MA BABAK-BELUR
Gayus Lumbuun minta Presiden Jokowi terbitkan
Perppu,
Emerson Yuntho minta Ketua MA mundur
Sekjen MA, Nurhadi Abdurachman.
|
MAHKAMAH Agung (MA) Republik Indonesia jadi
bulan-bulanan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap sejumlah
orang di lingkup lembaga peradilan pada bulan Pebruari, April dan Mei 2016.
Pada 13 Februari 2016 KPK menangkap
Kasubdit Perdata MA, Andri Tristianto Sutrisna, karena menerima suap Rp 400
juta. Uang itu dari pelaku korupsi Ichsan Suaidi melalui kurir Pengacara Awang.
Sejumlah nama hakim agung pun disebut-sebut.
Kemudian
pada 20 April 2016 KPK kembali menangkap Panitera PN Jakpus, Edy Nasution, terkait
suap pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) yang didaftarkan di PN
Jakarta Pusat oleh Doddy Aryanto Supeno.
Dalam
kasus yang diungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 20 April
2016, tersebut KPK sudah menetapkan 2 orang tersangka. Mereka adalah Edy
Nasution dan seorang dari pihak swasta, Doddy Apriyanto Supeno. Dari tangan
Edy, KPK menyita uang sejumlah Rp 50 juta. Namun, uang tersebut bukanlah
pemberian pertama oleh Doddy kepada Edy. Pasalnya, Desember 2015, uang sejumlah
Rp 100 juta telah diserahkan oleh Doddy kepada Edy. Sementara jumlah uang secara
keseluruhan untuk memuluskan pengajuan PK tersebut adalah sebesar Rp 500 juta,
yang sebagian belum dipenuhi oleh Doddy hingga saat ini.
Untuk
mencari barang bukti, KPK sudah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi.
Termasuk di rumah dan ruang kerja Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, Nurhadi
Abdurachman. Dan hasil penggeledahan di beberapa lokasi tersebut, KPK menemukan
uang sejumlah Rp 1,7 miliar dan sejumlah dokumen penting.
Sekjen
MA, Nurhadi Abdurachman, diperiksa penyidik KPK selama delapan jam pada 24 Mei
2016. Saat ke luar ruangan, Nurhadi mengatakan, ia hanya ditanya terkait dengan
tugas dan fungsinya sebagai Sekjen MA.
Nurhadi
pun membantah telah menyembunyikan sopirnya, Royani, sehingga dua kali mangkir
dari panggilan pemeriksaan penyidik KPK.
Pelaksana
Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, mengatakan, pihaknya hingga
saat ini belum mengetahui keberadaan Royani.
Yuyuk
mengatakan, KPK masih terus berupaya menghadirkan Royani sebagai saksi untuk
perkara suap panitera di PN Jakarta Pusat ini.
Edy Nasution dan Janner Purba saat ditangkap
KPK.
|
Selanjutnya,
pada 23 Mei 2016 KPK menangkap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
Bengkulu yang juga Ketua PN Kepahiang, Janner Purba, mantan Wakil Direktur
Utama dan Keuangan RSUD M Yunus Bengkulu, Edi Santroni, mantan Kepala Bagian
Keuangan RSUD M Yunus, Syafri Syafii, Hakim Ad Hoc Tipikor PN Kota Bengkulu,
Toton, dan Panitera PN Bengkulu, Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Modus
penyuapannya adalah mempengaruhi putusan hakim terkait dengan perkara korupsi
honor Dewan Pembina RSUD M Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Edi
dan Syafri, yang menjadi terdakwa dalam perkara itu, diduga memberikan suap kepada
Janner dan Toton agar diputus bebas.
Saat
operasi tangkap tangan, penyidik menyita duit Rp 150 juta dari tangan Janner.
Duit dari Syafri itu bukan pemberian pertama. Pada 17 Mei 2016, Janner mengaku menerima
duit Rp 500 juta dari Edi.
Gayus Lumbuun.
|
“Kalau
hakim apalagi di MA terlibat korupsi, maka negara ini bisa lumpuh,” kata Hakim
Agung, Topane Gayus Lumbuun, dalam diskusi dialektika “Lembaga Peradilan di
Pusaran Korupsi” di Jakarta, Kamis (26/5).
Karena
itu Gayus Lumbuun minta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna mengatasi darurat
lembaga peradilan akibat dari banyaknya kasus korupsi yang membuat kepercayaan
publik makin merosot terhadap lembaga peradilan di tanah air. “Carut-marut yang
menggemparkan ini, saya berpikir presiden harus segera menerbitkan perppu untuk
pembenahan lembaga MA dan pencari keadilan,” ujarnya.
Anggota
Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menyambut baik diterbitkan perppu untuk
pembenahan lembaga peradilan tersebut. “Kalau hakim apalagi di MA terlibat
korupsi, maka negara ini bisa lumpuh. Apalagi jika korupsi itu sudah
mendarah-daging, maka perlu langkah-langkah radikal untuk perbaikan. Berbeda
jika legislatif yang terlibat korupsi,” tegas Arsul Sani.
Dia
mencontohkan perubahan radikal dan reformasi peradilan di negara Ukraina pasca
lepas dari Uni Soviet, di mana 5.000 hakim dari 10.270 hakim menjalani tes dan
rekrutmen ulang, dan hasilnya mampu mewujudkan peradilan yang bersih dan kuat
untuk menyelamatkan negara itu dari korupsi peradilan. “Untuk Indonesia, saya
kira perlu melakukan langkah-langkah radikal tersebut, karena dari sisi kultur
dan administrasi masih buruk dan itu seperti gunung es,” ujarnya.
Sedangkan
Anggota Ombudsman, Laode Ida, menilai apabila pejabat di MA sudah terlibat
korupsi, berarti kepala penegak keadilan di negeri ini sudah busuk. Ia
mengibaratkan seperti ikan yang sudah tidak segar, kalau kepalanya sudah busuk,
berarti seluruh tubuh ikan tersebut juga membusuk.
Korupsi
yang sudah mendarah daging ini dinilainya sudah fatal, karena terjadi dalam
pengambilan keputusan perkara di MA. Kasus suap maupun keputusan transaksional
telah merugikan banyak orang. “Jadi, MA ini harus diamputasi. Kalau Presiden RI
membiarkan, berarti terjebak dalam pembusukan peradilan negara ini. Kalau
faktanya MA seperti ini, maka tidak ada harapan lagi bagi penegakan keadilan di
negara ini, yakni hopless,” kata
mantan Wakil Ketua DPD RI itu.
Sementara
Hakim Agung Salman Luthan meminta publik tidak menilai hal ini sebagai cerminan
aparat penegak hukum secara keseluruhan. Ia juga mengatakan bahwa kondisi dunia
peradilan kita tidak segawat yang muncul di pemberitaan beberapa waktu terakhir
ini. "Banyak permasalahan memang benar, tapi bukan gambaran umum lembaga
secara menyeluruh," kata Salman di Jakarta, Rabu (25/5).
Menurutnya,
kasus terbaru di mana Ketua PN Kepahiyang, Bengkulu, ditangkap KPK dengan empat
orang lainnya, hanyalah cerminan dari sebagian masalah di bidang peradilan.
Ia
menuturkan, sebagian masalah itu justru merupakan bagian dari pekerjaan rumah
yang akan dibenahi MA. "Saya kira ini kan proses alamiah, ini kan terus
berlanjut, tapi bagaimana MA merespon ini lebih responsif," ujarnya.
Ia
juga tidak sependapat jika dikatakan sistem penanganan perkara di MA dinilai
sangat buruk. Pasalnya, ia menilai MA juga sudah menuju kepada era keterbukaan
manajemen perkara.
Juru
bicara MA, Suhadi, enggan menanggapi pernyataan peneliti Indonesia Corruption
Watch (ICW), Emerson Yuntho, yang meminta Ketua MA, Hatta Ali, untuk mundur
karena dinilai gagal dalam memimpin lembaga peradilan. "Silakan saja kalau
hanya mengusulkan," kata Suhadi.
Emerson Yuntho.
|
Sebelumnya,
Emerson meminta Ketua MA untuk mundur karena banyaknya hakim yang tertangkap
dalam OTT KPK. Menurut Emerson, pengawasan hakim tak terlepas dari kepemimpinan
MA. Ia menilai kepemimpinan Ketua MA, Muhammad Hatta Ali, masih lemah. "Kalau
dia serius, MA tetapkan darurat korupsi peradilan. Jadi kayak ada instruksilah,
ada pernyataan bahwa pengadilan dalam keadaan darurat korupsi," ucap
Emerson. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment