Dijegal
Koster, Ini Alasan DPRD Bali Terus
Perjuangkan
Dana Bagi Hasil Ke Pusat
Sugawa Korry, Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali yang
juga Koordinator Pansus Revisi UU No.33 Tahun 2004 DPRD Provinsi Bali |
DPRD Bali rupanya tak
menyurutkan langkah untuk terus memperjuangkan dana bagi hasil (DBH) yang adil
dari pemerintah pusat dengan mendorong revisi UU No.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kendati anggota
DPR/DPD RI Dapil Bali menolaknya. Sebagaimana yang dijelaskan Anggota Komisi X
DPR RI, I Wayan Koster, bahwa perjuangan itu mustahil terwujud bahkan akan
merugikan Bali sendiri.
"Mungkin ada perbedaan cara pandang
antara Pansus dengan Pak Koster, dan saya kira hal tersebut merupakan hal yang
biasa dalam demokrasi," ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, Nyoman Sugawa
Korry, yang juga Koordinator Pansus Revisi UU No.33 Tahun 2004 DPRD Provinsi Bali,
di Denpasar, Jumat (13/11).
Politisi senior Partai Golkar ini menegaskan,
pihaknya menghargai pandangan berbeda yang dilontarkan Koster. Namun, menurut
dia, perjuangan DPRD Bali itu sangat relevan ketika daerah proaktif dalam memberikan
masukan yang konstruktif terhadap revisi UU No.33 Tahun 2004. Apalagi, revisi
undang-undang ini pun sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Perjuangan tersebut, lanjut Sugawa Korry, mendapat dukungan luas berbagai
komponen masyarakat di Bali, sebagaimana terungkap dalam seminar yang digelar pansus
untuk menyerap aspirasi masyarakat Bali beberapa bulan lalu.
"UU No.33 Tahun 2004 ini kita rasakan,
pertama, tidak konsisten antara konsideran dengan batang tubuh atau
pasal-pasalnya. Kedua, sangat tidak adil bagi daerah yang tidak punya sumber
daya alam," katanya.
Ia menjelaskan, UU itu tidak konsisten karena
dalam konsideran jelas disebutkan bahwa dana perimbangan bersumber dari dana
bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
Sementara dalam pasal 11 UU tersebut hanya disebutkan bahwa dana perimbangan
bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
"Jadi tidak ada yang mengatur bagi hasil
dari sumber daya lainnya. Di sisi lain, Bali dan beberapa provinsi lainnya
tidak mempunyai sumber daya alam. Jadi sangat jelas jika UU tersebut sangat
tidak adil," tegasnya.
Ia melanjutkan, DBH yang bersumber dari pajak
masih sangat tidak adil untuk Bali, sebab baru masuk PPh perorangan, belum
termasuk PPh Badan Usaha dan PPN. Ia pun membandingkan dengan negara-negara
lain yang sudah konsisten mengenakan pajak untuk wisatawan, sedangkan dalam UU
No.33 Tahun 2004 hal itu belum diatur.
"Terhadap hal-hal itulah usulan dari
kita disampaikan. Lalu kenapa hal ini dipandang tidak relevan ? Sekecil apa pun
Bali diuntungkan dalam konteks revisi undang-undang ini, kita harus perjuangkan
bersama-sama," katanya.
Ia mengajak berbagai pihak di Bali untuk
tidak pesimis memperjuangkan revisi UU tersebut. Ia pun mencontohkan pembahasan
UU Lembaga Keuangan Mikro di DPR RI, yang semula dipandang berat namun tetap
membuahkan hasil manis. "Kami di DPRD Bali membuat draf pokok-pokok
pikiran, bersinergi dengan anggota DPD RI (Wirata) untuk memperjuangkan LPD
diperlakukan khusus/lex spesialis. Kita juga berdialog dengan Pansus dan
didukung juga oleh Ketua DPR RI saat itu (Marzuki Alie), yang akhirnya bisa
terwujud. Kita berharap hal seperti itu bisa dilakukan dalam konteks revisi UU
No.33 Tahun 2004 ini. Kita jangan pesimis," tegasnya.
Wayan Koster, Anggota Komisi X DPR RI |
Terhadap usulan anggota DPR RI/DPD RI Dapil
Bali yang mendorong perjuangan mendapatkan keadilan DBH melalui revisi UU No.64
Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Provinsi Bali, NTB dan NTT dengan
mendorong lahirnya UU Provinsi Bali, Sugawa Korry mendukungnya. Namun, ia menegaskan
tak boleh meniadakan perjuangan itu melalui revisi UU No.33 Tahun 2004.
"Pansus yang dibentuk oleh DPRD Bali itu
untuk memperjuangkan revisi dua UU tersebut. Kedua UU itu masuk Prolegnas.
Perjuangan Perimbangan Keuangan itu kita kawal melalui revisi UU No.33 Tahun
2004, juga melalui revisi UU No.64 Tahun 1958. Semua peluang yang ada kita
manfaatkan," pungkas Sugawa Korry.
Sebelumnya, Koster menolak rencana DPRD Bali
yang memasukkan sektor pariwisata sebagai komponen DBH dalam revisi UU No.33/2004
itu. Yang mencengangkan, dengan didukung data-data yang dimilikinya, ia menilai
perjuangan DPRD Bali yang didukung Gubernur Bali itu justru akan merugikan Bali
sendiri.
Koster menegaskan, tak benar ada devisa
puluhan triliun setiap tahun yang dihasilkan dari sektor pariwisata di Bali
yang diterima pemerintah pusat sebagai pendapatan negara. Dana itu sudah
langsung dihabiskan di Bali, yang dinikmati oleh pengusaha yang bersinggungan
langsung dengan industri pariwisata, masuk ke PAD pemerintah daerah kabupaten/kota
melalui pajak hotel dan restoran (PHR), dan dinikmati masyarakat seperti
pengrajin.
"Jadi devisa itu tidak masuk ke pusat.
Sudah diterima langsung oleh pengusaha hotel, restoran, pemerintah daerah dan
masyarakat di Bali," tegasnya.
Pendapatan negara dari wisman yang datang ke
Indonesia dan Bali hanya berasal dari penerimaan Visa (Visa Reguler, VoA) dalam
bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Target PNBP dalam APBN Tahun 2015
sebesar Rp 3,5 triliun. Bila diasumsikan 40 persen wisman datang ke Bali, maka
PNBP yang bersumber dari wisman yang datang ke Bali hanya sebesar Rp 1,4 triliun.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
PNBP dari wisman ke Indonesia seluruhnya dikelola oleh Ditjen Imigrasi
Kementerian Hukum dan HAM, tidak dikelola oleh Menteri Keuangan. Dari sisi
peraturan perundang-undangan, PNBP tidak termasuk dalam bagian dari daerah
penghasil sehingga tak bisa menjadi bagi hasil untuk daerah lain di seluruh
Indonesia termasuk Bali.
Ia melanjutkan, mulai tahun 2016 diberlakukan
kebijakan bebas visa untuk wisman dari 90 negara yang masuk ke Indonesia,
termasuk yang datang ke Bali. Konsekwensi dari kebijakan tersebut akan
menurunkan PNBP secara drastis. "Gagasan untuk meminta hak DBH dari
pariwisata untuk Bali justru sangat lemah dan merugikan Bali. Sebab, Bali hanya
menyumbang pendapatan negara dari visa kunjungan wisman yang datang ke Bali
sebesar Rp 1,4 triliun dalam APBN Tahun 2014. Padahal tahun 2016, ada kebijakan
bebas visa bagi wisman ke Indonesia. Bali juga menerima dana Transfer Daerah
dan Dana Desa dalam APBN Tahun 2016 sebesar Rp 8,26 triliun. Dana tersebut
sudah termasuk komponen yang bersumber dari Pajak Penghasilan Perorangan (PPh
Perorangan) maupun Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), dan sumber lainnya yang
diatur dengan UU Perpajakan," katanya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment