Selamatkan Bali,
Tolak Reklamasi Teluk
Benoa !
Presiden Jokowi diminta segera mencabut Perpres No. No.51/2014 Tentang Perubahan
Atas Perpres No.45/2011 Tentang Rencana Tata Ruang SARBAGITA yang diterbitkan
Presiden SBY.
SUARA dan gerakan penolakan
rakyat Bali terhadap reklamasi Teluk Benoa yang rencananya digarap PT Tirta
Wahana Bali Internasional (TWBI) yang akan menguruk sekitar Pulau Pudut seluas
lebih dari 800 hektar, sepertinya pantang surut. Gerakan penolakan yang dimotori
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) ini telah berlangsung dua tahun
lebih. Aksi mereka ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai kota di
Nusantara, bahkan dari warga negara asing.
Solidaritas gerakan penolakan reklamasi Teluk
Benoa juga ditunjukkan sejumlah musisi dan seniman kenamaan di Tanah Air.
Mereka pun ikut aktif menyuarakan penolakan terhadap rencana Reklamasi
Teluk Benoa. Di antaranya adalah Superman Is Dead, Iwan Fals, Happy Salma,
Djenar Mahesa Ayu, Seringai, Sawung Jabo, Kirana Larasati dan Glenn Fredly.
Koordinator ForBali, Wayan Gendo Suardana |
Koordinator ForBali, Wayan “Gendo”
Suardana, menjelaskan bahwa ForBALI dibentuk pada bulan Agustus 2013.
Namun, embrionya sudah mulai muncul sejak bulan Juni 2013. Praktis, ForBALI
kini telah memasuki tahun kedua menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang
digagas PT Tirta Wahana Bali Internasional itu. “Memang ForBALI ini kan
dibentuk khusus untuk mengadvokasi rencana reklamasi di Teluk Benoa, bukan
menolak reklamasi keseluruhan di mana-mana,” ujarnya di Denpasar.
Sejak dibentuk hingga sekarang ForBALI
mendapat respon yang cukup tinggi. Terlihat dari jumlah anggotanya yang
berkembang begitu banyak dari seluruh Bali. Tak heran saat menggelar aksi turun
ke jalan atau biasa disebut Parade Budaya Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ada
ribuan anggota yang hadir merubah jalan menjadi lautan manusia.
“Kalau ForBALI ini terdiri dari banyak
organisasi, lembaga-lembaga yang memang konsern terhadap persoalan-persoalan
sosial di Bali. Termasuk soal lingkungan, jadi bukan baru melek soal lingkungan
hidup. Jadi memang ini adalah eksponen dan komponen yang peduli dan sudah dari
lama bergerak di bidang sosial di Bali. Dan memang kita sekarang fokus dulu
untuk reklamasi di Teluk Benoa,” jelas Gendo.
Lebih lanjut dikatakan, ForBALI selama ini
melakukan segala daya upaya sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang mereka
punya, serta dijamin konstitusi dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Kegiatan ForBALI antara lain diskusi publik, diseminasi isu kepada publik, demo
dan membuat kajian.
“Untuk teman-teman seniman dan musisi yang
tergabung dalam ForBALI, mereka melakukan advokasi di bidang mereka dengan
seni. Ada yang seni musik, ada lewat lukisan, mural, dan segala macam. Dan itu
sekaligus juga untuk pendanaan ForBALI, misalnya lewat lelang karya, konser,
termasuk sumbangan dari anggota,” tandasnya.
Ia menguraikan beberapa alasan mengapa ForBali
menolak reklmasi Teluk Benoa. Di antaranya karena vegetasi mangrove
di kawasan Teluk Benoa didominasi oleh jenis prapat (Sonneratia spp).
Vegetasi jenis ini sangat sensitif terhadap sedimentasi. Proyek reklamasi
dengan menciptakan pulau-pulau baru di kawasan Teluk Benoa akan membuat proses
sedimentasi atau pendangkalan berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan
karena material-material sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara
ke Teluk Benoa akan terhalang oleh pulau-pulau baru hasil reklamasi.
Selain itu, Reklamasi Teluk Benoa tentunya
akan merubah rejim arus laut yang dibangkitkan oleh peristiwa pasang surut.
Perubahan rejim arus ini akan berpengaruh terhadap disposisi sedimen, di mana
sedimentasi ini akan mematikan vegetasi Sonnerata spp. Secara
jangka panjang akan terjadi perubahan struktur komunitas mangrove di kawasan
tersebut. Hal ini diakibatkan proyek reklamasi akan menyebabkan majunya garis
pantai, sehingga lingkungan tinggal mangrove akan berganti, yang dahulu adalah
lingkungan payau berganti menjadi lingkungan pantai.
Ia membantah jika disebutkan reklamasi bisa
menjadi solusi untuk menghentikan pendangkalan. Namun justru adanya
pulau-pulau hasil reklamasi, pulau tersebut akan menghalangi proses sedimentasi
alamiah yang telah berlangsung. Sehingga yang terjadi justru sebaliknya,
yaitu reklamasi malah akan mempercepat proses pendangkalan.
Alasan lainnya,
karena reklamasi akan menghancurkan habitat dan ekosistem Teluk
Benoa yang telah terbentuk dari jutaan tahun yang lalu. Habitat dan ekosistem-ekosistem
mangrove Teluk Benoa berperan penting dalam menjaga kestabilan produktivitas
dan ketersediaan sumber daya hayati wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
juga merupakan daerah asuhan (nursery ground), pemijahan (spawning
ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi beberapa
jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan serta
sebagai sanctuary kehidupan liar dan mangrove yang dikenal sebagai
pemasok hara dan makanan bagi plankton serta menciptakan suatu rantai makanan
yang kompleks di perairan sekitarnya. Semua itu akan rusak selama proses
pengerjaan pulau-pulau baru.
Kemudian, apakah reklamasi Teluk Benoa
sebagai revitalisasi atau degredasi ? Revitalisasi tidak sama dengan
reklamasi. Revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau
menggiatkan kembali. Dalam konteks Teluk Benoa yang merupakan kawasan perairan
maka seharusnya kegiatan revitalisasinya adalah proses, cara atau perbuatan
menggiatkan kembali kawasan perairan Teluk Benoa dengan fungsinya sebagai
kawasan perairan.
Menurut Gendo, logika merevitalisasi Teluk
Benoa dengan menghilangkan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan konservasi
lalu mereklamasinya guna pembuatan pulau-pulau baru adalah logika sesat. Jika
revitalisasi adalah menghidupkan fungsi konservasi Teluk Benoa maka mereklamasi
Teluk Benoa guna kepentinngan non konservasi sama dengan mendegradasi kawasan
perairan Teluk Benoa.
“ForBali mendesak Presiden Joko
Widodo untuk bekerja keras mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim
dengan menjadikan teluk sebagai masa depan peradaban Indonesia demi
mewujudkan kejayaan Indonesia di laut. Adalah modal besar untuk mengembalikan
Teluk Benoa menjadi kawasan konservasi. Komitmen Presiden Jokowi harus segera
diwujudkan dengan segera membatalkan Perpres No.51/2014 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No.45/2011 Tentang Rencana Tata Ruang SARBAGITA. Sebab,
penerbitan Perpres No.51/2014 itu adalah upaya pemaksaan agar investor dapat
mereklamasi 700 hektar Teluk Benoa dengan cara menghapuskan pasal-pasal yang
menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan sebagaimana yang
disebutkan di dalam pasal 55 ayat (5) Perpres No.45/2011”.
Tak mau ketinggalan, warga Bali yang
bermukim di luar negeri pun juga menyuarakan penolakan mereka. Mereka tergabung
dalam Diaspora Bali yang beranggotakan mahasiswa, pekerja, dan seniman asal
Bali yang tinggal luar negeri. Fasilitator Sekaan (Kelompok) Diaspora Bali,
Agung Wardana, mengungkapkan bahwa sebanyak 32 inisiator Sekaan Diaspora
Bali yang tersebar di berbagai negara di Asia, Australia dan Eropa secara tegas
menolak Reklamasi Teluk Benoa. Ia mendorong masyarakat Bali untuk mengambil
posisi kritis terhadap agenda pembangunan Bali yang termuat dalam MP3EI maupun
model pembangunan yang tidak adil lainnya, seperti rencana reklamasi Teluk
Benoa.
Agung Wardana yang kandidat doktor di Asia
Research Centre, Murdoch University, beserta sejumlah cendekiawan asal Bali ini
pada prinsipnya mendukung harapan masyarakat Tanjung Benoa untuk merevitalisasi
Pulau Pudut yang saat ini kondisinya semakin terkikis. Namun, solusinya adalah
revitalisasi Pulau Pudut yang dilakukan oleh pemerintah, bukan pihak investor
yang memosisikan diri seolah-olah sebagai dewa penyelamat.
Pembuatan pulau baru di Teluk Benoa, kata
Agung Wardana, akan berdampak besar bagi lingkungan. Menurut pemodelan
yang dilakukan Conservation International (CI), pengurugan laut seluas 838
hektar untuk kawasan wisata terpadu ini akan menyebabkan perubahan arus air
yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan abrasi dan beberapa wilayah yang
secara geografis berposisi rendah tergenang akibat banjir rob.
Banyuwangi
menolak
Sementara solidaritas penolakan yang
datang dari luar Pulau Bali, berasal dari tetangga dekat Bali di sebelah barat,
yaitu Kabupaten Banyuwangi. Sejumlah pemuda asal Banyuwangi berulang kali
melakukan aksi penolakan dengan meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur menolak
rencana pengambilan pasir dari pesisir buat reklamasi Teluk
Benoa. Penolakan mereka juga dilakukan lewat kampanye masif di di media
sosial sampai membuat petisi.
Dalam petisi itu, Walhi Jawa Timur
mendesak Gubernur Jatim menolak izin penambangan pasir laut di Banyuwangi untuk
mereklamasi Teluk Benoa. Disebutkan dalam petisi itu, PT TWBI mengincar pasir
laut di pantai dan pesisir Muncar, Rogojampi dan Kabat, Banyuwangi. Kawasan
Muncar, Rogojampi dan Kabat selama ini dikenal sebagai penghasil ikan terbesar
di Indonesia. Data BPS 2014, di Muncar ada 12.714 jiwa sebagai nelayan. Di
Rogojampi dan Kabat, sekitar 1.488 warga di sektor perikanan. Jumlah ini belum
memperhitungkan tenaga kerja pada 309 unit pengolahan ikan. Di Pelabuhan
Muncar, ada 27 industri penepungan ikan, 13 pengalengan ikan, dan 27 pembekuan
ikan.
TWBI berencana mereklamasi Teluk Benoa
dengan menguruk laut seluas 700 hektar. Rencana itu ditolak berbagai elemen
masyarakat karena berpotensi merusak konservasi pantai demi kelestarian
keragaman hayati dan mengganggu basis perekonomian masyarakat berbasis maritim.
Untuk memuluskan usaha pengerukan pasir
laut di Banyuwangi, pihak PT TWBI telah bertemu dengan pihak Pemerintah
Banyuwangi dan survei lokasi. Izin pertambangan pasir laut menunggu persetujuan
Gubernur Jatim. Usaha serupa sudah ditolak di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Gubernur NTB, M Zainul Majdi, menyatakan, pengerukan pasir merusak ekosistem
lingkungan di wilayah mereka.
“Pengerukan pasir laut di Banyuwangi akan
mengancam kelestarian kawasan pantai dan laut di wilayah itu. Ekosistem pantai dan
pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya
hayati memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat sekitar,” bunyi petisi
itu.
Mereka beralasan karena ekologi kawasan
pantai dan pesisir yang hancur akan menimbulkan dampak luas seperti biota laut
hilang dan ancaman bencana ekologis seperti abrasi serta banjir rob.
Penolakan
dari Washington
“Washington DC Against The Destruction
of Bali’s Environment, Tolak Reklamasi Teluk Benoa.” Begitu spanduk
penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali, terbentang di Washington DC, Sabtu
(11/4). Hari itu warga Indonesia bersama warga Washington menggelar aksi damai
di depan Reflection Pool, Capitol Hill, Gedung Kongres Amerika. Mereka pun menyanyikan
lagu Bali Tolak Reklamasi. “Sayang Bali…tolak reklamasi…”
Made Supriatma, juru bicara aksi dalam
rilisnya kepada media mengatakan, aksi ini mendesak Presiden Indonesia, Joko
Widodo, mencabut Perpres No.51/2014. Aturan itu, katanya, keluar menjelang
akhir masa jabatan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Peraturan presiden
ini disinyalir sarat kepentingan bisnis karena memberi jalan menguruk wilayah
konservasi Teluk Benoa,” katanya.
Fasilitator Sekaan (Kelompok) Diaspora Bali, Agung Wardana |
Kawasan Teluk Benoa yang bakal direklamasi
sekitar 700 hektar dengan mendatangkan tanah urukan dari berbagai pulau dan
daerah sekitar seperti Banyuwangi dan Lombok. “Bisa dibayangkan keuntungan yang
akan dikeruk investor karena proyek ini terletak di wilayah prime spot wisata
Bali yang memiliki harga tanah termahal. Namun, dampak lingkungannya mengintai
warga sekitar. Ada segelintir orang akan mendapat keuntungan sangat besar dari
reklamasi ini, sementara rakyat yang harus menanggung akibatnya jika terjadi
kerusakan. Ini sangat tidak adil,” kata Ika, peserta aksi.
Dalam aksi ini mereka juga mendesak para
elit politik lokal dan elit pemerintahan di Bali mendengarkan suara rakyat. Penolakan
pengurugan Teluk Benoa tidak hanya oleh masyarakat Bali tapi juga skala internasional.
Aksi di Washington DC ini merupakan salah satu dari aksi serupa di berbagai
negara. Daniel Ziv, warga Kanada yang tinggal di Bali dan sutradara film
dokumenter ‘Jalanan,’ mengatakan, aksi ini diharapkan bisa mendukung perjuangan
rakyat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Puslit Geoteknologi LIPI 2010, Teluk Benoa memiliki potensi bahaya likuifaksi.
Artinya, lapisan tanah pada kawasan ini sangat rentan mengalami perubahan dari
padat menjadi cair maupun terjadi amblesan jika terjadi pergeseran lapisan
bumi. Dengan demikian, tentu kawasan ini sangat beresiko jika dibangun
infrastruktur pariwisata skala besar dan tinggi.
Selain itu, ahli Perubahan Iklim dari
Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr rer nat Armi Susandi MT, di tahun 2010
pernah memprediksi bahwa pada 2050 sebagian daratan Pulau Bali akan tenggelam.
Hal ini disampaikannya saat orasi ilmiah di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB,
Bandung, dilansir Yahoo.com.
Menurut
dia, anomali cuaca dan iklim di masa depan akan menimbulkan dampak yang
lebih dramatis pada Pulau Bali yang kini memiliki luas sekitar 5.632 kilometer
persegi. Ia memprediksi, pada 2050 daratan Pulau Bali akan terendam seluas 489
kilometer persegi. Rendamannya akan semakin luas pada 2070, hingga mencapai 557
kilometer persegi.
Yang lebih mencengangkan, terendamnya
wilayah ini akan mengakibatkan terpisahnya Pulau Bali menjadi dua bagian. Tanah
genting yang selama ini menjadi penghubung sebagian besar Pulau Bali dengan
Nusa Dua, di antaranya terdapat Pantai Kuta dan Sanur pun akan ternggelam. Akibatnya,
masih kata dia, Nusa Dua akan menjadi pulau tersendiri yang terpisah dari Pulau
Bali.
Maka, marilah kita lebih peduli untuk
menjaga kelestarian alam dan lingkungan di Pulau Dewata demi anak-cucu generasi
mendatang. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment