USAI PILKADA SERENTAK, MK KEBANJIRAN PERKARA
Ketua MK sudah mengingatkan bahwa UU Pilkada telah
menentukan
perkara sengketa pilkada yang bisa diajukan ke MK hanya
menyangkut sengketa penetapan hasil penghitungan suara
Ketua MK RI, Prof Dr Arief Hidayat SH MS |
PEMILIHAN Kepala Daerah
(Pilkada) serentak usai digelar 9 Desember 2015 hampir di seluruh tanah air.
Banyak yang merasa tidak puas dengan hasil pemilihan yang sudah diumumkan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Daerah. Walhasil, Mahkamah Konstitusi (MK) RI seperti yang
diprediksi sebelumnya "kebanjiran" gugatan perkara pilkada serentak
ini.
Hingga Senin (21/12), MK menerima 105 perkara
dan kemungkinan bakal terus bertambah. Pemeriksaan berkas pendaftaran akan
berlangsung pada 21-31 Desember. Jika permohonan lengkap, kepaniteraan MK akan
menerbitkan akta permohonan lengkap. Pemohon masih memiliki peluang melengkapi
syarat permohonan 3x24 jam.
Semua permohonan yang lengkap itu akan masuk
dalam buku registrasi pada 4 Januari 2016. Sidang pertama dengan agenda
pemeriksaan pendahuluan akan berlangsung mulai 7 Januari 2016. Proses sidang
sampai putusan akan berlangsung sampai 45 hari kerja.
Pilkada serentak tahun ini digelar di 264
daerah. Pantauan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperlihatkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak tahun ini berkisar antara 60-70
persen.
Fajar Laksono, Juru Bicara MK RI |
Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan,
hingga Rabu (23/12), MK telah menerima 144 permohonan. "Sampai hari ini
ada 144 (pemohon). Kalau dirinci, 138 pilkada kabupaten/kota, 6 pilkada
provinsi," tutur Fajar di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta
Pusat.
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU), pendaftaran sengketa PHP seharusnya telah ditutup Selasa (22/12).
Namun, Fajar mengatakan, MK akan tetap membuka pendaftaran bagi daerah-daerah
yang mau mengajukan permohonan meski melewati batas 22 Desember.
Dia menambahkan, pada prinsipnya MK akan
menerima permohonan sesuai peraturan perundang-undangan, di mana batas waktu
melayangkan gugatan adalah 3x24 jam sejak pengumuman pemenang pilkada. "Artinya,
kalaupun ada yang (pemenang pilkadanya) diumumkan hari ini, maka 3x24 jam ke
depan kita masih bisa menerima permohonan," kata Fajar.
Mengenai materi permohonan, MK masih
melakukan proses penelaahan dan verifikasi sehingga belum bisa dipublikasikan secara
luas kepada publik. Sementara itu, terkait sebaran permohonan, Fajar
menjelaskan, permohonan mayoritas datang dari luar Pulau Jawa. "Misalnya,
Sumatera Utara. Kurang lebih ada 14 permohonan. Sulawesi Utara, Sulawesi Barat,
Papua," ujarnya.
Masih menurut Fajar, ada pula daerah yang
pemohonnya lebih dari satu namun digabungkan dalam satu permohonan. Misalnya,
Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Muko-Muko. "Satu permohonan tapi
ada gabungan di situ. Dua atau tiga pasangan calon. Kalau tidak salah Manggarai
Barat dan Muko-Muko. Tapi sedang kita data semua ini. Karena asumsi kita tadi
malam 22 Desember jam 00.00 kan batas akhir. Sedang kita data berapa permohonan
per provinsi, berapa pasangan calon," kata Fajar.
Dari website MK, dari tanggal 18 Desember
2015 sampai tanggal 26 Desember 2015 ada 147 perkara perselisihan hasil
pemilihan gubernur, bupati, walikota tahun 2015.
Aktivis Ratna Sarumpaet memprotes pasal 158
UU RI No. 8 Tahun 2015 Tentang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Sebab, ditentukan
MK hanya menerima gugatan pilkada yang memperoleh suara 2 persen. "Ada
yang jangka pendek sekian ratusan calon kepala daerah ini harus disentuh MK,
supaya bisa menciptakan kepala daerah yang kredibel," ujar Ratna saat
diskusi 'Sengketa Pilkada 2015 yang diajukan ke MK' di Restoran Handayani,
Jakarta, Sabtu (26/12).
Ratna mengharapkan pihak DPR mendesak MK agar
tidak membatasi sengketa pilkada. Dia menilai pasal 158 itu merusak demokrasi
yang sedang dibangun pemerintahan Jokowi-JK. "Adanya batasan tidak ada
proses hukum untuk memimpin itu masalah, siapa pun salah kalau ada pasal ini
dibiarkan, ada kesan merusak pemerintah," ujar aktivis 98 ini.
Lanjut dia, pelanggaran pilkada juga harus
diproses hukum di MK agar pemilih juga bisa mendapatkan keadilan.
"Pelanggaran pilkada tidak bisa diproses, yang ada sengketa perolehan
suara, padahal pelanggaran itu harus disentuh proses hukum," kata dia.
Pasal 158 ayat 1 mengatur tentang permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur. Sedangkan, ayat 2 mengatur tentang permohonan pembatalan hasil
penghitungan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota. Dua ayat dalam pasal ini memberikan batasan maksimal untuk mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara.
UU Pilkada No.8 Tahun 2015 pasal 158 ayat (1)
dan ayat (2) mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan
selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU
Provinsi maksimal 2 juta penduduk. Sementara bagi penduduk lebih dari 2 juta
hingga 6 juta, syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih maksimal
1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.
M Guntur Hamzah, Sekjen MK RI |
Untuk tingkat kabupaten atau kota, jumlah
penduduk di bawah 250 ribu selisih minimal 2 persen, jumlah penduduk antara
250-500 ribu selisih suara minimal 1,5 persen. Untuk daerah dengan jumlah
penduduk 500 ribu - 1 juta jiwa, minimal selisih suara 1 persen, dan daerah
dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa minimal selisih suara 0,5 persen.
Ketua MK, Prof Dr Arief Hidayat SH MS, jauh
hari sudah mengingatkan bahwa UU Pilkada telah menentukan perkara sengketa
pilkada yang bisa diajukan ke MK hanya menyangkut sengketa penetapan hasil
penghitungan suara. Selain itu, sengketa hasil penghitungan suara ini ada
syarat presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif oleh UU Pilkada. “Ada
presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif oleh UU perkara yang bisa
digugat ke MK. Bedanya dengan sebelumnya, kalau dulu mengenal istilah pelanggaran
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” ujar Arief Hidayat saat Workshop
Penanganan Pilkada di aula gedung MK, Kamis (17/9).
Suasana pendaftaran gugatan pilkada serentak di MK RI |
Persoalan lain yang menyangkut pelanggaran
etika, administratif, pidana pemilu, dan keabsahan penetapan pasangan calon
merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lewat penegakan hukum terpadu (Gakumdu), dan
PTUN. “Saya harap persoalan lain sudah selesai di lembaga tersebut, sehingga
perkara yang masuk ke sini (MK) betul-betul perkara perselisihan hasil pilkada,
hanya hitungan angka-angka,” tegasnya.
Sekjen MK, M Guntur Hamzah, menambahkan bahwa
hal terpenting sifat sengketa hasil pilkada serentak kali ini ada filter
(penyaring) yang ditentukan dalam UU Pilkada. Sebab, tidak semua persoalan
dalam pilkada bisa diperkarakan di MK karena pasal 158 UU Pilkada sudah
menentukan persentase selisih suara yang bisa diajukan ke MK. “Ini harus
dipahami setiap pasangan calon pilkada dengan baik,” kata Guntur dalam
kesempatan yang sama.
Maka, tidak sedikit gugatan perkara pilkada serentak
kali ini yang diduga akan ditolak oleh MK karena tidak memenuhi ketentuan pasal
158 UU RI No. 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment