PENDIDIKAN GRATIS DI
JAWA BARAT HANYA SLOGAN
Imelda Rahmi Puteri SH.
|
MUNCULNYA pendidikan gratis yang penuh wacana
politis sebenamya
mengaburkan
teori empiris dalam dunia pendidikan yang dominan kepada masalah pembiayaan
atau pendanaan pendidikan karena lembaga pendidikan atau SD sampai SLTP hanya
dapat menerima 30 % dana BOS (bantuan
oprasionil sekolah) dari seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan yang diambil
dari APBN.
Sesuai
dengan PP nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan pasal 2 ayat 1 dan 2
dijelaskan (1) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah daerah dan masyarakat. (2) masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
1 meliputi (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat,
(b) peserta didik, orangtua atau wali peserta didik, dan (c) pihak lain selain
yang dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang mempunyai perhatian dan peranan
dalam bidang pendidikan.
Jelas
sekali dalam peraturan pemerintah tersebut bahwa pendanaan pendidikan adalah
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat yang terdiri dari orangtua peserta
didik.
Tidak ada kata sedikitpun yang melandasi sekolah yang bertanggung jawab untuk membiayai
pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri maupun swasta. Semua sekolah pada
dasarnya menerima dana BOS, hanya sekolah swasta tertentu yang tidak mau
menerima dana BOS karena merasa sudah mampu membiayai kebutuhan pendidikannya.
Tapi,
sayang, prakteknya tak sedikit yang melenceng dari PP No.48 Tahun 2008. Di sinilah
politik untuk kekuasaan merambah dunia pendidikan yang mengakibatkan
ketidakjelasan pendidikan di negeri kita. Padahal pendidikan memerlukan dana
cukup besar. Apa jadinya generasi anak bangsa di masa depan kalau sekarang saja
kekurangan dana dalam menggali potensinya ? Maka, perlu adanya perubahan dalam
sistem pendidikan di negeri ini.
Pendidikan
tingkat dasar (SD - SMP) secara gratis adalah pola pikir yang
membedakan
pengingkaran dari suatu komitmen terhadap tujuan pendidikan, tidak bertanggung jawabnya
pada mutu pendidikan, terkontaminasmya pendidikan dengan dunia politik,
bercampur-aduknya antara kekuasaan dengan sistem pendidikan dengan pendidikan
gratis tingkat dasar (SD - SMP), terhentinya kesinambungan pendidikan ke tingkat
menengah (SMA - SMK) bahkan sampai tingkat tinggi. Sungguh paradok di masyarakat.
Pendidikan
yang dianut pemerintah kita membuat banyak orangtua yang mengeluh dan
kebingungan bila anaknya melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah harus
mengeluarkan biaya cukup tinggi. Ini wujud dari tidak komitmennya pemerintah
daerah yang menggelar program pendidikan gratis dan sangat bertentangan dengan
PP No.48 Tahun 2008 dengan menutupi kekurangan 70 % dari seluruh anggaran
pendidikan.
Dewan
Pimpinan Pusat Lembaga Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Provinsi Jawa
Barat selaku sosial kontrol terhadap pembangunan dan mengawasi roda
pemerintahan termasuk di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
se-Jawa
Barat menduga dana BOS kebanyakan dikorupsi oknum-oknum pendidikan. Pelaksanaan
BOS diduga banyak yang bertentangan dengan bestek serta juknis. Tetapi banyak
dugaan pelanggaran dana BOS yang belum ditindak. Meskipun hasil survei di
lapangan menunjukkan banyak terjadi mark up jumlah
siswa
yang tidak sesuai dengan data yang sebenarnya dalam memperoleh BOS.
Menurut
Imelda Rahmi Puteri SH dan Agus Anwar SH dari DPP Lembaga Konsultan Hukum
Realita Principiel Recht Provinsi Jawa Barat, sebenarnya perbuatan para oknum
pendidikan itu sudah menjurus kepada tindak
pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 31 UU No.31 Tahun 1999 dan
UU
No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi yang diancam dengan hukuman 15
tahun penjara. Tetapi diduga karena adanya perlindungan dari pihak atasan
sehingga sulit untuk dibidik.
Agus
Anwar SH bertekad untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akan membabat
pelaku tindak pidana korupsi khususnya di Jawa Barat dan umumnya di Indonesia.
“Negara kita adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 dan
pasal 27 ayat 1 UUD 1945 sehingga tanpa pandang bulu pelaku tindak pidana
korupsi harus diseret ke meja hijau. Negara kita menganut azas legalitas yang artinya
setiap peristiwa tindak pidana harus diajukan di muka pengadilan tanpa perbedaan
suku, agama, ras dan golongan. Kita harus tetap menjunjung tinggi hukum sehingga
hukum bisa menjadi panglima reformasi”.
H
Denden Sudarman sebagai Ketua Umum DPP Lembaga Konsultan Hukum Realita
Principiel Recht Provinsi Jawa Barat telah
melayangkan
surat kepada Ketua KPK, Jaksa Agung dan Kapolri agar benar-benar menangani
kasus korupsi secara intensif. Dan, meminta kepada Jaksa Agung RI dan Ketua KPK
agar kasus dana bansos di
Ciamis,
kasus pembangunan RS Muhammadiyah Kota Bandung dan kasus di Dinas Kota Bandung
seperti robohnya bangunan Sekolah Dasar
Negeri
Sejahtera Bandung yang dapat bantuan ratusan juta rupiah dan selaku penanggung
jawabnya adalah Fatimah, isteri Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, disidik sampai
tuntas. (F.481) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment