Sunday, October 4, 2015

OPINI

SUAP-MENYUAP PENEGAK HUKUM SUDAH TERJADI SEJAK LAMA 

HAKIM PTUN, panitera dan pengacara (advokat) ditangkap KPK karena diduga menyuap 3 (tiga) Hakim dan Panitera PTUN Medan, Sumatera Utara. Termasuk pengacara kondang, O C Kaligis, diduga terlibat di dalamnya sehingga dijadikan pula tersangka oleh KPK.
Permasalahan suap-menyuap bukan rahasia umum lagi, kebetulan saja pengacara yang tertangkap tangan oleh KPK itu sedang bernasib sial saja. Pasalnya, sebagai pengacara barang tentu ingin memenangkan kliennya. Hingga berbagai cara akan dilakukan agar kliennya tidak kalah. Tetapi, tidak semua memang pengacara yang melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti itu.
Masyarakat pun tidak asing lagi mendengar permasalahan suap-menyuap di kalangan penegak hukum, khususnya yang berperkara. Kata masyarakat, bagaimana mau menang perkara kalau tidak memiliki dana yang cukup ? Karena di negeri ini keadilan masih semu, yang benar belum tentu jadi benar, yang salah belum tentu jadi salah. Terbukti tidak sedikit aparat penegak hukum yang ditangkap KPK.
Peradilan untuk mencari kebenaran dan keadilan di negeri ini rasanya memang masih sulit didapat karena UU peradilan, kehakiman dan pengawasannya masih lemah. Bagaimana tidak lemah, bila hakim dinilai salah dalam mengetrapkan hukum dalam putusannya, masih ada upaya banding dan kasasi, tidak ada sanksi apa pun bagi hakim yang memutuskan perkara tapi salah dalam mengetrapkan hukumnya. Karena tidak ada sanksi yang tegas buat hakim itulah sehingga hakim dalam memutus suatu perkara terkesan seenaknya/semaunya sendiri saja, semata-mata menurut keyakinannya sendiri. Barang bukti sering diabaikan, hakim bukan Tuhan dan malaikat walaupun  hakim pada saat membuka sidang diawali dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa, itu bukan berarti hakim wakil Tuhan di dunia. Itu hanyalah ucapan di bibir saja, kenyataannya hakim sering memutus suatu perkara yang tidak sesuai dengan rasa keadilan.
Sudah waktunya UU peradilan dan kehakiman disempurnakan dengan membentuk pengawas independen yang kredibel. Para hakim yang salah dalam pengetrapan hukum diberi sanksi yang tegas dan setimpal dengan perbuatannya agar hakim dalam memutus suatu perkara lebih berhati-hati, tidak seenaknya saja.
Menurut mantan Hakim Agung dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, praktek suap-menyuap yang dilakukan oleh para penegak hukum antara lain pengacara sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak Abdul Rahman Saleh berumur 30 tahun sudah mengetahui hal itu.
Salah satu pengacara kondang, Alamsyah, mengatakan bahwa penyimpangan yang dilakukan penegak hukum hanya 5 - 10% saja. Menurutnya, bila penyimpangan yang dilakukan oleh penegak hukum mencapai 60% maka negara ini dapat dipastikan ambruk/runtuh.
Sedangkan menurut penulis, kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan yang ada tentang perilaku para penegakan hukum di negeri ini. Semoga apa yang dikatakan Advokat Alamsah di atas nantinya bisa menjadi kenyataan walaupun saat ini masih berupa mimpi dan berkhayal untuk menjadi kenyataan. web majalah fakta / majalah fakta online
                                                                            Oleh :

                                                          Advokat Imam Djasmani.

No comments:

Post a Comment