MENANTI PUTUSAN MKD
Rakyat menanti putusan MKD |
MAHKAMAH Kehormatan Dewan
(MKD) DPR RI menggelar rapat internal untuk menentukan jadwal sidang etik
terhadap Ketua DPR RI, Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Presiden Jokowi
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam negosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport
Indonesia. "Rapat internal MKD (agenda persidangan Setya Novanto)
ditentukan lewat rapat," kata Wakil Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad, Senin
(30/11).
Rapat akan dilakukan pukul 13.00 WIB dengan
beberapa agenda lainnya. "Rapat didahului dengan penetapan wakil ketua
baru dari Partai Golkar (Hardisoesilo diganti Kahar Muzakir)," ujar Dasco.
Saat disinggung siapa saja yang akan
dipanggil dalam kasus Setya Novanto ini, politikus Gerindra tersebut menyatakan
MKD belum menentukan hal tersebut.
"Masih jauh kita bicara itu (siapa saja
yang bakal dipanggil). Karena, rekaman 10 segmen itu belum lengkap, kita akan
minta data-data terbaru. Saya tidak bisa ungkapkan, karena ini menyangkut
materi," tandas Dasco.
Anggota DPR berinisial SN atau diduga Setya
Novanto dilaporkan ke MKD oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM),
Sudirman Said, pada Senin (16/11). Laporan tersebut terkait dugaan pencatutan
nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk perpanjangan
kontrak PT Freeport Indonesia.
Namun, Setya Novanto membantah tudingan dia
mencatut nama pimpinan negara. Bahkan, dia mengatakan, dalam transkrip
pembicaraannya dengan bos Freeport yang beredar, tidak ada satu kalimat pun
yang meminta saham.
Lucas SH sebagai penasihat hukum Setya
Novanto pun mengatakan bahwa pimpinan DPR mengakui jika petinggi PT Freeport
Indonesia atas keinginannya sendiri mengadakan pertemuan untuk membahas
perpanjangan kontrak.
Dipaparkan Lucas, kronologi pertemuan itu
berawal pada tanggal 27 April 2015 pukul 14.00 WIB, Direktur Utama Freeport
(MS) datang menemui SN di Gedung DPR. Kehadiran MS sendiri untuk meminta
bantuan agar SN dapat meyakinkan pemerintah untuk memperpanjang kontrak dengan
Freeport. Namun, lanjut Lucas, hasil tersirat dari pertemuan tersebut
menyatakan kontrak Freeport tidak dapat diperpanjang karena bertentangan dengan
undang-undang.
Selain itu jika Ketua DPR dapat membantu
perpanjangan kontrak Freeport maka ada imbalannya. Namun sebaliknya jika
kontrak Freeport tidak diperpanjang maka akan ada arbitrase internasional
terhadap Indonesia pada Juli 2015. "Pertemuan tersebut berlangsung di
ruang Ketua DPR antara Ketua DPR (SN) dengan Dirut Freeport (MS),” ujar Lucas
dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Selasa
(17/11/2015).
Dijelaskan Lucas pula bahwa beberapa hari
setelah pertemuan tersebut, Ketua DPR menemui Presiden Jokowi untuk menanyakan
sikap presiden terhadap perpanjangan kontrak Freeport. Saat itu presiden dengan
tegas menyampaikan bahwa Freeport tidak dapat diperpanjang karena melanggar UU
dan kalaupun mau diperpanjang harus diubah dengan kondisi yang lebih baik bagi
masyarakat Indonesia dan Papua.
"Selain itu, seharusnya hal ini tidak
perlu dibahas sekarang karena baru akan jatuh tempo 2021, sehingga kalau mau
dibahas nanti pada tahun 2019,” jelas Lucas.
Freeport picu konflik Menteri ESDM dan Ketua DPR |
Setelah pertemuan dengan presiden, SN menjadi
penasaran dan khawatir. Mengapa Freeport begitu antusias ? Selain itu SN juga
ingin mengetahui lebih jauh mengenai ancaman arbitrase internasional. Karena
itu, SN meminta bantuan seorang pengusaha berinisial R yang berkelas
internasional untuk ikut dalam pertemuan agar mendengar, memberikan masukan dan
menjadi saksi dalam pertemuan tersebut.
“Sebelum pertemuan kedua terjadi, SN dan R
terlebih dahulu sepakat bahwa Freeport tidak mungkin bisa diperpanjang karena
melanggar UU dan merugikan Indonesia dan Papua," terang Lucas.
Namun, imbuh Lucas, SN juga berpikir bahwa
perpanjangan Freeport harus dicegah. Hanya saja dalam sisi lain tetap harus
memperhatikan ancaman arbitrase internasional.
Dalam pertemuan kedua yang terjadi pada 13
Mei 2015, pukul 17.00 WIB, di Lantai 21 Board 1 Ritz Carlton, Pacific Place,
Jakarta Selatan, sikap dari Freeport tidak berubah malah semakin bersemangat. Apalagi
ketika dipancing oleh SN seolah-olah ada jalan untuk perpanjangan kontrak
Freeport. Namun pembicaraan tersebut belum juga tuntas dan dilanjutkan dengan
pertemuan yang ketiga.
Selanjutnya dalam pertemuan yang ketiga di
Lantai 21 Board 2 Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan, pada tanggal 8
Juni 2015, pukul 16.00 WIB, MS begitu antusias dan bersemangat sementara pihak
SN dan R sama sekali tidak tertarik dengan segala iming-iming dari Freeport.
Karena melihat gelagat yang tidak beres dan
setelah mengetahui siapa yang ada di balik semua ini, maka SN dan R mengakhiri
pertemuan tersebut. "Sebelum pertemuan ini diakhiri, SN membisiki MS dengan
kalimat kita orang Indonesia harus cinta Indonesia, bela kepentingan Indonesia
dan tidak hanya berdiri di atas kepentingan Freeport,” tegas Lucas. Lucas
mengatakan pertemuan pun diakhiri dan tidak ada pertemuan lebih lanjut.
Sebelumnya, Sudirman Said mengungkapkan ada
oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang mencatut nama Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memuluskan renegosiasi kontrak PT Freeport
Indonesia (FI) di Papua. "Seolah-olah presiden minta saham. Wapres juga
dijual namanya. Saya sudah laporkan kepada kedua beliau. Beliau-beliau marah
karena tak mungkin mereka melakukan itu. Pak Jokowi mengatakan, ‘Ora sudi'. Ora
sudi kan ungkapan Jawa yang sangat dalam," kata Sudirman.
"Saya dalam pertemuan dengan Majelis
Kehormatan DPR (MKD) telah menjelaskan nama, waktu, dan tempat kejadian dan
pokok pembicaraan yang dilakukan oleh oknum salah satu anggota DPR dengan
pimpinan PT Freeport Indonesia agar ditindaklanjuti," kata Sudirman Said
usai melaporkan SN ke MKD, Senin (16/11).
Dalam penjelasan tersebut Sudirman mengatakan
bahwa anggota DPR tersebut bersama dengan seorang pengusaha telah beberapa kali
memanggil serta melakukan pertemuan dengan pimpinan PT FI.
Pada pertemuan ketiga yang dilakukan hari
Senin, 8 Juni 2015, sekitar jam 14.00 hingga 16.00 WIB, bertempat di suatu
hotel di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta Selatan, oknum DPR tersebut
menjanjikan suatu cara penyelesaian tentang kelanjutan kontrak PT FI dan
meminta agar PT FI memberikan saham yang disebutnya akan diberikan kepada
Presiden Joko Widodo serta Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Keterangan ini saya dapat karena saya
meminta kepada pimpinan PT FI untuk selalu melaporkan interaksi dengan pemangku
kepentingan utama guna menjaga keputusan yang diambil secara transparan,"
kata Sudirman Said.
Anggota DPR tersebut menjanjikan suatu cara
penyelesaian kepada pihak yang sedang bernegosiasi dengan RI, sembari meminta
saham perusahaan dan saham proyek pembangkit listrik. "Sebagai Menteri
ESDM, saya diberi mandat oleh presiden untuk melakukan penataan sektor energi
dan SDM, saya berkepentingan membersihkan praktik pemburu rente yang
menggunakan kekuasaan dan kepentingan pribadi," katanya.
Terkait mengenai inisial oknum, Sudirman Said
menyerahkan sepenuhnya kepada MKD untuk memproses serta mengumumkan tindakan
selanjutnya. "Saya telah melakukan berbagai langkah pembenahan untuk
memperbaiki iklim investasi dan mendorong percepatan pembangunan sektor energi
dan sumber daya mineral, pemangkasan 60 persen perizinan dan budaya kinerja
baru yang lebih sehat. Selanjutnya mari kita beri kesempatan MKD untuk bersama-sama
menjaga serta menjalankan tugasnya," katanya.
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman, Rizal Ramli, mengibaratkan konflik yang terjadi antara Menteri ESDM,
Sudirman Said, dengan Ketua DPR, Setya Novanto, soal lobi perpanjangan kontrak PT
Freeport Indonesia seperti sinetron antargeng. “Anggap saja sedang melihat
sinetron antargeng," ujar Rizal Ramli, di Hotel JS Luwasa, Jalan H R
Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Lebih lanjut, Rizal Ramli menyebutkan, jika
apa yang terjadi saat ini merupakan hiburan tersendiri bagi rakyat Indonesia.
"Anggap saja rakyat Indonesia sedang dihibur sinetron antargeng yang
kadang perang kadang berdamai," jelas dia.
Selanjutnya, rakyat menanti putusan MKD,
apakah Setya Novanto divonis terbukti melakukan pelanggaran etika kategori
berat sehingga harus diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPR maupun
sebagai Anggota DPR atau tidak ? (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment