Wednesday, October 7, 2015

INFO JATIM

Komisi B DPRD Provinsi Jatim Awasi Lonjakan Harga Daging Sapi

Agus Maimun, Anggota Komisi B  DPRD Jatim
TINGGINYA harga daging sapi bulan ini memang meresahkan rakyat. Bagaimana tidak, saat ini di pasaran harga daging sapi berkisar Rp 110 – 120 ribu per kg. Padahal, harga normalnya Rp 90 ribuan per kg. Mengantisipasi gejolak, karena ancaman lenyapnya stok daging sapi, Komisi B DPRD Provinsi Jatim berupaya memantau stok di beberapa Rumah Potong Hewan (RPH).
Apalagi, kenaikan harga daging sapi itu sangat mengherankan. Sebab, saat ini populasi sapi di Jawa Timur mencapai 4,2 juta ekor. Stok sapi yang siap dikonsumsi mencapai 1,1 juta ekor per tahun. Dari jumlah itu, 570 ribu ekor sapi untuk memenuhi permintaan Jawa Timur. Sisanya dikirim ke luar Jawa.
Agus Maimun, Anggota Komisi B, mengatakan, pengawasan di pasar juga sedang dilakukan. Setiap hari pihaknya mendapat laporan perkembangan harga daging. Begitu juga stok daging di beberapa RPH. “Bila sudah rawan, kami mendesak Pemprov Jatim melakukan tindak lanjut dengan operasi pasar,” tegasnya.
Meski relatif aman, politisi Partai Amanat Nasional ini tetap meminta masyarakat tenang. “Jangan sampai naiknya harga daging dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil kesempatan di atas kesengsaraan masyarakat,” tegasnya.
Terpisah, Anggota Komisi B lainnya, H Moh Zainul Lutfi, merunut penyebab tingginya harga daging sapi. Wacananya, daging sapi impor memicu penjual daging sapi lokal mogok. Akibatnya, daging sapi langka sehingga harga terus melambung. “Kelangkaan itu dipicu distribusi yang kurang maksimal,” katanya.
Stok yang seharusnya untuk masyarakat Jawa Timur akhirnya harus dibagi ke daerah lain. Wajar jika Jawa Timur terkena imbas kenaikan harga daging sapi. Komisi B sudah mengambil langkah dengan mengecek ketersediaan daging di beberapa RPH. Memang, stok daging sapi kini makin jarang ditemui. Namun, penyebabnya bukan karena populasi sapi di Jatim menurun. “Penyebabnya adalah distribusi yang tidak baik,” kata Lutfi.
Politikus asal Sidoarjo ini menjelaskan, karakter peternak sapi di Jawa Timur  masih tradisional. Mereka bersedia menjual sapi pada waktu tertentu. Karena itu, siklus populasi sapi tidak terdistribusikan dengan baik. Setelah lebaran, biasanya peternak menyimpan sapi. Mereka enggan menyetor ke RPH. Akibatnya, stok sapi di RPH menjadi langka. Jumlah yang ada harus berbagi dengan daerah lain. Sebaliknya, ketika musim pendaftaran sekolah, peternak menyerahkan sapi ke RPH sebanyak-banyaknya. Dampaknya, terjadi surplus daging sapi di pasar. “Saat itulah harga daging mulai turun,” jelas dia.
Dia menegaskan, pemerintah harus menyadarkan peternak tentang distribusi yang ideal. Penjualan sapi harus dilakukan berkelanjutan agar stok daging tetap terjaga. Menurut dia, kebijakan impor awalnya untuk mengatasi kelangkaan sapi di pasaran. Namun, langkah itu bukan mengatasi masalah. Pemerintah harus melihat stok populasi sapi yang dimiliki peternak. Lalu, mendesak peternak untuk menjual sapi tersebut ke pasar sesuai waktunya.
Tak hanya daging sapi yang naik, daging ayam pun kini sudah mencapai Rp 40 ribu per ekor. Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan bahwa masyarakat berhenti membeli daging sapi yang mahal dan berpindah membeli ayam, sehingga terjadi kenaikan harga ayam secara mendadak. "Ini kan daging ayam ada hubungannya dengan daging sapi. Daging sapi naik, orang beralih ke daging ayam. Yang biasa makan sate sapi jadi sate ayam, biasanya makan steak kini makan ayam goreng, karena (daging sapi) mahal," kata JK, di Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Kamis (20/8).
"Karena tiba-tiba permintaan beralih ke daging ayam, maka naiklah (harga daging) ayam ini. Jadi, kalau daging sapi turun, maka yang ini (daging ayam) akan turun juga," tambah dia.
Untuk memperbaiki keadaan, pemerintah akan menambah suplai daging. Hal ini untuk mencegah masyarakat terus berpindah ke ayam. "Dari pemerintah menambah suplai daging sapi, impor juga dibolehkan, sehingga diharapkan pasti kalau daging sapi turun, maka daging ayam akan turun," tegas JK.
Dia juga sebelumnya menjelaskan bahwa tingginya harga ayam karena ada masalah dengan makanan ternak. Ia berjanji menyelesaikan masalah ini, mengembalikan harga seperti semula dalam kurun waktu 1-2 minggu.
Sementara itu, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menilai tingginya harga ayam karena pemasok ayam masih banyak di kampung halaman. "Kami tanya, kenapa mesti naik ? Ternyata alasannya hari libur kemarin tidak memelihara ayam karena pulang kampung, ini libur kan cukup panjang. Jadi mundur lebaran 2-3 minggu," ujar Amran di Istana Kepresidenan.
Setelah pedagang daging sapi, aksi mogok berjualan juga akan dilakukan oleh para pedagang ayam di Jakarta. Mereka memprotes mahalnya daging ayam yang mencapai Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu per ekor. Kehidupan masyarakat dari ke hari terasa semakin sulit saja. (F.809) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment