Friday, January 13, 2017

DRESTA BALI

LPD Gagal Cairkan Uang Nasabah Sudah Diingatkan OJK

Kepala Kantor OJK Provinsi Bali, Zulmi.
BELAKANGAN ini ramai diberitakan sejumlah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali tak bisa mencairkan dana milik nasabahnya. Di antaranya, LPD Desa Adat Gerokgak, Kabupaten Buleleng, pada Februari lalu dikabarkan tak bisa mencairkan dana nasabahnya. Pada Juni lalu, nasabah LPD Desa Adat Selat, Kabupaten Bangli, tidak bisa dicairkan tabungan nasabahnya. Baru-baru ini, LPD Desa Adat Suwat, Kabupaten Gianyar, juga diberitakan tak bisa mencairkan dana nasabahnya.
Kegagalan LPD mencairkan dana nasabahnya itu rupanya sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hanya saja OJK tidak bisa mengawasi LPD. Pasalnya, UU No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mengatur LPD tunduk pada hukum adat Bali. Karena itu LPD tidak menjadi obyek pengawasan OJK.
Kendati tidak menjadi obyek pengawasannya, OJK sudah membeberkan berbagai permasalahan operasional LPD di Bali. Salah satunya LPD beresiko tak bisa mencairkan dana nasabahnya. Penyebabnya, penghimpunan dana masyarakat oleh LPD itu belum dijamin oleh pemerintah, sehingga hal ini dapat beresiko bila LPD tersebut bermasalah, dan tidak mampu mengembalikan dana masyarakat. Dalam dokumen tertulis yang diperoleh, hal itu disampaikan oleh Kepala Kantor OJK Provinsi Bali, Zulmi, saat rapat penyamaan persepsi dalam memperkuat keberadaan LPD di Bali, di Denpasar, 20 Januari lalu.
Selain itu, permasalahan lain operasional LPD di Bali adalah pertama, terdapat indikasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD tidak hanya terbatas di lingkungan Desa Pakraman, namun juga telah beroperasi di luar Desa Pakramannya. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2012 Tentang LPD, yang menyebutkan LPD merupakan badan usaha keuangan milik Desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan Desa dan untuk Krama Desa. 
Oleh sebab itu perlu disiapkan ketentuan untuk mengakomodir LPD yang sudah besar dan merasa perlu untuk memperluas wilayah operasionalnya, maka dapat bertransformasi menjadi lembaga keuangan seperti LKM atau BPR.
Kedua, operasional LPD mirip dengan bank, yaitu dengan usahanya menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan ketentuan operasional LPD yang selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penggunaan nama produk dan layanan yang spesifik menunjukkan ciri khas LPD.
Ketiga, LPD tidak dapat melakukan pinjaman di bank karena terkendala dengan persyaratan administratif sebagai debitur di bank, karena tidak memiliki badan hukum dan NPWP. Kendala ini juga menyebabkan LPD mengalami kesulitan untuk bekerja sama dengan suatu lembaga penjaminan, seperti lembaga penjamin kredit dan simpanan. Meskipun dalam prakteknya LPD teridentifikasi menerima pinjaman dengan menggunakan dokumen pribadi pengurus LPD untuk menyiasati pemenuhan dokumen administratif sebagaimana dipersyaratkan oleh bank.
Terakhir, masih banyak LPD menunjukkan kinerja yang kurang memadai, disebabkan sumber daya manusia LPD belum mampu menjalankan fungsinya dengan optimal, dan belum optimalnya fungsi pengawasan internal LPD.
Adanya berbagai masalah dalam pengelolaan LPD juga diungkapkan Ketua Badan Kerjasama-Lembaga Perkreditan Desa (BKS-LPD), Nyoman Cendikiawan, saat beraudiensi dengan pimpinan DPRD Bali, pada Januari lalu. Ia mengungkapkan, jumlah aset yang dimiliki LPD di seluruh Bali mencapai Rp 14,2 Triliun, dari total 1.433 LPD yang ada di Bali.

Namun, ada sekitar 100 LPD yang berada di zona merah (tidak dikelola dengan baik). Beberapa penyebab LPD itu berada di zona merah, pertama kurang koordinasi antara prajuru dengan pengurus LPD. Kedua, pemilihan pengurus LPD dulu ditunjuk krama desa adat atas dasar kejujuran. Padahal, selain kejujuran, pengurus LPD perlu diisi oleh SDM yang baik untuk mengelola keuangan. (rie) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment