Wednesday, March 8, 2017

KORUPSI JAKARTA

Dugaan Korupsi Laboratorium Bahasa Kementerian Agama
Jangan Sampai Lenyap Ditelan Bumi


KELOMPOK anti koruptor rakus (Kentir) meminta agar kasus dugaan korupsi laboratorium bahasa di Kementerian Agama yang pernah dilansir oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2012 tentang hasil audit tahun anggaran 2011, jangan sampai lenyap ditelan bumi.
“Jika saat itu (tahun 2012), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beralasan bahwa mereka belum bisa menangani kasus ini karena saat itu mereka sedang fokus pada pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran, tentunya setelah 4 (empat) tahun berlalu dan kasus korupsi Al Quran yang menghebohkan itu telah tuntas diselesaikan, maka kasus korupsi laboratorium bahasa ini semestinya layak mendapat prioritas untuk diusut", ujar Eddy, Ketua Kentir.
“Tetapi jika KPK masih juga sibuk dengan berbagai kasus korupsi lain yang ditanganinya, sehingga belum sempat mengusut kasus tersebut, maka aparat hukum kepolisian atau kejaksaan diharapkan berinisiatif menangani kasus ini,” kata Eddy.
“Memang kasus dugaan korupsi laboratorium bahasa ini tidak sepopuler kasus korupsi Al Quran, meski terjadi pada kementerian yang sama dan pada waktu yang sama pula. Tetapi jumlah korupsinya pun sama besar. Masa’ kasus korupsi yang diusut hanya kasus korupsi yang populer dan bisa membuat ketenaran saja,” sentilnya.
“Padahal ada yang menarik dari kasus korupsi laboratorium bahasa di kementerian agama ini, yakni adanya keterlibatan dari perusahaan, rekanan dan orang-orang yang saat ini sedang diusut dan ada yang menjadi tersangka, bahkan ada yang sudah diadili di pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi) dalam kasus korupsi UPS (Uninterruptible Power Supply) di DKI Jakarta,” tambahnya.
Karena sebagaimana dilansir Bareskrim Mabes Polri tanggal 28 Agustus 2016 bahwa salah satu tersangka baru kasus korupsi UPS yang merugikan negara ratusan milyar rupiah, yakni Direktur Utama PT Offistarindo Adhiprima, Harry Lo, telah dilakukan penahanan. Di mana bisa dilihat bahwa perusahaan yang sama juga terlibat dalam kasus dugaan korupsi laboratorium bahasa kemenag sebagaimana dilansir dalam temuan BPK tersebut.
Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media nasional saat itu, pengadaan alat laboratorium bahasa untuk madrasah tsanawiyah pada 2010 senilai Rp 18 miliar di Kementerian Agama diduga bermasalah. BPK meyakini proyek itu, "Berpotensi merugikan keuangan negara jika harga barang yang diterima di bawah nilai kontrak," demikian tertulis dalam hasil audit proyek yang diperoleh.
Hasil audit proyek yang ditandatangani akuntan register negara, Acep Mulyadi, pada 23 Mei 2011 menyebutkan pengadaan laboratorium besar kemungkinan tak sesuai dengan peraturan tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Salah satu penyebabnya, situs help desk nasional dari CV Adi Kersa, pemenang tender proyek, di http://www.offistarindo.com, tak menyediakan fitur forum diskusi antarwarga madrasah. Selain itu, katalog produk, deskripsi, tujuan, dan manfaat bagi pengguna tak lengkap. Situs itu dimiliki oleh PT Offistarindo Adhiprima, agen tunggal peralatan laboratorium bahasa merek Longsea yang diimpor dari China. 
BPK juga menilai hasil pekerjaan dengan kontrak senilai Rp 18,196 miliar itu tak bisa memberi manfaat sesuai yang diharapkan. Mereka menilai panitia pengadaan tak memahami peraturan lelang. Tim penerima dan pemeriksa barang juga lalai menjalankan tugas.
BPK merekomendasikan Kementerian Agama memberi sanksi kepada kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia pengadaan, dan tim pemeriksa barang. 
Anggota Komisi Agama DPR RI periode itu, Muhammad Baghowi, mendesak Kementerian Agama menindaklanjuti temuan BPK tersebut. "Apalagi audit itu tahun 2011, seharusnya sudah ditindaklanjuti," kata politikus Partai Demokrat ini.

Juru bicara KPK saat itu, Johan Budi SP, belum bisa menanggapi hasil audit tersebut. Menurut Johan, karena komisinya masih hanya fokus pada kasus korupsi pengadaan Al Quran saja. (Rilis) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment