Sejumlah Anggota Polres Mamasa Aniaya Uppy
KAPOLDA Sulselbar, Irjen Pol
Pudji Hartanto, terus-menerus berupaya meningkatkan citra polisi di wilayah
kerjanya. Tapi ternyata masih ada oknum anggotanya yang mencoreng nama baik
kepolisian, khususnya di wilayah hukum Polres Mamasa.
Ulah tidak manusiawi yang dilakukan oknum
Polres Mamasa itu menimpa korbannya yang bernama Uppy, pemuda warga Dusun Makau,
Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa. Uppy terbaring lemas di Puskesmas Polmas akibat
dianiaya oknum Polres Mamasa.
Kronolgisnya, waktu itu Uppy bersama dengan
beberapa temannya sedang berdiri di tepi jalan depan MC Net Kota Mamasa. Saat
itu sebuah motor dengan kecepatan tinggi menyambarnya dan Uppy pun menegur
pengendara motor tersebut. Mendengar teguran Uppy, si pengendara motor menghentikan
motornya dan mendatangi Uppy. Hingga terjadi perkelahian. Tidak lama kemudian pengendara
motor tersebut kabur dan bersembuyi di tempat penjahit Rahmat.
Ketika
Uppy mengejar pengendara motor itu masuk ke tukang jahit, ada yang berteriak
kalau yang berkelahi dengannya itu adalah polisi. “Saya tidak tahu, Pak, kalau
yang berkelahi dengan saya itu adalah polisi. Karena ketika itu dia berpakaian
preman. Makanya, ketika saya sudah tahu dia polisi, saya tidak lagi mengejarnya
masuk ke tukang jahit, bahkan saya langsung mengamankan diri ke Malabo yang
berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Mamasa. Dia saya tegur supaya jangan
balapan di jalanan. Apalagi saya sempat disambarnya. Tapi dia malah berbalik
mendatangi saya dengan gaya menantang. Makanya saya langsung pukul dia duluan
sebelum saya dipukul,” tutur Uppy.
Keesokan
harinya (6 Desember 2015), masih menurut Uppy, ia dijemput oleh beberapa
anggota Polres Mamasa di Malabo. Ia langsung dibawa ke ruang penyidik Polres
Mamasa. “Di ruang penyidik itulah saya dianiaya secara bergantian. Ada yang
menendang, memukul dan ada pula yang menyemprotkan gas air mata. Banyaknya
pukulan dan tendangan yang saya alami membuat saya hampir tak sadarkan diri dan
tidak bisa bernafas. Saat itu saya sudah pasrah kalau mati ya mati sajalah.
Saya tidak tahan, sekujur tubuh saya rasanya remuk dan mata saya tidak bisa melihat
lagi. Ruangan itu ditutup dan dikunci. Dari luar ruangan saya mendengar ada
beberapa orang yang berteriak-teriak agar saya membuka pintu. Waktu itu saya
takut membukakan pintunya karena saya takut dianiaya lagi. Tapi para polisi itu
kembali masuk ke ruangan dan menganiaya saya lagi secara bergantian,” jelas
Uppy dengan suara lemah.
Penganiayaan
yang dialami Uppy tidak berhenti sampai di situ. Saat diantar menuju sel
tahanan, seorang oknum polisi kembali menyemprotkan gas air mata ke wajahnya.
Begitu pula ketika akan dibawa ke ruang penyidik untuk dibuatkan berita acara
pemeriksaan (BAP), ia kembali menjadi bulan-bulanan sejumlah oknum polisi.
Akibat
penganiayaan itu Uppy mengalami cacat seumur hidup karena rahang sebelah kanannya
remuk kena pukulan bertubi-tubi. Begitu pula dengan pelipis sebelah kirinya robek.
“Juga hidung dan mulut saya mengeluarkan darah. Setelah itu saya dimasukkan
lagi ke sel tahanan Polres Mamasa. Saya dianggap binatang. Para polisi itu
bukan pengayom dan pelindung masyarakat, mereka anggap dirinya berkuasa sebagai
polisi tapi sampai kapan mereka akan menjadi polisi ? Mereka pasti akan kembali
juga menjadi masyarakat bila pensiun nanti dan saat itulah berakhirlah mereka
sebagai polisi,” kata korban bersama keluarganya.
Pada
12 Desember 2015 Uppy dibawa ke Lapas Mamasa yang berjarak 12 kilometer dari ibu
kota Kabupaten Mamasa. Hanya sekitar tiga jam Uppy berada di lapas karena pegawai
lapas tidak mau menerimanya. Kondisi Uppy saat itu sudah sangat lemah. Apalagi
mulut dan hidungnya mengalami pendarahan. “Melihat kondisi cucu saya yang sudah
sangat lemah, pihak Lapas Mamasa menelepon Polres Mamasa untuk menjemput cucu
saya dan dibawa berobat. Tengah malamnya petugas Polres Mamasa datang menjemput
cucu saya dan membawanya ke Puskesmas Mamasa. Cucu saya hanya mendapat
perawatan seadanya. Sesudah mendapat perawatan, cucu saya dimasukkan ke kamar
tanpa sepengetahuan kami keluarganya. Cucu saya dibiarkan sendirian di kamar,”
terang Yohana, nenek Uppy, kepada FAKTA.
Sementara
itu dr Adam Baso yang bertugas di Puskesmas Mamasa mengatakan, pendarahan di
hidung dan mulut Uppy itu dikarenakan adanya tekanan benda tumpul baik itu
berupa pukulan tangan atau benda keras lainnya.
Penganiayaan
yang dialami Uppy oleh anggota Polres Mamasa ini mendapat perhatian serius dari
Lembaga Adat Mamasa. Seperti disampaikan Gerson, Ketua Bidang Pendidikan Lembaga
Adat Mamasa dan Ketua Dewan Perdamaian Desa Osango. Ketika dihubungi FAKTA via
telepon selulernya, ia mengatakan, pihaknya sangat prihatin dan mengutuk oknum
polisi yang melakukan penganiayaan terhadap Uppy tersebut sampai 7 turunan.
“Hukum
adat kita di Mamasa tidak membolehkan siapa pun main hakim sendiri. Apalagi
sampai mengeluarkan darah. Hukum adat Mamasa sejalan dengan hukum pemerintah, tidak
membolehkan adanya tindakan main hakim sendiri. Tapi, kenyataannya, pihak
Polres Mamasa dalam menangani kasus perkelahian polisi dengan Uppy itu adalah
tindakan main hakim sendiri. Padahal polisi selalu mengimbau kepada masyarakat
untuk tidak main hakim sendiri, ternyata justru polisi sendiri yang melanggar hukum,
tidak disiplin, dan bukan lagi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Kapolres Mamasa harus bertanggung jawab dan memberikan sanksi berat kepada
anggotanya yang melakukan penganiayaan tersebut. Apalagi Presiden Jokowi sudah
wanti-wanti jangan sakiti hati rakyat !”
Kapolres
Mamasa, AKBP Wisnu Buddaya SH MH, ketika dihubungi telepon selulernya mengakui
kalau kejadian ini benar adanya. Kapolres pun berjanji memberi sanksi keras
kepada anggotanya yang terbukti bersalah sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment