SOPIR AKIL MUKHTAR SIAP UNGKAP
SUAP BUPATI BANYUASIN
Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian.
|
BEBERAPA bupati dan walikota di
Provinsi Sumatera Selatan sudah dijebloskan ke
penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun ada satu
kepala daerah yang
belum tersentuh hukum, yaitu Bupati Banyuasin, Yan
Anton Ferdian SH, yang diduga ikut
tersandung pula dalam kasus suap terhadap
Akil Mukhtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah
divonis seumur hidup.
Berdasarkan surat pernyataan bermaterai Rp 6.000,- yang dikirim kepada wartawan Majalah
Fakta di Palembang, Raito Ali, oleh seseorang yang bernama Miko
Panji Tirta, pekerjaan swasta, jenis
kelamin laki-laki, agama
Islam, beralamat di Jalan R A Prawira
Adi Negara RT 04/RW 012 No.187 Desa Marga Mulia,
Kecamatan Manojaya, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat, 46197,
yang mengaku sebagai sopir pribadi Akil Mukhtar, mantan Ketua MK, secara gamblang menyebutkan kasus suap antara Mukhtar Efendi
dan Akil Mukhtar dengan para Kepala Daerah yang sudah dilantik salah satunya Bupati Banyuasin (Yan Anton
Ferdian).
Surat
pernyataan itu dibuat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari pihak mana pun.
Miko berharap KPK dapat mengambil keterangan darinya yang
mengaku tahu banyak tentang jual beli keputusan MK yang
dilakukan oleh Mukhtar Efendi dan Akil Mukhtar. Setelah penetapan kemenangan Romi
Herton kala itu, datanglah Saudara Firman,
Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuasin, ke Cibinong
untuk minta tolong kepada Mukhtar Efendi masalah
diskualifikasi nomor urut 1, Yan
Anton Ferdian, pada Pilkada Kabupaten Banyuasin,
dan langsung ditemui oleh Mukhtar Efendi kira-kira
pukul 22.30 WIB di rumah Pak
Sambowo yang dijadikan kantor sementara PT Provik milik Mukhtar
Efendi.
Kemudian, Miko mendapat
cerita dari Mukhtar Efendi bahwa Pilkada Banyuasin dimenangkan
oleh Yan Anton Ferdian dengan cara membuat kesaksian tentang diskualifikasi
laporan politik uang yang dianggap Yan Anton Ferdian kurang
meyakinkan seperti gugatan 5 pasang calon yang dilakukan oleh pengacara
penggugat. Kemudian Mukhtar Efendi meminta uang
antara Rp 10-25 milyar kepada
Firmansyah, Sekda Banyuasin. Selanjutnya Firmansyah menyerahkan uang Rp 2
milyar. “Itu saya kurang jelas,
apakah melalui transfer atau kontan ? Yang saya tahu,
melalui Iwan, Kepala Cabang Bank
BPD Kalbar. Kemudian saya diminta oleh Mukhtar Efendi
untuk menagih uang kekurangan pembayaran kesepakatan antara Yan Anton Ferdian
melalui Sekda Firman yang belum terpenuhi atas permintaan Akil Mukhtar.
Saya tidak bersedia, kemudian Mukhtar Efendi
menugaskan Om Lakis, kerabat Om Mukhtar Efendi
yang bekerja sebagai sopir di BPD Kalbar. Om Lakis berangkat ke
Palembang dan menelepon saya, bahwa ia datang ke rumah
Yan Anton namun rumahnya tertutup dan dijaga ketat oleh satpol PP.
Kemudian Om Lakis berpura-pura menawarkan kerja sama
untuk pembuatan atribut pilkada,
padahal sebenarnya ia ingin menagih
hutang yang dijanjikan Rp 10 milyar baru
dibayar Rp 2 milyar sesuai
dengan kesepakatan. Namun Yan Anton tidak dapat ditemui. Om Lakis kembali ke
Cibinong melaporkan kepada Mukhtar Efendi bahwa
usahanya tidak berhasil”.
Selanjutnya Mukhtar
Efendi diperintahkan Akil Mukhtar untuk
mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya untuk menunda
pelantikan. “Surat yang beramplop cokelat
sempat saya lihat dan tembusannya kepada DPRD Banyuasin. Surat tersebut
diantarkan langsung oleh Mukhtar Efendi
ke Palembang bertemu dengan pengacara Romi Herton.
Selanjutnya mereka bertemu di Hotel Aryaduta
Palembang. Saya mengetahui ini dari istri muda Mukhtar Efendi
yang memberitahu keberadaannya serta pertemuannya dengan Yan
Anton Ferdian”.
Ir H Firmanyah, Sekdakab Banyuasin.
|
Sementara itu, Sekretaris
Daerah Kabupaten Banyuasin, Ir H Firmansyah,
yang dikonfirmasi Raito Ali dari FAKTA pada hari Senin, 16
Mei 2016, jam 12 siang, menurut
stafnya yang berada di depan pintu bahwa ia sedang di Jakarta.
Kemudian FAKTA meninggalkan berkas konfirmasi dengan
nomor agenda 1141.S.Sekda.16/V tentang dugaan keterlibatannya dalam kasus suap seperti yang disebutkan dalam surat sopir
Akil Mukhtar tersebut. Namun,
sampai berita ini dikirim ke redaksi, sang sekda belum
memberikan jawaban konfirmasi FAKTA itu baik secara tertulis
maupun secara lisan.
Sebagaimana
diketahui bahwa mantan Ketua MK, Akil Mukhtar, telah divonis seumur hidup dalam
perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10
sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian
uang.
Akil dituntut
berdasarkan enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c UU No.31 Tahun
1999 sebagaimana diubah UU No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim
yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada
Gunung Mas, Lebak, Palembang dan Empat Lawang.
Dalam sengketa
pilkada Gunung Mas, Akil dianggap terbukti mendapat Rp 3 miliar dari bupati
terpilih Gunung Mas, Hambit Bintih, melalui anggota Komisi II dari Fraksi
Partai Golkar, Chairun Nisa.
Selanjutnya
dalam sengketa pilkada Lebak, Akil dinilai mendapatkan Rp 1 miliar dari calon
bupati Lebak, Amir Hamzah, melalui pengacara mantan anak buah Akil, Susi Tur
Andayani. Uang tersebut berasal dari pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias
Wawan yang merupakan adik dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Dalam sengketa
pilkada Kota Palembang, Akil dinilai menerima uang sebesar Rp 19,87 melalui Mukhtar
Efendy yang diberikan calon walikota Palembang, Romi Herton, melalui rekening
CV Ratu Samagat.
Kemudian dalam
sengketa pilkada Kabupaten Empat Lawang, Akil mendapat Rp 15,5 miliar melalui
Mukhtar Efendy dari bupati petahana, Budi Antoni Aljufri.
Akil Mukhtar.
|
Dakwaan kedua
juga berasal dari pasal 12 huruf c UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
UU No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo
pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung
Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.
Dalam pilkada
Lampung Selatan tidak ditemukan penerimaan uang untuk Akil Mukhtar sehingga
dakwaan tersebut dinyatakan tidak terbukti.
Sedangkan pada
sengeketa pilkada Kabupaten Buton, Akil menerima Rp 1 miliar dari pasangan
calon bupati Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry yang diberikan melalui
rekening CV Ratu Samagat.
Dalam perkara
sengketa pilkada Kabupaten Pulau Morotai, Akil menerima Rp 2,99 miliar dari
calon bupati Rusli Sibua.
Selanjutnya
untuk pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Akil menerima Rp 1,8
miliar yang diberikan oleh bupati terpilih Tapanuli Tengah, Raja Bonaran
Situmeang.
Dakwaan ketiga
berasal dari pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo
pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji dalam sengketa pilkada Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Merauke,
Kabupaten Asmat dan Kabupaten Boven Digoel.
Akil
mendapatkan janji untuk menerima uang Rp 10 miliar dari Ketua DPD Partai Golkar
Provinsi Jawa Timur yang juga Ketua Bidang Pemenangan Pilkada Provinsi Jawa
Timur, Zainuddin Amali, namun sebelum janji itu terwujud Akil sudah ditangkap
pada 2 Oktober 2013.
Akil juga
menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011, Alex Hesegem, sebagai
imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan keberatan Pilkada Kabupaten
Merauke, Kabupaten Asmat dan Kabupaten Boven Digoel.
Dakwaan
keempat juga berasal dari pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan
sengketa pilkada Banten.
Akil pun mendapatkan
hadiah sejumlah Rp 7,5 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana dalam sengketa
pilkada Provinsi Banten yang dikirimkan ke rekening CV Ratu Samagat secara
bertahap dengan keterangan "biaya transprotasi dan sewa alat berat serta
"pembayaran bibit kelapa sawit".
Dakwaan kelima
adalah pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang jo pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang
aktif saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
KPK menduga
ada Rp 161 miliar yang merupakan harta kekayaan Akil itu merupakan hasil tindak
pidana korupsi sejak 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013. Namun majelis hakim
tidak menyetujui semua harta tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang. Majelis
hakim hanya melihat ada Rp 129,86 miliar yang menjadi bagian dari tindak pidana
pencucian uang Akil.
Dakwaan keenam
berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga
menyamarkan harta kekayaan hingga Rp 22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi
hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010. Namun ada dua orang hakim yang
menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) yaitu hakim anggota III,
Sofialdi, dan hakim anggota IV, Alexander Marwata. (F.601) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment