Sunday, April 10, 2016

MAKASSAR RAYA

Sejumlah Anggota Polres Mamasa Aniaya Uppy

KAPOLDA Sulselbar, Irjen Pol Pudji Hartanto, terus-menerus berupaya meningkatkan citra polisi di wilayah kerjanya. Tapi ternyata masih ada oknum anggotanya yang mencoreng nama baik kepolisian, khususnya di wilayah hukum Polres Mamasa.
Ulah tidak manusiawi yang dilakukan oknum Polres Mamasa itu menimpa korbannya yang bernama Uppy, pemuda warga Dusun Makau, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa. Uppy terbaring lemas di Puskesmas Polmas akibat dianiaya oknum Polres Mamasa. 
Kronolgisnya, waktu itu Uppy bersama dengan beberapa temannya sedang berdiri di tepi jalan depan MC Net Kota Mamasa. Saat itu sebuah motor dengan kecepatan tinggi menyambarnya dan Uppy pun menegur pengendara motor tersebut. Mendengar teguran Uppy, si pengendara motor menghentikan motornya dan mendatangi Uppy. Hingga terjadi perkelahian. Tidak lama kemudian pengendara motor tersebut kabur dan bersembuyi di tempat penjahit Rahmat.
Ketika Uppy mengejar pengendara motor itu masuk ke tukang jahit, ada yang berteriak kalau yang berkelahi dengannya itu adalah polisi. “Saya tidak tahu, Pak, kalau yang berkelahi dengan saya itu adalah polisi. Karena ketika itu dia berpakaian preman. Makanya, ketika saya sudah tahu dia polisi, saya tidak lagi mengejarnya masuk ke tukang jahit, bahkan saya langsung mengamankan diri ke Malabo yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Mamasa. Dia saya tegur supaya jangan balapan di jalanan. Apalagi saya sempat disambarnya. Tapi dia malah berbalik mendatangi saya dengan gaya menantang. Makanya saya langsung pukul dia duluan sebelum saya dipukul,” tutur Uppy.
Keesokan harinya (6 Desember 2015), masih menurut Uppy, ia dijemput oleh beberapa anggota Polres Mamasa di Malabo. Ia langsung dibawa ke ruang penyidik Polres Mamasa. “Di ruang penyidik itulah saya dianiaya secara bergantian. Ada yang menendang, memukul dan ada pula yang menyemprotkan gas air mata. Banyaknya pukulan dan tendangan yang saya alami membuat saya hampir tak sadarkan diri dan tidak bisa bernafas. Saat itu saya sudah pasrah kalau mati ya mati sajalah. Saya tidak tahan, sekujur tubuh saya rasanya remuk dan mata saya tidak bisa melihat lagi. Ruangan itu ditutup dan dikunci. Dari luar ruangan saya mendengar ada beberapa orang yang berteriak-teriak agar saya membuka pintu. Waktu itu saya takut membukakan pintunya karena saya takut dianiaya lagi. Tapi para polisi itu kembali masuk ke ruangan dan menganiaya saya lagi secara bergantian,” jelas Uppy dengan suara lemah.
Penganiayaan yang dialami Uppy tidak berhenti sampai di situ. Saat diantar menuju sel tahanan, seorang oknum polisi kembali menyemprotkan gas air mata ke wajahnya. Begitu pula ketika akan dibawa ke ruang penyidik untuk dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP), ia kembali menjadi bulan-bulanan sejumlah oknum polisi.
Akibat penganiayaan itu Uppy mengalami cacat seumur hidup karena rahang sebelah kanannya remuk kena pukulan bertubi-tubi. Begitu pula dengan pelipis sebelah kirinya robek. “Juga hidung dan mulut saya mengeluarkan darah. Setelah itu saya dimasukkan lagi ke sel tahanan Polres Mamasa. Saya dianggap binatang. Para polisi itu bukan pengayom dan pelindung masyarakat, mereka anggap dirinya berkuasa sebagai polisi tapi sampai kapan mereka akan menjadi polisi ? Mereka pasti akan kembali juga menjadi masyarakat bila pensiun nanti dan saat itulah berakhirlah mereka sebagai polisi,” kata korban bersama keluarganya.
Pada 12 Desember 2015 Uppy dibawa ke Lapas Mamasa yang berjarak 12 kilometer dari ibu kota Kabupaten Mamasa. Hanya sekitar tiga jam Uppy berada di lapas karena pegawai lapas tidak mau menerimanya. Kondisi Uppy saat itu sudah sangat lemah. Apalagi mulut dan hidungnya mengalami pendarahan. “Melihat kondisi cucu saya yang sudah sangat lemah, pihak Lapas Mamasa menelepon Polres Mamasa untuk menjemput cucu saya dan dibawa berobat. Tengah malamnya petugas Polres Mamasa datang menjemput cucu saya dan membawanya ke Puskesmas Mamasa. Cucu saya hanya mendapat perawatan seadanya. Sesudah mendapat perawatan, cucu saya dimasukkan ke kamar tanpa sepengetahuan kami keluarganya. Cucu saya dibiarkan sendirian di kamar,” terang Yohana, nenek Uppy, kepada FAKTA.
Sementara itu dr Adam Baso yang bertugas di Puskesmas Mamasa mengatakan, pendarahan di hidung dan mulut Uppy itu dikarenakan adanya tekanan benda tumpul baik itu berupa pukulan tangan atau benda keras lainnya.
Penganiayaan yang dialami Uppy oleh anggota Polres Mamasa ini mendapat perhatian serius dari Lembaga Adat Mamasa. Seperti disampaikan Gerson, Ketua Bidang Pendidikan Lembaga Adat Mamasa dan Ketua Dewan Perdamaian Desa Osango. Ketika dihubungi FAKTA via telepon selulernya, ia mengatakan, pihaknya sangat prihatin dan mengutuk oknum polisi yang melakukan penganiayaan terhadap Uppy tersebut sampai 7 turunan.
“Hukum adat kita di Mamasa tidak membolehkan siapa pun main hakim sendiri. Apalagi sampai mengeluarkan darah. Hukum adat Mamasa sejalan dengan hukum pemerintah, tidak membolehkan adanya tindakan main hakim sendiri. Tapi, kenyataannya, pihak Polres Mamasa dalam menangani kasus perkelahian polisi dengan Uppy itu adalah tindakan main hakim sendiri. Padahal polisi selalu mengimbau kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri, ternyata justru polisi sendiri yang melanggar hukum, tidak disiplin, dan bukan lagi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Kapolres Mamasa harus bertanggung jawab dan memberikan sanksi berat kepada anggotanya yang melakukan penganiayaan tersebut. Apalagi Presiden Jokowi sudah wanti-wanti jangan sakiti hati rakyat !”

Kapolres Mamasa, AKBP Wisnu Buddaya SH MH, ketika dihubungi telepon selulernya mengakui kalau kejadian ini benar adanya. Kapolres pun berjanji memberi sanksi keras kepada anggotanya yang terbukti bersalah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment