Friday, April 1, 2016

LIPUTAN KHUSUS

USAI PILKADA SERENTAK, MK KEBANJIRAN PERKARA

Ketua MK sudah mengingatkan bahwa UU Pilkada telah menentukan
perkara sengketa pilkada yang bisa diajukan ke MK hanya
menyangkut sengketa penetapan hasil penghitungan suara

Ketua MK RI, Prof Dr Arief Hidayat SH MS
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak usai digelar 9 Desember 2015 hampir di seluruh tanah air. Banyak yang merasa tidak puas dengan hasil pemilihan yang sudah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah. Walhasil, Mahkamah Konstitusi (MK) RI seperti yang diprediksi sebelumnya "kebanjiran" gugatan perkara pilkada serentak ini.
Hingga Senin (21/12), MK menerima 105 perkara dan kemungkinan bakal terus bertambah. Pemeriksaan berkas pendaftaran akan berlangsung pada 21-31 Desember. Jika permohonan lengkap, kepaniteraan MK akan menerbitkan akta permohonan lengkap. Pemohon masih memiliki peluang melengkapi syarat permohonan 3x24 jam.
Semua permohonan yang lengkap itu akan masuk dalam buku registrasi pada 4 Januari 2016. Sidang pertama dengan agenda pemeriksaan pendahuluan akan berlangsung mulai 7 Januari 2016. Proses sidang sampai putusan akan berlangsung sampai 45 hari kerja.
Pilkada serentak tahun ini digelar di 264 daerah. Pantauan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperlihatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada serentak tahun ini berkisar antara 60-70 persen.
Fajar Laksono, Juru Bicara MK RI
Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan, hingga Rabu (23/12), MK telah menerima 144 permohonan. "Sampai hari ini ada 144 (pemohon). Kalau dirinci, 138 pilkada kabupaten/kota, 6 pilkada provinsi," tutur Fajar di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), pendaftaran sengketa PHP seharusnya telah ditutup Selasa (22/12). Namun, Fajar mengatakan, MK akan tetap membuka pendaftaran bagi daerah-daerah yang mau mengajukan permohonan meski melewati batas 22 Desember.
Dia menambahkan, pada prinsipnya MK akan menerima permohonan sesuai peraturan perundang-undangan, di mana batas waktu melayangkan gugatan adalah 3x24 jam sejak pengumuman pemenang pilkada. "Artinya, kalaupun ada yang (pemenang pilkadanya) diumumkan hari ini, maka 3x24 jam ke depan kita masih bisa menerima permohonan," kata Fajar.
Mengenai materi permohonan, MK masih melakukan proses penelaahan dan verifikasi sehingga belum bisa dipublikasikan secara luas kepada publik. Sementara itu, terkait sebaran permohonan, Fajar menjelaskan, permohonan mayoritas datang dari luar Pulau Jawa. "Misalnya, Sumatera Utara. Kurang lebih ada 14 permohonan. Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Papua," ujarnya.
Masih menurut Fajar, ada pula daerah yang pemohonnya lebih dari satu namun digabungkan dalam satu permohonan. Misalnya, Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Muko-Muko. "Satu permohonan tapi ada gabungan di situ. Dua atau tiga pasangan calon. Kalau tidak salah Manggarai Barat dan Muko-Muko. Tapi sedang kita data semua ini. Karena asumsi kita tadi malam 22 Desember jam 00.00 kan batas akhir. Sedang kita data berapa permohonan per provinsi, berapa pasangan calon," kata Fajar.
Dari website MK, dari tanggal 18 Desember 2015 sampai tanggal 26 Desember 2015 ada 147 perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, walikota tahun 2015.
Aktivis Ratna Sarumpaet memprotes pasal 158 UU RI No. 8 Tahun 2015 Tentang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Sebab, ditentukan MK hanya menerima gugatan pilkada yang memperoleh suara 2 persen. "Ada yang jangka pendek sekian ratusan calon kepala daerah ini harus disentuh MK, supaya bisa menciptakan kepala daerah yang kredibel," ujar Ratna saat diskusi 'Sengketa Pilkada 2015 yang diajukan ke MK' di Restoran Handayani, Jakarta, Sabtu (26/12).
Ratna mengharapkan pihak DPR mendesak MK agar tidak membatasi sengketa pilkada. Dia menilai pasal 158 itu merusak demokrasi yang sedang dibangun pemerintahan Jokowi-JK. "Adanya batasan tidak ada proses hukum untuk memimpin itu masalah, siapa pun salah kalau ada pasal ini dibiarkan, ada kesan merusak pemerintah," ujar aktivis 98 ini.
Lanjut dia, pelanggaran pilkada juga harus diproses hukum di MK agar pemilih juga bisa mendapatkan keadilan. "Pelanggaran pilkada tidak bisa diproses, yang ada sengketa perolehan suara, padahal pelanggaran itu harus disentuh proses hukum," kata dia.
Pasal 158 ayat 1 mengatur tentang permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sedangkan, ayat 2 mengatur tentang permohonan pembatalan hasil penghitungan suara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Dua ayat dalam pasal ini memberikan batasan maksimal untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara.
UU Pilkada No.8 Tahun 2015 pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi maksimal 2 juta penduduk. Sementara bagi penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.
M Guntur Hamzah, Sekjen MK RI
Untuk tingkat kabupaten atau kota, jumlah penduduk di bawah 250 ribu selisih minimal 2 persen, jumlah penduduk antara 250-500 ribu selisih suara minimal 1,5 persen. Untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu - 1 juta jiwa, minimal selisih suara 1 persen, dan daerah dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa minimal selisih suara 0,5 persen.
Ketua MK, Prof Dr Arief Hidayat SH MS, jauh hari sudah mengingatkan bahwa UU Pilkada telah menentukan perkara sengketa pilkada yang bisa diajukan ke MK hanya menyangkut sengketa penetapan hasil penghitungan suara. Selain itu, sengketa hasil penghitungan suara ini ada syarat presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif oleh UU Pilkada. “Ada presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif oleh UU perkara yang bisa digugat ke MK. Bedanya dengan sebelumnya, kalau dulu mengenal istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” ujar Arief Hidayat saat Workshop Penanganan Pilkada di aula gedung MK, Kamis (17/9).
Suasana pendaftaran gugatan pilkada serentak di MK RI
Persoalan lain yang menyangkut pelanggaran etika, administratif, pidana pemilu, dan keabsahan penetapan pasangan calon merupakan kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lewat penegakan hukum terpadu (Gakumdu), dan PTUN. “Saya harap persoalan lain sudah selesai di lembaga tersebut, sehingga perkara yang masuk ke sini (MK) betul-betul perkara perselisihan hasil pilkada, hanya hitungan angka-angka,” tegasnya.
Sekjen MK, M Guntur Hamzah, menambahkan bahwa hal terpenting sifat sengketa hasil pilkada serentak kali ini ada filter (penyaring) yang ditentukan dalam UU Pilkada. Sebab, tidak semua persoalan dalam pilkada bisa diperkarakan di MK karena pasal 158 UU Pilkada sudah menentukan persentase selisih suara yang bisa diajukan ke MK. “Ini harus dipahami setiap pasangan calon pilkada dengan baik,” kata Guntur dalam kesempatan yang sama.
Maka, tidak sedikit gugatan perkara pilkada serentak kali ini yang diduga akan ditolak oleh MK karena tidak memenuhi ketentuan pasal 158 UU RI No. 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment