Saturday, October 10, 2015

DRESTA BALI

Gubernur Pastika Digugat Warga Kuta

Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika
TIGA warga Bali yang berlamat di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, keberatan dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.
Mereka keberatan karena adanya aturan tentang radius kesucian pura dan sempadan jurang yang membuat tanah mereka tak bisa dimanfaatkan. Ketiga warga ini memiliki lahan di kawasan yang menurut Perda RTRW Bali tak boleh dimanfaatkan secara ekonomi.
Ketiga warga itu yakni I Ketut Murdana, I Made Kasim Arnyana dan I Ketut Sarma akhirnya mengajukan yudicial review ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan itu dilayangkan sebelum tahun 2013. Gubernur Bali dan DPRD Bali menjadi tergugat dalam gugatan mereka tersebut.
"Tergugatnya Gubernur Bali dan DPRD Bali. Gugatan mereka terkait kawasan tempat suci dan sempadan jurang," ungkap ketua Panitia Khusus (Pansus) Arahan Perda Zonasi (APZ), I Kadek Diana, di gedung DPRD Bali, Rabu (19/8).
Hanya saja, putusan MA No.65 P/HUM/2013 menolak gugatan warga tersebut. Dalam putusannya, MA menilai dari sisi tata cara pembentukannya, perda tersebut sudah sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perda tersebut juga telah sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, perda tersebut juga telah sesuai dengan Bhisama PHDI Tahun 1994 yang mengatur radius kawasan tempat suci. "Bhisama PHDI Tahun 1994 yang mengatur radius kawasan tempat suci, juga diakui keberadaannya oleh Mahkamah Agung dalam putusannya, yakni Pura Sad Khayangan dengan radius 5 km, Pura Dang Khayangan dengan radius 2 km dan Pura Khayangan Jagat dengan radius 50 meter," katanya.
Kendati menolak gugatan warga, hanya saja dalam keputusannya MA dengan bijak memberikan arahan agar Perda RTRW Provinsi Bali itu tidak diberlakukan secara kaku.  "Dalam putusannya, MA menyebut jika radius kawasan suci dan sempadan jurang dalam perda itu dalam pelaksanaannnya tidak bersifat kaku. Kabupaten/kota menjabarkan lebih lanjut ketentuan mengenai arahan peraturan zonasi kawasan tempat suci dan kawasan sempadan jurang," jelas Kadek Diana sambil memperlihatkan putusan MA tersebut.
Adanya 'perintah' untuk tidak memberlakukan secara kaku perda RTRW itu, menurut Kadek Diana, Pansus APZ membahas khusus persoalan tersebut bersama Bappeda, Biro Hukum Pemprov Bali, Tim Penyusun Arahan Perda APZ dan elemen lainnya di gedung DPRD Bali, Rabu (19/8). Tujuannya, untuk menyamakan persepsi dan pemahaman. 
Dalam rapat tersebut, menurut dia, sudah mengarah pada suatu pemahaman terkait putusan MA itu. Apalagi sudah tersurat secara tegas dalam pertimbangan Mahkamah Agung bahwa pelaksanaan Bhisama PHDI Tahun 1994 tidak kaku, harus luwes dan tetap memperhatikan kearifan lokal berupa awig-awig atau ketentuan hukum adat yang mengatur batas kesucian pura masing-masing.
"Intinya, nanti Perda APZ akan disesuaikan dengan itu. Karena putusan Mahkamah Agung ini akan menjadi salah satu sumber hukum dalam ranperda yang sedang dibahas ini. Artinya, tetap memperhatikan kearifan lokal, dalam hal ini bisa berbentuk awig-awig atau bentuk lain yang sudah ada secara turun-temurun dalam suatu wilayah Desa Pakraman yang bertindak untuk menjaga kesucian pura masing-masing atau disebut Daerah Kekeran," jelasnya.
Putusan MA ini sangat bijak. Sebab, Bhisama PHDI Tahun 1994 tetap dihormati di satu sisi, dan di sisi lain awig-awig juga dihormati. Berangkat dari putusan tersebut, rapat Pansus APZ kali ini langsung merumuskannya dalam satu pasal khusus. "Rumusannya sudah kita masukkan pada pasal 43 huruf h Ranperda APZ, dengan bunyi: Bhisama Kawasan Tempat Suci PHDI Tahun 1994, dalam pelaksanaannya tidak bersifat kaku, dan tetap harus memperhatikan kearifan lokal," ujarnya.
Ia manambahkan, dari fakta di lapangan, tidak semua Desa Pakraman memiliki awig-awig yang mengatur Daerah Kekeran. Karena itu, sesuai Perda No.16 Tahun 2009, maka dalam pelaksanaan di lapangan khususnya jika dikaitkan dengan proses perizinan yang diterbitkan di kawasan tempat suci, maka diatur secara khusus.
"Kalau masuk dalam lingkup Pura Sad Khayangan, maka akan dikeluarkan rekomendasi dari MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman). Kalau dalam lingkup Pura Dang Khayangan, maka akan dikeluarkan rekomendasi dari MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman)," jelasnya.
Namun, apabila suatu daerah sama sekali tidak mengatur Daerah Kekeran, maka Bhisama PHDI Tahun 1994 mutlak diberlakukan. "Tetapi kalau ada, maka awig-awig tentang Daerah Kekeran harus dipertimbangkan. Di sini intinya. Jadi Bhisama tidak kaku. Dan ini sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung," tegas Anggota Komisi III DPRD Bali ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Perda APZ berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang memiliki kedudukan sebagai payung bagi penyusunan Perda APZ di kabupaten/kota. "Kedudukan perda tata ruang di tingkat provinsi adalah sebagai acuan dan pedoman penyusunan perda kabupaten/kota. Pun halnya dengan Perda Zonasi, memiliki kedudukan sama," jelasnya.
Ia menambahkan, jika Perda Tata Ruang mengatur hal bersifat umum, maka Perda APZ mengatur hal-hal yang lebih detil dalam operasionalnya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment