Waspada, Klaim Baru
Tiongkok Atas Natuna
Hikmahanto Juwana.
|
DARI semula bukan termasuk claimant states, Indonesia kini masuk pusaran konflik di Laut China
Selatan. Setelah penolakan Tiongkok atas putusan sidang arbitrase di Den Haag,
Belanda, 12 Juli 2016, Tiongkok membuat buku putih untuk mengklaim sebagian
besar wilayah kepulauan di Laut China Selatan (LCS) yang tidak berdasarkan
Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dashed
Line).
Dalam
buku putih tersebut, Tiongkok mengklaim hak dan kepentingan laut (maritime rights and interests) terhadap
Indonesia saat terjadi insiden penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia di Natuna atas nelayan Tiongkok pada Juni lalu. Artinya, selain tidak
mengakui putusan arbitrase atas sengketa dengan Filipina, Tiongkok juga membuat
klaim baru atas wilayah Natuna.
Guru
Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana,
mengingatkan pemerintah Indonesia untuk waspada. Dia meminta pemerintah Indonesia
segera menyikapi terbitnya buku putih pemerintah RRC itu sebagai tindakan yang
tidak bersahabat.
Hikmahanto
menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengulang seruan agar semua pihak,
termasuk Tiongkok, mematuhi hukum internasional dan Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (United Nations Convention Law Of
The Sea – UNCLOS).
Bahkan
bila perlu, pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menyambut dan
mengapresiasi putusan arbitrase, sehingga Indonesia dengan sendirinya dipahami
menafikan buku putih Tiongkok itu. Perkembangan baru ini menuntut peninjauan
kembali kebijakan luar negeri kita terkait konflik di LCS.
Masalahnya,
pijakan kebijakan lama masih bersandar pada status Indonesia yang bukan
termasuk claimant states, yaitu enam
negara yang terlibat konflik klaim wilayah teritori di LCS : Tiongkok dan
Taiwan bersama empat negara anggota ASEAN (Malaysia, Filipina, Vietnam,
Brunei). Lewat buku putihnya, Tiongkok secara jelas telah memperlihatkan klaim
kepentingan di Natuna.
Sebelumnya,
dalam wilayah yang ditandai dengan Sembilan Garis Putus-Putus yang membentuk
huruf ìUî, klaim Tiongkok atas wilayah kepulauan di kawasan tersebut mencakup
pula bagian kepala wilayah Natuna.
Konflik Militer
Demi
mempertahankan kedaulatan Indonesia atas Natuna, pemerintah Indonesia bukan
saja perlu menyiapkan kebijakan dan penyikapan atas klaim baru Tiongkok
tersebut. Perkembangan konflik di LCS setelah penolakan Tiongkok atas putusan
arbitrase dipastikan akan meningkatkan ketegangan kawasan.
Pemerintah
Indonesia kiranya juga perlu menyiapkan berbagai opsi kebijakan luar negerinya.
Salah satu perkembangan yang patut diperhitungkan adalah eskalasi konflik yang
berlanjut menjadi konflik militer.
Jika
upaya penyelesaian melalui berbagai jalur diplomatik dan perundingan gagal,
maka bisa saja senjata yang akan berbicara. Konflik bersenjata ini tentu saja
akan mengundang campur tangan negara besar, terutama Amerika Serikat, yang juga
mempunyai kepentingan di kawasan tersebut.
Sama
dengan Tiongkok yang melihat LCS sebagai kawasan strategis dengan potensi
ekonomi dan geopolitik yang besar, AS juga menjadikan kawasan tersebut sebagai
bagian dari wilayah strategis Asia-Pasifik untuk jalur perdagangan bebas dan
pemberi pengaruh AS di kawasan yang dinamis itu. Di Kepulauan Spratly saja,
terdapat cadangan minyak dan gas alam sebesar 17,7 miliar ton. Jauh melampaui
cadangan minyak Kuwait yang merupakan terbesar di dunia dengan 13 miliar ton.
Belum lagi posisi geopolitiknya yang penting sebagai jalur perdagangan paling
ramai di dunia dan potensinya untuk pertahanan kapal selam Tiongkok menghadapi
armada AS di Pasifik.
Karena itu, Indonesia harus mengantisipasi
berbagai kemungkinan yang terjadi, terutama terkait kepentingan nasional di
Natuna yang menyimpan cadangan minyak dan gas alam terbesar. Kedaulatan negara
harus menjadi harga mati ! (Ist) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment