Balai Budaya Cak
Markeso, Ruang Publik “Penyambung Rasa” Warga Ketandan
Walikota Surabaya,Tri Rismaharini, meresmikan
Balai Budaya Cak Markeso di Kampung Ketandan.
|
WARGA Ketandan RW IV, Kelurahan Genteng, Kecamatan
Genteng, Kota Surabaya, kini memiliki ruang publik representatif. Ruang publik
berupa joglo yang diberi nama Balai Budaya Cak Markeso tersebut, Rabu (27/7)
diresmikan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, bersama beberapa delegasi The
Third Session Preparatory Committe (Prepcom) 3 for Habitat III.
Balai
Budaya yang berada di tengah-tengah permukiman warga ini akan menjadi
“penyambung rasa” bagi warga Ketandan dalam berinteraksi dan berdiskusi tentang
segala hal terkait lingkungan tempat tinggalnya.
Pembangunan
joglo yang difungsikan sebagai pendopo ini merupakan hasil kerja sama United
Cities Local Goverment Asia Pacific (UCLG ASPAC), UN Habitat dan Pemerintah
Kota (Pemkot) Surabaya. Pembangunan ruang publik ini merupakan dukungan UCLG
ASPAC kepada Pemkot Surabaya dalam mewujudkan pembangunan Surabaya menjadi kota
yang berkembang secara berkelanjutan.
Sekjen
UCLG ASPAC, Bernardia Irawati Tjandradewi, mengatakan, ruang publik bukan hanya
berupa ruang terbuka hijau. Tapi juga berupa bangunan yang bisa difungsikan
warga untuk berkumpul dan memperkuat interaksi sosialnya. Balai Budaya tersebut
diberi nama Cak Markeso - tokoh ternama ludruk - dengan tujuan untuk mempersatukan
dan memelihara warisan budaya di area tersebut.
“Balai
Budaya ini tidak akan mungkin berdiri tanpa adanya peran dari warga. Saya
dengar warga bahkan tidak tidur untuk membangun ini. Itu membuat mereka merasa
memiliki bangunan ini,” ujar Bernardia.
Bernardia
mengaku sebelumnya sudah pernah berkunjung ke Ketandan. Dan, setiap datang ke
kampung yang berada di sebelah barat ruas Jalan Tunjungan (sekitar 100 meter
arah selatan dari Siola), dia mengaku jatuh cinta dengan guyubnya masyarakat di
sana. “Saya senang Kampung Ketandan ini. Masyarakatnya saling support untuk
membenahi kampung. Lingkungannya juga aman. Saya dengar Bu Risma juga dua kali
membantu mengecat bersama warga,” sambung dia.
Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini, mengatakan, keberadaan Kampung Ketandan yang
‘dikepung’ oleh bangunan hotel dan juga mal, sangat krusial untuk
‘menghidupkan’ pusat kota. Sebab, kampung yang berada tepat di jantung Kota
Surabaya ini hidup selama 24 jam karena warganya aktif berinteraksi. Beda
dengan kawasan pertokoan yang sudah “mati” ketika pukul 22.00 WIB.
“Merekalah
yang jaga hidup kota selama 24 jam karena toko-toko tutup jam 10 malam. Karena
itu, saya berusaha semampu saya untuk mempertahankan kampung ini. Karena
sejarah Surabaya itu terbentuk dari kampung-kampung,” ujar walikota.
Peresmian
Balai Budaya tersebut menjadi momen bersejarah bagi warga Ketandan. Karenanya,
warga antusias menyemarakkan acara tersebut. Mereka juga menampilkan beberapa
produk kerajinan warga. Serta menjamu para delegasi Prepcom III dengan makanan
khas Ketandan.
Anak-anak
muda di Ketandan juga merespons positif diresmikannya ruang terbuka tersebut.
Sekretaris Karang Taruna Kampung Ketandan, Carla Della, mengungkapkan, dia
bersama rekan Karang Taruna lainnya berencana menjadikan joglo tersebut sebagai
pusat bertemu dan berkegiatan. Termasuk juga pelatihan seni budaya tradisional
seperti tari remo dan ludruk.
“Di sini ada anak-anak yang aktif mengikuti
pelatihan tari remo, juga ludruk. Untuk pendopo ini, kami juga inginnya
difungsikan sebagai sanggar kecil-kecilan untuk latihan tari dan juga ruang
publik,” kata mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya
ini. (Rilis) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment