Denpasar : Transmigran Bali Tewas Dipenggal Di Sulteng
Korban Nyoman Astika semasa hidup bersama istrinya, Made Kantri |
NASIB naas menimpa salah
seorang transmigran asal Bali, Nyoman Astika. Pada Minggu (13/9) ia tewas dibunuh dengan kepala terpenggal. Peristiwa berdarah
itu terjadi di rumahnya, di Dusun Baturiti, Desa Balinggi, Kabupaten
Parigi Moutong, Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menantu korban, Nyoman Adiana,
menceritakan, pada pukul 13.00 Wita, saat kejadian,
Nyoman Astika (70) dan istrinya, Made Kantri (65), transmigran
asal Desa Gitgit, Kabupaten Buleleng, hendak
melakukan persembahyangan Tilem di rumah kecil miliknya yang berlokasi
di Pegunungan Baturiti.
Ketika Astika dan istrinya tiba di rumah di
pegunungan itu dan sempat melakukan beberapa aktivitas, datang lima
orang laki-laki bercadar. 2
orang membawa senjata laras panjang, 2 orang membawa pistol, dan 1
orang membawa kapak. “Dua di antara mereka memegang tangan
mertua perempuan saya (Made Kantri), dan sisanya menyandera
mertua laki-laki saya (Nyoman Astika),” jelasnya
mengutip cerita dari mertua perempuannya, Selasa (15/9),
di Denpasar.
Dipaparkan, kemudian dilihat salah satu pelaku
mencuci golok berlumuran darah dekat dengan sumber air di rumah
korban. “Salah satu pelaku mencuci tangan dan kapak penuh
dengan darah, selang beberapa saat kemudian mertua perempuan saya dilepaskan
dan dilihatnya mertua laki-laki saya terlentang di
tanah dekat pekarangan dengan keadaan terbunuh tanpa
kepala,” katanya.
Selanjutnya, para pelaku tersebut sempat mengancam
mertua perempuannya agar tidak
melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib dan masyarakat
setempat. “Mertua saya sempat ketakukan tetapi sekitar pukul 20.00
Wita memutuskan kabur dengan cara berlari ke Desa Gitgit Sari,
lokasi pemukiman keluarga yang berjarak sekitar lima kilometer
dari lokasi pembunuhan tersebut,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan, keesokan harinya, Senin
(14/9), sanak-keluarga dibantu beberapa penduduk
daerah setempat berjumlah lebih dari 30 orang berangkat ke lokasi
pembunuhan untuk mengevakuasi mayat korban dan berusaha mencari
bagian kepala korban yang
hilang. “Namun, pencarian kepala korban hingga hari
ini masih nihil,” imbuhnya.
Adiana lebih jauh mengungkapkan, keluarga di daerah
itu sudah melaporkan kejadian tersebut ke pihak Kepolisian Parigi
Mautong. “Kami mendengar sudah dilaporkan dan saat ini pihak kepolisian tengah
mendalami kasus ini dan diduga terkait dengan kelompok Santoso,”
imbuhnya.
Ada informasi, kelompok
Santoso merupakan kelompok teroris yang selama ini dinilai
kejam oleh masyarakat sekitar.
Diakui Adiana, lokasi kebun milik mertuanya itu memang merupakan jalur
“danger”. Pasalnya, jalur itu merupakan jalur yang kerap dilintasi
para teroris atau kelompok lainnya. Menurutnya juga, dari pengakuan
mertuanya sebelumnya saat pulang, memang kebun milik korban itu sering
dijadikan tempat persembunyian oleh kelompok teroris di wilayah itu.
“Dulu katanya sempat ada teroris ngumpet di
kebun milik mertua saya. Orang-orang tidak berani lewat di sana
karena sepi dan berbahaya,” katanya.
Ditambahkan Adiana, lokasi kebun milik mertuanya
bersama kebun warga lainnya itu berjauhan dengan
pemukiman penduduk. Adiana yang mengaku juga pernah tinggal di
sana mengatakan, untuk mencapai pemukiman penduduk
diperlukan waktu berjalan kaki sekitar 3-4 jam lamanya untuk
mencapai desa. Sehingga menurutnya, kondisi ini sering
dimanfaatkan kelompok-kelompok itu untuk melakukan tindakan anarkis.
Pada Selasa (15/9), korban dimakamkan di
lokasi itu. Sebab, menurut keyakinan, korban yang meninggal dalam
kondisi tidak utuh (tanpa kepala)
“wajib” dikubur di
wilayah Parigi, Sulteng, sesuai adat dan agama Hindu. Jika kepala
korban ditemukan kembali, baru dilaksanakan upacara pengabenan. (F.987) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment