LPD Gagal
Cairkan Uang Nasabah Sudah Diingatkan OJK
Kepala Kantor OJK Provinsi Bali, Zulmi.
|
BELAKANGAN ini
ramai diberitakan sejumlah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali tak bisa
mencairkan dana milik nasabahnya. Di antaranya, LPD Desa Adat Gerokgak, Kabupaten
Buleleng, pada Februari lalu dikabarkan tak bisa mencairkan dana nasabahnya.
Pada Juni lalu, nasabah LPD Desa Adat Selat, Kabupaten Bangli, tidak bisa
dicairkan tabungan nasabahnya. Baru-baru ini, LPD Desa Adat Suwat, Kabupaten Gianyar,
juga diberitakan tak bisa mencairkan dana nasabahnya.
Kegagalan LPD mencairkan dana nasabahnya itu rupanya sudah
diprediksi jauh-jauh hari oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hanya saja OJK
tidak bisa mengawasi LPD. Pasalnya, UU No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) mengatur LPD tunduk pada hukum adat Bali. Karena itu LPD
tidak menjadi obyek pengawasan OJK.
Kendati tidak menjadi obyek pengawasannya, OJK sudah
membeberkan berbagai permasalahan operasional LPD di Bali. Salah satunya LPD
beresiko tak bisa mencairkan dana nasabahnya. Penyebabnya, penghimpunan dana
masyarakat oleh LPD itu belum dijamin oleh pemerintah, sehingga hal ini dapat
beresiko bila LPD tersebut bermasalah, dan tidak mampu mengembalikan dana
masyarakat. Dalam dokumen tertulis yang diperoleh, hal itu disampaikan oleh
Kepala Kantor OJK Provinsi Bali, Zulmi, saat rapat penyamaan persepsi dalam
memperkuat keberadaan LPD di Bali, di Denpasar, 20 Januari lalu.
Selain itu, permasalahan lain operasional LPD di Bali adalah
pertama, terdapat indikasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD tidak hanya
terbatas di lingkungan Desa Pakraman, namun juga telah beroperasi di luar
Desa Pakramannya. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Perda
Provinsi Bali No. 4 Tahun 2012 Tentang LPD, yang menyebutkan LPD merupakan
badan usaha keuangan milik Desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan
Desa dan untuk Krama Desa.
Oleh sebab itu perlu disiapkan ketentuan untuk mengakomodir
LPD yang sudah besar dan merasa perlu untuk memperluas wilayah operasionalnya,
maka dapat bertransformasi menjadi lembaga keuangan seperti LKM atau BPR.
Kedua, operasional LPD mirip dengan bank, yaitu dengan
usahanya menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada
masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan ketentuan operasional LPD yang selaras
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk penggunaan nama
produk dan layanan yang spesifik menunjukkan ciri khas LPD.
Ketiga, LPD tidak dapat melakukan pinjaman di bank karena
terkendala dengan persyaratan administratif sebagai debitur di bank, karena
tidak memiliki badan hukum dan NPWP. Kendala ini juga menyebabkan LPD mengalami
kesulitan untuk bekerja sama dengan suatu lembaga penjaminan, seperti lembaga
penjamin kredit dan simpanan. Meskipun
dalam prakteknya LPD teridentifikasi menerima pinjaman dengan menggunakan
dokumen pribadi pengurus LPD untuk menyiasati pemenuhan dokumen administratif
sebagaimana dipersyaratkan oleh bank.
Terakhir, masih banyak LPD menunjukkan kinerja yang kurang
memadai, disebabkan sumber daya manusia LPD belum mampu menjalankan fungsinya
dengan optimal, dan belum optimalnya fungsi pengawasan internal LPD.
Adanya berbagai masalah dalam pengelolaan LPD juga
diungkapkan Ketua Badan Kerjasama-Lembaga Perkreditan Desa (BKS-LPD), Nyoman
Cendikiawan, saat beraudiensi dengan pimpinan DPRD Bali, pada Januari lalu. Ia
mengungkapkan, jumlah aset yang dimiliki LPD di seluruh Bali mencapai Rp 14,2
Triliun, dari total 1.433 LPD yang ada di Bali.
Namun, ada sekitar 100 LPD yang berada di zona merah (tidak
dikelola dengan baik). Beberapa penyebab LPD itu berada di zona merah, pertama
kurang koordinasi antara prajuru dengan pengurus LPD. Kedua, pemilihan pengurus
LPD dulu ditunjuk krama desa adat atas dasar kejujuran. Padahal, selain
kejujuran, pengurus LPD perlu diisi oleh SDM yang baik untuk mengelola
keuangan. (rie) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment