PEMILUKADA
JIKA mendengar
kata PEMILU di Indonesia, di benak kita terbayangkan “bagi-bagi
amplop, kaos, sewa kampanye, sewa demo”. Jika
PEMILU akan dilaksanakan, jalan-jalan
dari kampung hingga jalan raya dibenahi, sarana-sarana
fasum diperindah, peningkatan bantuan dana WELAS ASIH ditebar di mana-mana,
senyum-simpul di mana-mana,
bantuan AMBULAN di mana-mana
meskipun kadang di suatu daerah bantuan AMBULAN setelah selesai PEMILU ditarik
kembali oleh paratai yang memberikan bantuan itu. Para kontestan PEMILU operasi
plastik supaya bibir selalu terlihat tersenyum terus,
supaya tidak capek selalu tersenyum setiap hari, supaya tidur pun jika dipotret
masih terlihat tersenyum.
Tebar senyum dan janji-janji mudah-mudahan
tidak PHP (pemberi harapan palsu), bahkan sebelum PILKADA ini sudah ada yang
meningkatkan BOS (bantuan orang susah) dan menambahkan BLT (bantuan langsung
terima).
Memang,
sebelum PEMILUKADA kali ini, ujar Asep (56) kepada penulis,
masih ada yang gerilya menemui para GOLPUT (golongan pencari uang tunai), entah
berapa jumlah yang diterima tapi masih banyak yang melakukan itu.
Bahkan ada berita bahwa ada penambahan TPS dan kotak suara, wah ini penipuan
PEMILU gaya baru. PEMILU pun diplesetkan kepenjangannya jadi PEMERATAAN MAKANAN DAN MINUMAN LIMA TAHUN SEKALI, dan KADA jadi Kepada
Anda Semua.
Bisa dilihat keadaan kehidupan
bangsa Indonesia, manusianya
dengan badan yang kecil belum usia tua sudah keriput, hilang giginya
alias sudah ompong, kurang gizi, stres, pesimistis,
gampang diadu domba, pendidikannya 70 persen masih
rendah, bahkan sekarang ini ada yang
tidak mau sekolah dasar dengan alasan membantu ekonomi orangtua (maklum
PESTANYA LIMA TAHUN SEKALI). Dan,
ada satu lagi, yaitu gampang sakit. Ikut BPJS
pun percuma. Malas sebenarnya mengurus
bangsa ini. Lihat saja rumah sakit
ogah-ogahan menerima pasien BPJS. Begitu kata H Iskandar (70) yang baru saja melakukan operasi prostat.
“Saya bayar asuransinya kelas satu, tapi ketika
berobat di rumah sakit saya ditaruh di kelas dua
dengan alasan kamar kelas satu penuh.
Kalau
memang penuh masak saya dirawat di situ sepuluh hari gak ada pasien kelas satu yang
keluar, itu manajemen rumah sakit cuma omong kosong saja. Yang
mestinya gratis diasuransi BPJS toh masih
bayar juga, itu pun servisnya asal-asalan. Beda
ketika saya dulu di Belanda, yang kalau
terdaftar di asuransi itu katanya gratis ya bener gratis, kelas satu ya kelas
satu. Kalau memang harus nunggu kamar ya
bener nunggu, kalau ada pasien kelas satu yang keluar kita langsung dipindahkan,
servisnya setara dengan kelasnya”.
Kembali pada PEMILU, kalau di negara-negara
yang mau berfikir maju mereka melakukan kampanye dan debat
melalui online dan TV, mereka tidak turun ke
jalanan dengan motor yang knalpotnya
dicopot, kadang brutal, ingin menguasai jalan sepenuhnya sehingga mengacaukan
lalu lintas, tanpa pengawalan polisi, persis orang mengantarkan
jenasah ke pemakaman. Jika
sudah memegang bendera kuning dikibar-kibarkan maka apa
saja yang di depannya dilibas. Mengawal orang
meninggal dunia menuju ke pemakaman malah bisa terjadi kematian mendadak bagi
pengantarnya. Nah, jika cara-cara
kampanye sudah rapi tinggal rakyat menilai, tanpa bagi-bagi amplop ngumpet-ngumpet, tanpa serangan
fajar karena serangan fajar gak bisa online. Jika
lima tahun lagi Indonesia belum berubah, masih saja menggunakan cara kolot,
maka republik ini wassalam-lah.
PEMILU sebenarnya bukan ukuran pesta rakyat, tapi
pemilu adalah ketika rakyatnya sedang bangga bisa memilih pemimpinnya dengan
langsung, memilih dengan demokratis, nyaman, aman, amanah jika kandidatnya terpilih cukup berpesta
sejenak, kemudian pestanya diatur tiap bulan sekali, adil, tinggalkan jauh-jauh
korupsi, di daerah pembaruan fasum tiap tahun sekali, gunakan semua dana yang
dianggarkan, kandidat tidak perlu operasi plastik menjadi ‘ETERNAL SMILE’. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Budi Slamet Riyadi
Kepala Perwakilan Majalah FAKTA Jakarta
No comments:
Post a Comment