa delegasi The Third Session Preparatory Committe (Prepcom) 3 for Habitat III.
Balai Budaya yang berada di tengah-tengah permukiman warga ini akan menjadi “penyambung rasa” bagi warga Ketandan dalam berinteraksi dan berdiskusi tentang segala hal terkait lingkungan tempat tinggalnya. 
Pembangunan joglo yang difungsikan sebagai pendopo ini merupakan hasil kerja sama United Cities Local Goverment Asia Pacific (UCLG ASPAC), UN Habitat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Pembangunan ruang publik ini merupakan dukungan UCLG ASPAC kepada Pemkot Surabaya dalam mewujudkan pembangunan Surabaya menjadi kota yang berkembang secara berkelanjutan.
Sekjen UCLG ASPAC, Bernardia Irawati Tjandradewi, mengatakan, ruang publik bukan hanya berupa ruang terbuka hijau. Tapi juga berupa bangunan yang bisa difungsikan warga untuk berkumpul dan memperkuat interaksi sosialnya. Balai Budaya tersebut diberi nama Cak Markeso - tokoh ternama ludruk - dengan tujuan untuk mempersatukan dan memelihara warisan budaya di area tersebut.
“Balai Budaya ini tidak akan mungkin berdiri tanpa adanya peran dari warga. Saya dengar warga bahkan tidak tidur untuk membangun ini. Itu membuat mereka merasa memiliki bangunan ini,” ujar Bernardia.
Bernardia mengaku sebelumnya sudah pernah berkunjung ke Ketandan. Dan, setiap datang ke kampung yang berada di sebelah barat ruas Jalan Tunjungan (sekitar 100 meter arah selatan dari Siola), dia mengaku jatuh cinta dengan guyubnya masyarakat di sana. “Saya senang Kampung Ketandan ini. Masyarakatnya saling support untuk membenahi kampung. Lingkungannya juga aman. Saya dengar Bu Risma juga dua kali membantu mengecat bersama warga,” sambung dia.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, mengatakan, keberadaan Kampung Ketandan yang ‘dikepung’ oleh bangunan hotel dan juga mal, sangat krusial untuk ‘menghidupkan’ pusat kota. Sebab, kampung yang berada tepat di jantung Kota Surabaya ini hidup selama 24 jam karena warganya aktif berinteraksi. Beda dengan kawasan pertokoan yang sudah “mati” ketika pukul 22.00 WIB.
“Merekalah yang jaga hidup kota selama 24 jam karena toko-toko tutup jam 10 malam. Karena itu, saya berusaha semampu saya untuk mempertahankan kampung ini. Karena sejarah Surabaya itu terbentuk dari kampung-kampung,” ujar walikota.
Peresmian Balai Budaya tersebut menjadi momen bersejarah bagi warga Ketandan. Karenanya, warga antusias menyemarakkan acara tersebut. Mereka juga menampilkan beberapa produk kerajinan warga. Serta menjamu para delegasi Prepcom III dengan makanan khas Ketandan. 
Anak-anak muda di Ketandan juga merespons positif diresmikannya ruang terbuka tersebut. Sekretaris Karang Taruna Kampung Ketandan, Carla Della, mengungkapkan, dia bersama rekan Karang Taruna lainnya berencana menjadikan joglo tersebut sebagai pusat bertemu dan berkegiatan. Termasuk juga pelatihan seni budaya tradisional seperti tari remo dan ludruk.
“Di sini ada anak-anak yang aktif mengikuti pelatihan tari remo, juga ludruk. Untuk pendopo ini, kami juga inginnya difungsikan sebagai sanggar kecil-kecilan untuk latihan tari dan juga ruang publik,” kata mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya ini. (Rilis) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment