Wednesday, March 29, 2017

SULUT RAYA

KINI TOMOHON MAKIN PANAS

Walikota Tomohon, Jimmy F Eman SE Ak.
ANDA pasti sering mendengar orang berkata,“Panas banget ya hari ini”. Sementara di media sosial, Anda pasti sering membaca kalimat,“Panasnya Puuuol” atau “Panasnya Ruarrr Biasa”. Tidak salah, fakta memang menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhu. Kondisi ini biasa disebut pemanasan global atau global warming. Pemanasan global merupakan suatu proses meningkatnya suhu rata-rata lapisan atmosfer, laut, dan daratan di bumi.
Di Sulawesi Utara, khususnya Kota Manado, suhu bisa menembus hingga kisaran 30-33°C. Suhu yang sudah pasti tidak nyaman bagi manusia. Padahal dulu, suhu rata-rata hanya di kisaran 20-21°C. Fenomena ini juga dirasakan warga Kota Tomohon yang berada di pegunungan. Bahkan di saat cuaca panas, suhu di Kota Tomohon bisa mencapai kisaran 30°C.
Sekadar diketahui, Kota Tomohon merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Provinsi Sulawesi Utara. Kota ini berada pada ketinggian 400 - 1.500 meter dari permukaan laut, sehingga kondisi suhu udaranya relatif lebih rendah dibanding daerah lain. Hal ini pula yang membuat Tomohon sering disebut Kota Sejuk.
Tapi itu masa lalu (dulu), berbeda dengan sekarang. Kota Tomohon kini tak lagi sejuk. Faktanya, di saat cuaca panas, suhu Kota Tomohon bisa mencapai level 30°C. Suhu yang tidak masuk kategori sejuk. Dulu, di Kota Tomohon lumrah melihat orang pakai jaket di siang bolong. Tapi sekarang, pemandangan itu hanya bisa ditemui di malam hari. Kondisi ini bukan semata dampak dari pemanasan globlal, tetapi perkembangan Kota Tomohon sendiri ikut memberi kontribusi.
Dulu, masih sedikit kendaraan bermotor lalu-lalang. Tapi sekarang, macet akibat padatnya kendaraan di ruas jalan Tomohon, sudah menjadi pemandangan biasa. Dulu, tempat penginapan yang biasa disebut cottage dan resort masih bisa dihitung dengan jari. Tapi sekarang, di mana-dimana ada cottage dan resort. Bahkan di sepanjang ruas jalan Tomohon-Manado, yang kondisinya dikelilingi tebing dan jurang, kini padat dengan bangunan.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah setempat yang beberapa tahun terakhir gencar mendatangkan pemilik modal untuk membangun sektor pariwisata. Alhasil, atas nama pembangunan pariwisata, bukit-bukit yang dulunya hijau dan asri disulap menjadi bangunan.
Satu contoh pembangunan lokasi wisata bukit Wawona, Rurukan, Kecamatan Tomohon Timur, yang sempat memicu kontroversi. Judie Turambi, pemerhati lingkungan hidup, mengatakan, ada kesalahan prosedur yang dilakukan pengembang lokasi wisata Bukit Wawona. Pertama, pembangunan sudah lebih dulu dijalankan, padahal belum melengkapi perizinan, terutama analisa mengenai dampak lingkungan (amdal). Tindakan cacat prosedural ini melanggar UU nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, kata Turambi, di lokasi sekitar pembangunan ada empat mata air yang bisa terancam kelestariannya, yakni mata air Teteneman, Pasu Tuwang, Pasong dan Mezel.
"Lokasi kemiringan di bukit Wawona juga diperkirakan 40-45 derajat, sehingga sebelum mengawali pembangunan seharusnya sudah punya amdal dulu," kata dia.
Atas dasar itu, Judie Turambi akhirnya melaporkan pihak pengembang ke Polres Tomohon karena membangun tanpa mengantongi izin. Alih-alih kena sanksi, pengembang Bukit Wawona justru diback-up penuh oleh Pemerintah Kota Tomohon di bawah kepemimpinan Walikota Jimmy F Eman SE Ak. Hanya dengan hitungan singkat, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tomohon mengeluarkan rekomendasi izin lingkungan atas pembangunan wisata Bukit Wawona.
Keputusan itu, menurut Kepala BLH Tomohon, Lily Solang, diambil setelah dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan ( UPL) disetujui oleh tim penilai BLH. "UKL dan UPL sudah disetujui dan rekomendasi izin lingkungan sudah dikeluarkan," ujar Lily Solang pada medio April 2016.
Obyek wisata Bukit Wawona.
Tahun lalu (2015), ketika Indonesia dilanda badai El Nino,  gejala alam yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut, para peneliti dari berbagai lembaga mengukur suhu panas bumi. Hasilnya, 2015 tercatat sebagai tahun terpanas jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sejak 1880-an.
NASA (National Aeronautics and Space Administration), NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dan Japan Meteorogical Agency mengklaim kebenaran atas fenomena itu. Pada enam bulan pertama tahun 2015, panas bumi kian meningkat hingga berada di tingkat tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Di Indonesia, badai El Nino memicu kekeringan. Dampaknya, kebakaran hutan terjadi di mana-mana, tak terkecuali Kota Tomohon yang dulu dikenal sejuk. Bahkan Gunung Lokon yang menjadi salah satu ikon Kota Tomohon, gundul dalam sekejap dilalap api.
Ada beberapa penyebab mengapa suhu bumi terus meningkat. Penyebab utama sudah pasti aktivitas manusia sendiri. Atau, dengan kata lain, kontributor terbesar pemanasan global adalah manusia itu sendiri.
Salah satu penyebab pemanasan globlal adalah Emisi Gas Rumah Kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak kedua, yang timbul dari berbagai proses alami seperti letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Gas Rumah Kaca yang berada di atmosfer (troposfer) yang dihasilkan dari aktivitas manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara), seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, dan lainnya. Selain itu Gas Rumah Kaca juga dihasilkan dari pembakaran dan penggundulan hutan, serta aktivitas pertanian dan peternakan.
PBB pernah melaporkan bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9% karbondioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72 kali lebih kuat dari CO2), 65% nitrooksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak.
Sehingga PBB menyimpulkan bahwa kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), nitrogen oksida (NO) dari pupuk, serta gas yang digunakan untuk barang-barang elektronik seperti kulkas dan pendingin ruangan (CFC).
Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.
Itulah sebabnya, sejumlah negara yang terlibat dalam Protokol Kyoto terus melakukan berbagai upaya untuk mengurangi pemanasan global melalui kebijakan-kebijakan yang berbasis ramah lingkungan. Mulai dari penghijauan hutan, pengurangan penggunaan CFC dan lainnya. Karena jika tidak ada upaya untuk menekan pemanasan global, maka bumi akan semakin tidak ramah terhadap umat manusia. Bahkan, bukan tidak mungkin, beberapa ratus tahun ke depan, manusia harus mengenakan pakaian khusus akibat suhu bumi yang terlalu panas.
Dampak pemanasan global mulai kita rasakan, salah satunya adalah climate change (perubahan iklim). Terjadinya banjir dan kekeringan di wilayah yang tidak biasanya terjadi, perubahan cuaca yang sulit diprediksi, juga mulai kita rasakan, termasuk oleh warga Tomohon yang tidak lagi merasakan suasana sejuk seperti dulu.

Dunia yang akan kita wariskan pada anak-cucu bakal jauh berbeda dengan dunia yang kita tempati sekarang, jika tidak ada langkah konkrit untuk mengatasi pemanasan global. Inilah tantangan terbesar yang sedang dihadapi umat manusia, khususnya Tomohon yang kini terasa makin panas saja. (F.1002) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment