SUAP-MENYUAP PENEGAK HUKUM SUDAH TERJADI SEJAK LAMA
HAKIM PTUN, panitera
dan pengacara (advokat) ditangkap
KPK karena diduga menyuap 3 (tiga) Hakim dan Panitera PTUN Medan,
Sumatera Utara. Termasuk pengacara kondang,
O C Kaligis, diduga terlibat
di dalamnya sehingga dijadikan pula tersangka
oleh KPK.
Permasalahan suap-menyuap bukan
rahasia umum lagi, kebetulan saja pengacara yang tertangkap tangan oleh KPK itu sedang bernasib sial
saja. Pasalnya, sebagai pengacara
barang tentu ingin memenangkan kliennya. Hingga berbagai cara
akan dilakukan agar kliennya tidak kalah.
Tetapi, tidak semua memang
pengacara
yang melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti itu.
Masyarakat pun tidak asing
lagi mendengar permasalahan suap-menyuap
di kalangan penegak hukum,
khususnya yang berperkara. Kata masyarakat, bagaimana mau menang perkara kalau
tidak memiliki dana yang cukup ? Karena di negeri ini
keadilan masih semu, yang benar belum tentu jadi benar,
yang salah belum tentu jadi salah. Terbukti
tidak sedikit aparat penegak hukum yang ditangkap KPK.
Peradilan untuk mencari kebenaran dan keadilan di negeri ini rasanya memang masih sulit didapat
karena UU peradilan, kehakiman dan pengawasannya masih lemah.
Bagaimana tidak lemah, bila
hakim dinilai salah dalam mengetrapkan hukum
dalam putusannya, masih ada upaya banding
dan kasasi, tidak ada sanksi apa pun bagi
hakim yang memutuskan perkara tapi salah dalam mengetrapkan
hukumnya. Karena tidak
ada sanksi yang tegas buat hakim itulah sehingga hakim dalam memutus suatu perkara terkesan seenaknya/semaunya
sendiri saja, semata-mata menurut keyakinannya sendiri.
Barang bukti sering diabaikan, hakim bukan Tuhan dan malaikat
walaupun hakim pada saat membuka sidang
diawali dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha
Kuasa, itu bukan
berarti hakim wakil Tuhan di dunia.
Itu hanyalah ucapan di
bibir saja, kenyataannya hakim sering memutus suatu
perkara yang tidak sesuai dengan rasa keadilan.
Sudah waktunya UU peradilan dan
kehakiman disempurnakan dengan membentuk pengawas
independen yang kredibel. Para hakim yang salah dalam pengetrapan hukum diberi
sanksi yang tegas dan setimpal dengan
perbuatannya agar hakim dalam memutus suatu perkara lebih
berhati-hati, tidak seenaknya saja.
Menurut mantan Hakim Agung
dan Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh, praktek suap-menyuap yang
dilakukan oleh para penegak hukum antara lain pengacara sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak
Abdul Rahman Saleh berumur 30 tahun sudah mengetahui hal
itu.
Salah satu pengacara kondang, Alamsyah, mengatakan bahwa penyimpangan
yang dilakukan penegak hukum hanya 5 - 10%
saja. Menurutnya, bila penyimpangan yang dilakukan oleh
penegak hukum mencapai 60% maka negara ini dapat
dipastikan ambruk/runtuh.
Sedangkan menurut penulis, kita tidak boleh
menutup mata terhadap kenyataan yang ada tentang perilaku para penegakan hukum di negeri ini. Semoga apa
yang dikatakan Advokat Alamsah di atas nantinya bisa menjadi
kenyataan walaupun saat ini masih berupa mimpi
dan berkhayal untuk menjadi kenyataan. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Advokat Imam Djasmani.
No comments:
Post a Comment