PENGHALANG
TERKABULNYA DOA
BISMILLAHIR Rohmaanir
Rohiim,
Assalamu’
alaikum Wr. Wb.
Harus
diakui, sebagian besar dari kita merasakan dalam batin dan galau pikiran,
mengapa permohonan doanya belum dikabulkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa (Swt). Dengan kata lain, mengapa amal
ibadahnya belum diterima Allah Swt. Padahal, kita memohon kepada-Nya sudah
berlangsung lama dan bahkan sudah bertahun-tahun. Sementara itu, meskipun kita
tetap istikamah memohon kepada Allah, namun kita tidak pernah, atau lupa terlintas
berpikir dan muhasabah (introspeksi): “mengapa
permohonan doaku belum/tidak dikabulkan Allah?”
Berkaitan dengan itu, sesungguhnya ada adab-adab penyebab penghalang permohonan doa kita. Kyai H Hasyim
Asy’ari setelah mengkaji beberapa hadis Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Saw), memberikan uraian tentang
adab yang dapat menghalangi amal ibadah kita, antara lain beliau menulis: “Tanpa adab dan perilaku yang terpuji, maka
apa pun amal ibadah seseorang tidak akan diterima di sisi Allah Swt (sebagai satu amal kebaikan),
baik menyangkut amal qalbiyah
(hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan)”. Dengan demikian dapat kita
pahami bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah Swt adalah melalui aspek adab,
yang disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukan.
Oleh karena itu, manusia wajib tafakur mencari penyebab
penghalang terkabul doanya. Boleh jadi, karena sebelumnya manusia tidak atau
kurang memperhatikan ibadah fardunya.
Misalnya, ia tidak memperhatikan adab berwudunya (contohnya, ketika wudu dalam
keadaan telanjang) dan tidak memperhatikan adab salatnya (contohnya, ketika
salat tergesa-gesa). Jika adab wudu dan adab salatnya sudah benar dan paripurna, namun masih ada adab
dan perilaku yang tidak terpuji yang dapat menjadi dosa. Allah menegaskan dalam
firman-Nya, [terjemahannya]: “Sesungguhnya orang-orang
yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka” (QS. al-Qamar [54]: 47).
Sementara itu, Nabi Saw bersabda,
[terjemahannya]: “Jangan
meremehkan dosa, karena dosa-dosa kecil akan
menjadi besar bila orang menghimpunnya”. Kiranya pesan Nabi tersebut menjadi peringatan manusia.
Dalam tataran praktik, sering kita temukan amal fi’liyah (perbuatan) yang tercela, yang dapat menghalangi terkabulkan doa
kita. Secara sosiologis (ilmu tentang sifat, perilaku dan perkembangan
masyarakat) dapat dicermati fi’liyah tercela
di sekitar
kita. Misalnya, berjualan dengan mengurangi berat timbangan;
berjualan/berdagang secara tetap dengan memakai tanah milik umum/publik; berjualan
makanan dengan memakai formalin/borak; makan/minum dengan tangan kiri; makan/minum
sambil berdiri; sholat memakai kaos
tanpa kerah; memakai celana pendek di luar rumah; memakai jilbab dengan
baju/celana ketat; suka cidera janji (misalnya, membayar hutang); mempersulit
pelayanan umum kepada masyarakat agar diberi imbalan; mengkomersilkan jabatan negara; bersepeda motor di
jalan umum tanpa helm; menilep uang parkir; merusak atau membiarkan tanaman kering
di sekitar rumahnya; mengabaikan hewan lapar di sekitar rumahnya dan amalan fi’liyah
tercela lainnya. Belum lagi terhitung, bagaimana amalan qalbiyah (hati), badaniyah
(badan) dan qauliyah (ucapan) yang
dapat menghambat terkabulnya permohonan doanya. Apabila amal fi’liyah
tercela tersebut dianggap hanya
sebagai dosa kecil, maka ingatlah pesan Ali
bin Abi Thalib Radiallahu ‘Anhu (ra) yang menegaskan bahwa: “dosa
yang paling besar adalah dosa yang dianggap kecil oleh pelakunya”. Oleh
karenanya, sudah sepatutnya kita menghindar dari segala bentuk jenis dosa,
meskipun dosanya dianggap kecil.
Uraian tersebut di atas merupakan sebagian kecil dari fi’liyah
tercela, yang teramati secara inderawi dan dipastikan akan melahirkan dosa.
Padahal dosa dapat menjadi penghalang terkabulnya doa. Imam Ibnul Qoyyim menyebut ada 40 lebih dampak dosa, antara lain:
1). Dosa menghalangi pelakunya dari ilmu, 2). Terhalang dari rezeki, dan 3).
Kehinaan di sisi Allah. Apabila Allah Swt mengabulkan permohonan doanya,
meskipun amal fi’liyah tercela. Namun sesungguhnya siksaan
akhirat itu lebih menghinakan (QS. Fushilat [41]: 16). Oleh karena itu, segeralah bertobat dan
perbaiki amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan),
maupun fi’liyah (perbuatan). Tobat yang disertai dengan iman, kemudian istikamah kualitas salat dan
berzikirnya serta taat pada hukum-hukum Allah (QS. at-Taubah [9]: 112), adalah
tidak lain dengan harapan agar dosa-dosanya diampuni Allah Swt, sehingga dalam
menghadapi kematian sewaktu-waktu tidak meninggalkan beban bagi dirinya.
Kematian ? Ya itulah batas akhir kelakuan manusia sebelum memasuki kehidupan yang
kekal.
Akhirulkalam, hendaknya permohonan doa kita tidak
terbebani dengan hal-hal yang mubah, syubhad yang dekat dengan haram. Wallahu a’lambil-shawab. Selamat
menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H, Mohon Maaf Lahir &
Batin.
Daftar Pustaka
Ardian Husaini, Makna “Adab”
dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam
Adian Husaini, et.al. Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Gema Insani, Jakarta, 2013.
Eddy Pranjoto W, Keniscayaan
Berzikir, Pustaka Akhlak, Edisi Revisi Cetakan Kedelapan,
Surabaya, 2015.
Oleh:
Dr H Eddy Pranjoto W SH MH MPA MSi.
Ketua Umum Yayasan Masjid Baitul
Mukmin Dukuh Kupang Barat Surabaya
No comments:
Post a Comment