Friday, June 12, 2015

INFO JATIM : Ada Opsi Lain Jika Obat Kanker Habis

Direktur RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo MPH
DIREKTUR RSU Dr Soetomo Surabaya, dr Dodo Anondo MPH, menyebutkan, jika obat kanker menghilang ada dua opsi yang ditawarkan. Pertama, dicarikan obat pengganti. Sesuai dengan formularium nasional (fornas), ada beberapa jenis obat yang ditanggung BPJS pada satu penyakit. Namun, jika obat yang kosong itu hanya satu-satunya yang bisa diresepkan, Dodo meminta dokter membuat laporan ke rumah sakit. Dengan begitu, dia menyatakan siap untuk segera melayangkan surat ke Dirjen Bina Kefarmasian (Binfar) Kemenkes.
Jika masalahnya pada pabrik yang tidak menyuplai obat, hanya menkes yang bisa turun tangan, yakni menegur pabrik. Selain kemenkes, ketersediaan obat berkaitan dengan BPJS. “Saya akan minta ke BPJS dan menkes. Ini sudah urusan tingkat atas. Kami hanya sebagai pengguna,” tegasnya.
Dodo menambahkan, selama ini pasien kanker memang tinggi. Termasuk yang membutuhkan obat. Misalnya, untuk kemoterapi. Sebanyak 22 kamar tidur di ruang kemoterapi RSU Dr Soetomo penuh setiap hari. “Di POSA itu obat harian. Biasanya oral untuk ditelan. Kalau kemo ada khusus, dilewatkan infus,” ujarnya.
Menanggapi habisnya obat kanker, dr Heru Purwanto SpB(K)Onk mengakuinya. Salah satunya, Tamoxifen, obat oral untuk kanker. Ada ratusan pasien yang membutuhkan obat tersebut. Menurutnya, obat kanker ada beberapa jenis. Misalnya A, B, dan C.
“Masalahnya, obat tersebut direkomendasikan untuk kanker tertentu. Obat yang lain tidak bisa. Sebab, peraturannya harus memakai merek itu yang dihasilkan dari pabrikan khusus. Sudah sebulan lebih tidak ada,” ucapnya.
Dokter yang menangani langsung pasien kanker di RSU Dr Soetomo itu menuturkan, obat tersebut sudah diresepkan kepada pasien. Namun, apotek tidak bisa melayani. Alasannya, obat kosong dari pabrik.
RSU Dr Soetomo Surabaya
Selain obat oral tersebut, Heru juga mengakui kekosongan Zoladex. Obat tersebut perlu diinjeksikan setiap bulan ke tubuh pasien sebagai terapi hormonal. Dia pun menyebut hanya bisa menunggu bagian farmasi POSA untuk mengadakan obat tersebut. Sebab, banyak pasien yang sangat membutuhkannya. “Semoga segera ada,” ucapnya.
Pasien kanker di RSU Dr Soetomo memang tidak bisa leluasa mendapatkan obat. Sejak dua pekan lalu, instalasi farmasi di Poli Onkologi Satu Atap (POSA) menyebutkan kehabisan obat untuk beberapa penyakit kanker. Misalnya, kanker usus, getah bening, mata, dan payudara. Padahal, ada 500 pasien per bulan yang datang dan membutuhkan obat tersebut. Seperti yang dialami Marina. "Jumat (17/4) saya ke apotek itu dan dikatakan bahwa obat untuk kanker payudara habis. Padahal, obat itu harus segera disuntikkan ke pasien," ujar Marina.
Menurut dia, obat tersebut bernama Zoladex. Saat itu dia mengantre sejak pukul 09.00 di Apotek POSA. Perempuan berusia 50 tahun tersebut mendapat antrean nomor 70. Marina baru dipanggil untuk mengambil obat pukul 13.00. Seperti disambar petir, petugas apotek menyebutkan obat itu kosong. Padahal, obat tersebut sedianya diperuntukkan bagi temannya yang ketika itu terbaring di rumah sakit.
Marina menyebut sang teman menderita kanker payudara stadium IV sejak dua tahun lalu. Dia diminta untuk mengambilkan obat lantaran kondisinya tidak memungkinkan. Dia pun kecewa. Apalagi sang petugas tidak bisa memberikan jawaban pasti kapan obat itu tersedia. Sebab, kekosongan obat itu sudah terjadi beberapa hari. "Ini obat satu-satunya untuk pasien kanker payudara yang belum menopause. Saya kecewa sekali," ucapnya.
Marina mengungkapkan, sang teman harus disuntik Zoladex setiap bulan. Dia berusaha menemui dokter RSU Dr Soetomo yang memberikan resep. Hingga akhirnya dia bertemu dengan dokter tersebut di tempat praktiknya pada Senin (19/4). Saat itu Marina mengeluhkan kekosongan obat itu. Sang dokter pun mengaku baru tahu bahwa obat itu tidak ada. "Dokternya bilang sendiri bahwa pasien yang butuh obat itu banyak. Tapi, nyatanya memang habis," katanya.
Dokter tersebut menawarkan opsi agar dia membeli obat dari luar alias dengan membayar sendiri, bukan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Harganya tidak murah, yaitu sekitar Rp 2 juta. Angka itu cukup besar untuk pasien kelas menengah ke bawah. "Kalau yang punya uang tidak masalah, tapi bagi yang tidak punya uang bagaimana ?" ucap Marina.
Perempuan yang juga Ketua Indonesian Ostomy Association (In OA) Surabaya itu menyatakan, pasien yang mengantre untuk obat tersebut bukan hanya dirinya tetapi banyak yang lain. Apalagi yang rumahnya di luar Surabaya. "Saya saja teller, apalagi yang dari luar kota bagaimana ? Datangnya lebih pagi pula. Kenapa tidak ada koordinasi antara apotek POSA dengan dokter ? Jadi, dokter tidak nulis resep obat itu," ujar Marina.

Kondisi tersebut, menurut dia, sebenarnya terjadi sudah sejak lama. Dia menyatakan pernah kontrol untuk meminta reagen kit tes penanda tumor. Sebab, dia pernah menderita kanker rektum. Namun, reagen itu juga dikatakan habis. "Mudah-mudahan kondisi seperti ini tidak berlanjut terus," ungkapnya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment