Gubernur Pastika Digugat
Warga Kuta
Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika |
TIGA warga Bali yang
berlamat di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, keberatan
dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.
Mereka keberatan karena adanya aturan tentang
radius kesucian pura dan sempadan jurang yang membuat tanah mereka tak bisa
dimanfaatkan. Ketiga warga ini memiliki lahan di kawasan yang menurut Perda
RTRW Bali tak boleh dimanfaatkan secara ekonomi.
Ketiga warga itu yakni I Ketut Murdana, I
Made Kasim Arnyana dan I Ketut Sarma akhirnya mengajukan yudicial review ke
Mahkamah Agung (MA). Gugatan itu dilayangkan sebelum tahun 2013. Gubernur Bali
dan DPRD Bali menjadi tergugat dalam gugatan mereka tersebut.
"Tergugatnya Gubernur Bali dan DPRD
Bali. Gugatan mereka terkait kawasan tempat suci dan sempadan jurang,"
ungkap ketua Panitia Khusus (Pansus) Arahan Perda Zonasi (APZ), I Kadek Diana,
di gedung DPRD Bali, Rabu (19/8).
Hanya saja, putusan MA No.65 P/HUM/2013
menolak gugatan warga tersebut. Dalam putusannya, MA menilai dari sisi tata
cara pembentukannya, perda tersebut sudah sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perda tersebut juga telah sesuai
dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, perda tersebut juga telah sesuai
dengan Bhisama PHDI Tahun 1994 yang mengatur radius kawasan tempat suci. "Bhisama
PHDI Tahun 1994 yang mengatur radius kawasan tempat suci, juga diakui
keberadaannya oleh Mahkamah Agung dalam putusannya, yakni Pura Sad Khayangan
dengan radius 5 km, Pura Dang Khayangan dengan radius 2 km dan Pura Khayangan
Jagat dengan radius 50 meter," katanya.
Kendati menolak gugatan warga, hanya saja
dalam keputusannya MA dengan bijak memberikan arahan agar Perda RTRW Provinsi
Bali itu tidak diberlakukan secara kaku. "Dalam putusannya, MA menyebut jika
radius kawasan suci dan sempadan jurang dalam perda itu dalam pelaksanaannnya
tidak bersifat kaku. Kabupaten/kota menjabarkan lebih lanjut ketentuan mengenai
arahan peraturan zonasi kawasan tempat suci dan kawasan sempadan jurang,"
jelas Kadek Diana sambil memperlihatkan putusan MA tersebut.
Adanya 'perintah' untuk tidak memberlakukan
secara kaku perda RTRW itu, menurut Kadek Diana, Pansus APZ membahas khusus
persoalan tersebut bersama Bappeda, Biro Hukum Pemprov Bali, Tim Penyusun Arahan
Perda APZ dan elemen lainnya di gedung DPRD Bali, Rabu (19/8). Tujuannya, untuk
menyamakan persepsi dan pemahaman.
Dalam rapat tersebut, menurut dia, sudah
mengarah pada suatu pemahaman terkait putusan MA itu. Apalagi sudah tersurat
secara tegas dalam pertimbangan Mahkamah Agung bahwa pelaksanaan Bhisama PHDI
Tahun 1994 tidak kaku, harus luwes dan tetap memperhatikan kearifan lokal
berupa awig-awig atau ketentuan hukum adat yang mengatur batas kesucian pura
masing-masing.
"Intinya, nanti Perda APZ akan
disesuaikan dengan itu. Karena putusan Mahkamah Agung ini akan menjadi salah
satu sumber hukum dalam ranperda yang sedang dibahas ini. Artinya, tetap
memperhatikan kearifan lokal, dalam hal ini bisa berbentuk awig-awig atau
bentuk lain yang sudah ada secara turun-temurun dalam suatu wilayah Desa Pakraman
yang bertindak untuk menjaga kesucian pura masing-masing atau disebut Daerah
Kekeran," jelasnya.
Putusan MA ini sangat bijak. Sebab, Bhisama
PHDI Tahun 1994 tetap dihormati di satu sisi, dan di sisi lain awig-awig juga
dihormati. Berangkat dari putusan tersebut, rapat Pansus APZ kali ini langsung
merumuskannya dalam satu pasal khusus. "Rumusannya sudah kita masukkan
pada pasal 43 huruf h Ranperda APZ, dengan bunyi: Bhisama Kawasan Tempat Suci
PHDI Tahun 1994, dalam pelaksanaannya tidak bersifat kaku, dan tetap harus
memperhatikan kearifan lokal," ujarnya.
Ia manambahkan, dari fakta di lapangan, tidak
semua Desa Pakraman memiliki awig-awig yang mengatur Daerah Kekeran. Karena
itu, sesuai Perda No.16 Tahun 2009, maka dalam pelaksanaan di lapangan
khususnya jika dikaitkan dengan proses perizinan yang diterbitkan di kawasan
tempat suci, maka diatur secara khusus.
"Kalau masuk dalam lingkup Pura Sad
Khayangan, maka akan dikeluarkan rekomendasi dari MUDP (Majelis Utama Desa
Pakraman). Kalau dalam lingkup Pura Dang Khayangan, maka akan dikeluarkan
rekomendasi dari MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman)," jelasnya.
Namun, apabila suatu daerah sama sekali tidak
mengatur Daerah Kekeran, maka Bhisama PHDI Tahun 1994 mutlak diberlakukan. "Tetapi
kalau ada, maka awig-awig tentang Daerah Kekeran harus dipertimbangkan. Di sini
intinya. Jadi Bhisama tidak kaku. Dan ini sudah sesuai dengan putusan Mahkamah
Agung," tegas Anggota Komisi III DPRD Bali ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Perda APZ
berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang memiliki kedudukan sebagai
payung bagi penyusunan Perda APZ di kabupaten/kota. "Kedudukan perda tata
ruang di tingkat provinsi adalah sebagai acuan dan pedoman penyusunan perda
kabupaten/kota. Pun halnya dengan Perda Zonasi, memiliki kedudukan sama,"
jelasnya.
Ia menambahkan, jika Perda Tata Ruang mengatur
hal bersifat umum, maka Perda APZ mengatur hal-hal yang lebih detil dalam
operasionalnya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment