Janji
Koster Panen Kritik
Ketua DPD PDIP Provinsi Bali, I Wayan Koster (tengah) |
JANJI Anggota Komisi X DPR
RI yang juga Ketua DPD PDIP Provinsi Bali, I Wayan Koster, kepada ratusan bidan
PTT (pegawai tidak tetap), guru honorer dan penyuluh pertanian di Bali menuai
kritik dari berbagai pihak. Pasalnya, janji tersebut dibarter dengan dukungan
politik pada pilkada serentak di Bali. Koster meminta mereka untuk mendukung
pasangan calon (paslon) kepala daerah yang diusung PDIP pada pilkada serentak 9
Desember 2015 di enam kabupaten/kota di Bali. Padahal acara tersebut bukan
agenda kampanye tapi penyerapan aspirasi.
Janji Koster itu disampaikan saat Sosialisasi
dan Dialog Perjuangan Pengangkatan Bidan PTT, Guru Honorer dan Penyuluh
Pertanian Se-Bali, yang diselenggarakan oleh DPD PDIP Provinsi Bali di Denpasar
pekan lalu.
Menanggapi janji politik tersebut, badai
kritik menerpa Koster beberapa hari belakangan ini. Namun, Koster yang
dikonfirmasi soal kritik tersebut tampaknya ogah menanggapinya. Dikonfirmasi
melalui pesan singkat (SMS) ke telepon selulernya, Selasa (10/11), Ketua Tim
Pemenangan paslon Giriasa di Pilkada Badung itu tak memberikan jawaban.
Sebelumnya, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi
Bali, I Made Mudarta, mencibir janji Koster tersebut. Menurut Mudarta, sebagai
anggota dewan janji yang disampaikan kepada rakyat tidak boleh mengharapkan
imbalan apa pun. Menjadi wakil rakyat adalah sebuah pengabdian tulus kepada
rakyat. Pengabdian tanpa pamrih. Ia menegaskan, seluruh kader Partai Demokrat
menjiwai spirit pengabdian tersebut. Artinya, perjuangan untuk kepentingan
rakyat dilakukan secara ikhlas. Karena itu, lanjut Mudarta, janji Koster
tersebut tidaklah tepat dilakukan oleh seorang wakil rakyat.
"Wakil rakyat dipilih untuk menjalankan
tugas pengabdian memperjuangkan kesejateraan rakyat tanpa pamrih. Tidak boleh
memberikan janji dengan pamrih," tegas Mudarta.
Politisi muda asal Jembrana ini menilai,
janji yang dilontarkan Koster itu syarat dengan kepentingan politik PDIP untuk
mendapatkan dukungan saat pilkada serentak di Bali. Menurut dia, anggota DPR RI
dari daerah pemilihan Bali yang berjuang untuk kepentingan krama Bali, termasuk
memperjuangkan nasib bidan PTT, guru honorer dan penyuluh pertanian, itu bukan
hanya Koster. "Kader Demokrat Bali di DPR RI juga berjuang untuk mereka.
Tapi mereka tidak menjanjikannya dengan mengharapkan imbalan apa pun. Karena
tak boleh ada pamrih apa pun untuk rakyat," tegasnya.
Mudarta kembali mengungkapkan keraguan
ketulusan janji Koster maupun partai yang dipimpinnya itu. "Harus diingat,
setelah tahun 1999 PDIP itu partai besar di Bali. Pak Koster juga jadi anggota
DPR RI bukan hanya periode sekarang saja. Kenapa baru sekarang menjanjikan akan
memperjuangkan pengangkatan mereka sebagai PNS ? Itu karena sekarang ada pilkada
serentak. Lagi pula keputusan untuk mengangkat mereka jadi PNS itu ada di
tangan eksekutif. DPR RI hanya melakukan fungsi kontrol, penganggaran dan
legislasi saja," jelas Mudarta.
Selain Mudarta, kecaman terhadap janji
politik Koster itu juga dilontarkan kolega Koster di DPR RI, I Putu Sudiartana alias
Putu Leong, yang merupakan anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai
Demokrat dari daerah pemilihan (dapil) Bali. Putu Leong menilai, barter
dukungan pilkada dengan janji-janji yang dilontarkan Koster itu merupakan
perbuatan melanggar hukum. Menurut dia, Koster bisa dipidanakan karena
janji-janji yang disampaikan itu untuk mendulang dukungan bagi kandidat yang
diusung partai yang dipimpinnya pada pilkada serentak di Bali.
Sebagai wakil rakyat, Koster tak boleh
menggunakan kewenangannya sebagai anggota dewan untuk memperjuangkan aspirasi
rakyat dengan cara membarter dengan kepentingan partainya pada pilkada serentak
di Bali. "Laporkan kalau ada buktinya. Pidanakan ke polisi. Ada perbuatan
melawan hukumnya, menyalahi wewenang. Dia (Koster) sudah melanggar hukum,"
tegas Putu Leong saat dikonfirmasi melalui pesan elektronik akhir pekan lalu.
Ia bahkan meminta seseorang bernama Pande untuk melaporkan Koster ke polisi.
Untuk diketahui, kendati Koster dan Putu
Leong adalah kolega di DPR RI, namun keduanya masing-masing menjadi
"panglima perang" dalam pertarungan head to head paslon yang bertarung di Pilkada Kabupaten Badung.
Koster adalah Ketua Tim Kampanye I Nyoman Giri Prasta-Ketut Suiasa (Giriasa).
Adapun Putu Leong merupakan Ketua Tim Kampanye paslon Made Sudiana-Nyoman
Sutrisno (Sudiana-Sutrisno).
Bawaslu Tunggu Laporan
Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Bali, I Made
Mudarta, bersama I Putu Sudiartana alias Putu Leong |
Janji politik yang dibarter dengan dukungan suara
pada pilkada serentak itu juga mendapat tanggapan dari Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Provinsi Bali. Kepala Divisi Hukum Bawaslu Bali, I Ketut Sunadra,
menilai Koster tidak etis saat menyerap aspirasi bidan PTT, guru honorer, dan
penyuluh pertanian tersebut, sebab ia menyelipkan himbauan dan ajakan kepada
ratusan peserta yang hadir untuk memilih kandidat yang diusung PDIP dalam
pilkada serentak 9 Desember 2015.
Diakuinya, berdasarkan UU MD3 memang anggota
DPR bisa memanggil siapa saja dan kapan saja. "Jadi tidak ada salahnya
kalau Koster bertemu dengan ratusan kelompok tertentu untuk menyerap aspirasi
masyarakat. Apalagi dalam pemberitaan di media dikatakan, pertemuan tersebut
dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat, itu wajar-wajar saja dan tidak bisa
dipersoalkan," jelasnya di kantor Bawaslu pekan lalu.
Kendati secara hukum tidak salah, namun dari
sisi etika politik itu pasti dipersoalkan, terutama bagi paslon yang dirugikan
dengan pertemuan tersebut. 'Setelah mencermati berita di berbagai media,
pemanggilan itu wajar-wajar saja, karena Koster bertindak sebagai anggota DPR
RI. Yang menjadi masalah di sini adalah adanya upaya menggiring, mengajak dan
menjanjikan. Ini bisa dipersoalkan oleh masyarakat terutama bagi pasangan calon
yang dirugikan atau merasa dirugikan," ujarnya.
Menurutnya, Bawaslu Bali siap menelusuri bila
ada laporan masuk dari masyarakat yang mempersoalkan hal tersebut. Menurutnya,
UU No.1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota pasal 71 ayat 1 menyebutkan, calon atau tim kampanye
dilarang menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih.
"Jika dilihat dari kegiatan tersebut,
perlu ditelusuri apakah saat itu Koster sedang berkampanye atau tidak, sedang
mendapat giliran berkampanye atau tidak. Karena setahu Bawaslu Bali, Koster
adalah ketua tim kampanye untuk Kabupaten Badung. Okelah, mungkin Koster
bertindak sebagai Ketua DPD PDIP Bali yang melakukan pengawasan terhadap semua
pemenangan Pilkada Bali. Tetapi kalau itu yang terjadi, maka kampanye itu salah
tempatnya," tegasnya.
Ia menambahkan, jika bukan sedang mendapat
giliran kampanye pada acara tersebut maka unsur "menjanjikan"
sebagaimana disebutkan dalam UU itu bisa menjerat Koster. Sebab Koster
menjanjikan pengangkatan PNS bagi ratusan bidan PTT, guru honorer dan penyuluh
pertanian. "Ini adalah janji kepada pemilih karena Koster juga adalah tim
kampanye. Tim kampanye tidak boleh menjanjjikan sesuatu," katanya.
Ia melanjutkan, Koster sebagai politisi
senior Bali sesungguhnya sangat tidak etis mengajak pemilih untuk memilih calon
PDIP di luar agenda kampanye. "Didiklah masyarakat secara politik. Kalau
mau berjuang mengangkat kaum yang akan jadi PNS, harus murni. Jangan janji.
Jangan sampai perjuangan tersebut dibalut dengan janji dan persyaratan
tertentu," pungkasnya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment