9 Desember 2015
“Rakyat Kembali Menjadi Raja”
SUDAH menjadi fakta, di banyak daerah yang diikuti calon `incumbent`,
netralitas aparat dan instansi pemerintah adalah hal yang sulit untuk
ditegakkan.
Pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi karena rakyat
secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemerintah atau
pejabat negara. Pelaksanaan pilkada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup
beragam di masyarakat.
Sebagian melihat pilkada
sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat
di daerah, dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah.
Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta
pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di
sisi lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pilkada hanya
membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu akan lebih baik
digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat.
Apa pun pendapat
tersebut, realitanya pilkada harus
berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan
ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya sistem layanan publik bagi rakyat di daerah sebagai
esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate.
Apabila kita menganalogikan sepakbola dengan pilkada, maka pada dasarnya tidak
jauh berbeda satu dengan lainnya. Dalam pilkada, semua kandidat pada saatnya
nanti akan mengeluarkan semua strategi, taktik maupun teknik dengan sekuat
tenaga dan pikiran agar kemenangan dapat diraih seperti halnya dalam sepakbola.
Pelanggaran-pelanggaran pada saatnya nanti mungkin saja terjadi, namun
bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tersebut diminimalisir bahkan
mungkin dihilangkan, tidak saja oleh semua pasangan kandidat calon, tapi kita
semua juga berkewajiban untuk itu. Karena apabila hal tersebut dilanggar
sudah sewajarnyalah wasit (dalam hal ini panwaslu) akan menindak dengan tegas,
tanpa memandang latar belakang kandidat, seperti halnya wasit dalam sepakbola
tadi.
Persoalannya, tentu keliru besar jika sang kandidat berpikiran pilkada sama dengan sepakbola.
Bagaimanapun, pelanggaran tak pernah diakui sebagai bagian yang baik dalam pilkada. Bukankah menurut pakar
politik, pilkada
adalah instrumen dari proses politik demokratis yang akan menentukan hajat
paling mendasar setiap warga ? Oleh karena itu, seperti slogan KPU, pilkada dan pemilu lainnya semestinya digelar
dengan kesadaran untuk melaksanakannya secara jujur dan adil.
Kita tahu, laku culas dalam pilkada tak bisa dihilangkan karena
memang ada peluang yang begitu lapang untuk melakukannya, apalagi untuk calon
incumbent. Peluang
pelanggaran itu terutama karena hukum dan aturan main tak pernah benar-benar
tegak dalam perhelatan demokrasi lokal ini. Hampir semua pilkada yang digelar selalu diakhiri
dengan setumpuk laporan tentang kecurangan. Namun sangat jarang kita dengar,
pelanggaran tersebut berlanjut hingga ke ruang pengadilan.
Fakta ini membukakan pikiran para calon bahwa hukum terlampau mudah untuk
dinego dalam hajatan demokrasi ini. Telah banyak terjadi kasus pelanggaran
tentang politik uang dan memang terjadi, kita tahu, sesungguhnya itu hanya salah satu
modus di antara sekian banyak cara untuk 'bermain politik'. Modus lain, misalnya, di banyak daerah yang
diikuti calon incumbent, netralitas aparat dan instansi pemerintah adalah hal
yang sulit untuk ditegakkan. Biasanya kita pun akan sulit membedakan antara
program pemerintah yang dibiayai APBD dengan program kampaye sang juara
bertahan. Sementara bagi yang tidak bisa memanfaatkan 'mesin birokrasi', uang adalah alat yang paling
sering digunakan untuk mempengaruhi pemilik suara.
Namun begitulah, jika pun ada laporan pelanggaran,
biasanya hanya akan berhenti di rak arsip. Kita maklum, ini bukan hanya karena kecurangan pilkada memang sulit dibuktikan,
namun juga karena aparatnya yang enggan untuk serius membuktikannya. Dari
pengamatan setiap kejadian setiap pemilihan pemimpin baik itu pemilihan presiden, pemilihan gubernur,
pemilihan bupati atau walikota, pemilihan anggota legislatif, bahkan sampai
pemilihan kepala desa, hampir semua kontestan pasti melakukan kecurangan, belum
pernah ditemukan calon yang bersih dari kecurangan tersebut. Kalaupun ada, itu pun sangatlah jarang, walau tentu saja
tingkat kecurangannya bebeda-beda
sesuai kemampuan finansial dan
koneksi link si calon.
Yang pasti, 9 Desember 2015, rakyat kembali menjadi raja. Rakyat berhak
menentukan siapa orang yang dipercaya untuk menjadi pemimpinnya. Karena itu, sebaiknya rakyat benar-benar
berpikir cerdas dan tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat saja. Ingat, masa
depan suatu daerah atau bangsa ini salah satu penentunya adalah figur
pemimpinnya. Ketika kita
salah pilih, kita juga yang akan menanggung akibatnya. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Drs. Nuh L. Widodo
Ketua Umum LSM Nasional KOMPAK
No comments:
Post a Comment