SETELAH DIKURET DI RSU MARIA REGINA LAMPUNG,
DIOPERASI LAGI DI RSU DR SOETOMO SURABAYA
”Patut diduga
dokter yang menangani kuret tersebut melakukan malpraktek
medis”.
MALANG nian Siti Hartini. Istri Sudarmanto yang tinggal di kawasan Dharmawangsa,
Surabaya, ini dalam kondisi yang masih lemah harus menjalani operasi lagi di
RSU Dr Soetomo Surabaya setelah beberapa hari sebelumnya dikuret di RSU Maria
Regina Lampung. Bayangkan, dalam waktu beberapa hari saja perutnya harus
dibedah 2 kali.
RSU Maria Regina
di Jl Abdoel Moeloek No. 119 Kotabumi,
Kabupaten Lampung Utara, tempat dr
Syah Indra Husada L SpOG
melakukan kuret pada Siti Hartini dengan tidak bersih.
|
Jelasnya, pada tanggal 11 Juli 2016 Siti Hartini saat mudik lebaran bersama suaminya, Sudarmanto, ke Lampung Utara mengalami
pendarahan dan pada saat itu
juga Siti Hartini dan Sudarmanto mendatangi Klinik Mutiara Kotabumi untuk
melakukan pemeriksaan. Pertama kali yang membuatnya
terkejut saat seorang staf klinik itu menanyakan ia dari suku apa ?
Memang aneh, karena baru
kali ini ada staf klinik menanyakan suku pasiennya.
Selanjutnya setelah didaftar, dr Syah
Indra Husada L SpOG melakukan USG terhadap Siti Hartini.
Kemudian kepada Sudarmanto dan Siti
Hartini, dr Indra Syah mengatakan bahwa hasil USG-nya
menunjukkan bahwa terjadi hamil anggur, lalu oleh dr Syah Indra Husada
disarankan untuk dilakukan kuret. Saat
itu juga dr Syah Indra menawarkan 2 rumah
sakit sebagai tempat
dilakukannya kuret, yaitu di RSU Maria Regina
Jl Abdoel Moeloek No. 119 Kotabumi,
Kabupaten Lampung Utara, atau RS
Yusuf di mana dr Syah Indra Husada praktek
di kedua rumah sakit
tersebut.
Oleh karena yang dekat dengan rumah pasien adalah RSU Maria
Regina, maka pada saat itu juga pukul 16.00 pasien (Siti Hartini) berobat di RSU
Maria Regina. Setelah dilakukan tindakan medis, esok paginya
pukul 10.00 (12/7) dr Syah
Indra Husada melakukan kuret terhadap Siti Hartini.
Klinik Mutiara
di Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, yang menanyakan suku
pasiennya dan
merahasiakan nomor kontak dokternya.
|
Lebih kurang 1 jam setelah dilakukan kuret,
kepada Sudarmanto yang juga Wartawan
Majalah FAKTA, dr Syah Indra Husada yang menurut informasi bersuku Lampung
mengatakan bahwa Siti Hartini tidak perlu dikuret dua sampai tiga
kali, karena hasil kuretnya sudah bersih 99 % yang selanjutnya dilakukan
tranfusi darah sebanyak 4 kantong. Waktu itu dr Syah
Indra Husada sekaligus
meminta maaf karena hasil analisa sebelumnya yang mengatakan
terjadi hamil anggur itu ternyata tidak benar,
melainkan pasien mengalami keguguran dan di dalam
rahimnya ada benjolan (miom). Setelah dilakukan perawatan selama
empat hari, pada tanggal 14 Juli 2016 Siti Hartini diperbolehkan pulang.
Sekembalinya di Surabaya, Siti Hartini mengalami
pendarahan lagi. Puncaknya, pada tanggal
28 Juli 2016 Siti Hartini mengalami demam yang cukup tinggi yang
disertai muntah-muntah dan buang air besar dengan durasi berulang-ulang. Karena
kondisinya semakin lama semakin lemah maka pada tanggal
29 Juli 2016 Sudarmanto membawa Siti Hartini berobat di RS Ibu dan
Anak IBI Jl Dupak No. 15 A Surabaya. Hasil penanganan awal yang dilakukan oleh
dr Masgianto SpOG, setelah
dilakukan USG maupun dianogsa ditemukan pada rahim pasien masih terdapat
plasenta (ari-ari) yang telah membusuk dan tidak ditemukan miom
seperti yang disampaikan oleh dr Syah Indra Husada L SpOG. Saat
itu, menurut dr Masgianto,
leucosit pasien 30.900 dengan suhu badan 39
derajat Celsius dari normalnya yang hanya 10.000 - 11.000
sehingga menyebabkan infeksi berat.
Saat itu juga dilakukan tindakan medis dengan memberikan
suntikan maupun infus antibiotik dengan dosis tinggi. Namun hingga 2
hari kondisi pasien sedikit membaik. Leucositnya
hanya mampu turun berkisar 19.400 (2 X masih di atas
normal). Lalu dr Masgianto mengatakan bahwa kuman-kuman sudah menjalar ke rahim
pasien sehingga tidak mungkin dikuret, karena bila dilakukan kuret tidak akan
bisa menghentikan penyebaran kuman-kuman yang dimungkinkan akan menjalar ke
seluruh organ tubuh lainnya. Tindakan medis yang
dilakukan harus mengangkat rahim pasien karena dengan begitu
bisa memutus mata rantai kuman yang ada di rahim pasien yang dimungkinkan bisa
mengalami sepsis. Namun,
bila tidak dilakukan dimungkinkan pasien dalam jangka waktu 2 hari bisa
meninggal dunia.
Bagai disambar petir, Sudarmanto pun menyetujui
usulan dari dr Masgianto untuk dirujuk ke RSU Dr Soetomo
Surabaya karena memang untuk mengangkat rahim harus
dilakukan di rumah sakit kelas A.
Pada tanggal 31 Juli 2016 Siti Hartini
oleh dr Masgianto SpOG dirujuk ke
RSU Dr Soetomo Surabaya. Setelah
mengalami beberapa pemeriksaan maupun pengobatan dengan memberikan suntikan
melalui infus antibiotik, kondisi pasien (leucosit) tidak juga mengalami penurunan
(normal) karena dokter RSU Dr Soetomo menyampaikan hal yang sama
seperti yang disampaikan oleh dr Masgianto SpOG
bahwa kondisi di dalam rahim Siti Hartini masih
terdapat plasenta (ari-ari) yang membusuk sehingga menyebabkan kuman-kuman di dalam
rahim.
Pada tanggal 1 Agustus 2016, pukul
14.00 WIB, tim dokter melakukan meeting sebagai
langkah awal untuk melakukan operasi pengangkatan rahim
Siti Hartini, dan tentunya dengan resiko pasien tidak akan bisa
mempunyai keturunan lagi.
Saat Sudarmanto mencoba menghubungi salah satu staf dr Indra
Husada L SpOG melalui SMS ke 082177866422,“Selamat malam... Mbak mohon dibantu dismskan
no hp dr.indra, perlu saya sampaikan klo saya suami dari siti hartini prokiml
yg pd tgl 12/7 kuret di rs.maria regina yg menangani dr.indra sendiri, terima
ksh atas bantuannya. (darmanto). Lalu dibalas,”Maaf
ada keperluan apa ya pak/bu? Biar nanti sy sampaikan ke dr.indranya”. “Maaf
ya pak/buk, sya cm ngikutin apa kata dr.indra, karna no telp beliau private gak
sembarangan, cba bpk/ibu bca baik2 dulu sms kami, Apa yg mau bpk/ibu tanyakan
nanti sya sampaikn ke dr.indra kalau dkter ngizinin bru kmi brani kasih
kontaknya ke bpk/ibu. Maaf ya bu kmi niat mau bantu kok, tp kalau mmng bpk/ibu gak berkenan silahkan
hubungi langsung pihak maria regina sja, karna ctatan riwayat kuret ibu ada di sana bukan di mutiara.
Makasih”.
Aneh memang yang diutarakan staf perempuan dr Indra
tersebut. Bukankah setiap pasien harus diberi nomor
kontak pribadi dokter yang menangani, untuk konsultasi bila ada perkembangan
kesehatan pasien tersebut ? Bukan malah sebaliknya,
nomor kontak dokter yang menangani tersebut disembunyikan kepada pasiennya. Ini
tentunya tidak lazim dilakukan oleh dokter yang profesional, karena tidak
membuka akses konsutasi bagi pasien yang ditanganinya. Sehingga patut dicurigai legalitas dokter di Klinik Mutiara maupun
di RSU Maria Regina.
Dan hal ini pun harus menjadi
perhatian serius pemerintah (dinas kesehatan), penegak
hukum, maupun Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) sebagai
lembaga profesi yang menaungi kinerja dokter.
I
Wayan Titib Sulaksana
SH MH.
|
Menurut praktisi hukum
internasional Universitas Airlangga Surabaya, I
Wayan Titib Sulaksana SH MH,
saat ditemui FAKTA di ruang kerjanya
(26/8) mengatakan,”Patut diduga dokter yang menangani kuret tersebut melakukan
malpraktek medis. Karena kalau
memang dokter yang menangani tersebut melakukan fungsi-fungsi medikalnya dengan baik,
disertai tanggung jawab yang profesional maka nggak akan
mungkin terjadi seperti itu. Tapi,
tampaknya penanganannya kurang baik sehingga
terjadi seperti itu. Dan, dimungkinkan
tindakan kuret tersebut paling bersihnya hanya 20 %.
Karena, tidak
mungkin bila sudah bersih plasentanya tertinggal dan terjadi pembusukan di dalam
rahim. Ini bisa dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum maupun profesi, karena diduga dokter tersebut melanggar Undang-Undang
tentang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29
Tahun 2004, maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999”.
Saat ditanya apakah dugaan malpraktek maupun pasien saat
berobat di Klinik Mutiara ditanya tentang sukunya segala,
bisa dilaporkan ke IDI, dengan tegas I Wayan Titib Sulaksana menjawab,”Monggo
silahkan saja disampaikan biar induk kedokteran tersebut (IDI) mengetahui
dengan jelas permasalahannya. Tapi,
perlu diingat ya bahwa untuk mengungkapkan malpraktek di IDI itu
sangat sulit, karena organisasi IDI itu
sangat solid, karena yang jadi saksi ahlinya nanti ya dokter kandungan dari
anggota organisasinya itu juga. Soal suku, tidak ada
rumah sakit yang menanyakan soal suku pada pasiennya,
karena itu namanya diskriminasi. Dan,
kalau dokter yang benar tentunya nomor kontaknya tidak dirahasiakan kepada pasiennya,
karena bila pasiennya sewaktu-waktu perlu konsultasi ke dokter
tersebut bisa langsung mendapat jawaban atau penanganan. Ini
kok aneh, asistennya malah dipesan untuk tidak memberikan nomor kontaknya kepada
pasiennya, dengan alasan privasi. Kalau begini adanya bisa
ditanyakan legalitas dari dokter, klinik
maupun rumah sakit tersebut”. (F.568) web majalah fakta / blog majalah fakta / mdsnacks
harus ny dokter kek gitu di jabut aja gelar dokter ny atau sangsi pemecatan
ReplyDelete