HEBOH KASUS SUMBER WARAS
PEMERINTAH Provinsi
DKI Jakarta telah membeli sebidang tanah seluas ± 3,6 Ha
dari RS Sumber Waras seharga Rp 755,69 milyar. Pembelian tanah tersebut, menurut laporan investigasi
yang dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) berdasarkan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
(KPK RI) merugikan
negara sekitar Rp 191 milyar.
Kerugian negara itu, masih
menurut laporan BPK, disebabkan karena adanya selisih nilai harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Seharusnya Rp 7 juta per m2 namun
saat Pemprov DKI Jakarta membeli tanah tersebut
nilainya naik menjadi Rp 20 juta per m2.
Perbedaan nilai NJOP itu disebabkan
adanya perbedaan letak tanah pada alamat yang berbeda.
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, dan pihak RS Sumber Waras bahwa
tanah yang dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta itu terletak di Jl Kyai Tapak
sesuai sertifikat HGB dan PBB-nya. Tetapi,
menurut BPK, tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta tersebut pada kenyataannya
terletak di Jl Tomang. Kedua alamat itu beda
kelurahan pula. Di sinilah
penyebab utama hebohnya pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta.
Menurut BPK, secara de facto
(kenyataan) letak tanahnya
di Jl Tomang. Sedangkan
menurut Ahok, secara de jure (hukum/sertifikat)
tanahnya terletak
di Jl Kyai Tapak. Mengapa
bisa terjadi demikian ?
Dapat dimungkinkan pada saat Sumber
Waras membeli tanah tersebut masih
merupakan hamparan tanah yang sangat luas, bisa
mencapai puluhan hektar, dan masih dalam keadaaan tanah kosong serta menghadap
di Jl Kyai Tapak. Pembeliannya
pun sudah puluhan tahun yang lalu yang pada saat itu
semuanya beralamat di Jl Kyai Tapak.
Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, Sumber Waras
membangun rumah sakit di sebagian
tanah yang dimilikinya yang menghadap ke Jl Kyai Tapak.
Sedangkan tanah yang dijual kepada
Pemprov DKI Jakarta seluas ± 3,6
Ha tetapi tidak menghadap ke Jl Kyai Tapak melainkan terletak
di samping/di belakang
tanah yang dibangun RS Sumber Waras. Tanah yang dibeli Pemprov
DKI Jakarta itu tidak ada akses/jalan yang menuju ke Jl
Kyai Tapak. Padahal tanah tersebut saat dibeli menghadap
ke Jl Tomang dan tanah yang dibeli tersebut sudah
tertutup bangunan RS Sumber Waras yang menghadap ke Jl Kyai
Tapak.
Permasalahan tersebut sebenarnya tergantung pembelinya.
Bila pembelinya adalah orang pribadi atau pihak swasta dan mau membelinya dengan
alamat Jl Kyai Tapak dengan nilai NJOP Rp 20 juta per
m2 ya tidak ada masalah. Tetapi bila yang membelinya adalah
pemerintah/negara bisa bermasalah atau dapat diduga terjadi korupsi atau manipulasi karena
letak tanahnya tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada. Walaupun surat-suratnya menyebutkan terletak di Jl
Kyai Tapak namun pada kenyataannya tanah itu
terletak di Jl Tomang. Pertanyaannya, apakah beli
surat atau beli tanah ?
Sebenarnya Ahok dan
jajarannya tidaklah bodoh. SDM-nya
dapat dipastikan pintar-pintar. Tetapi,
mengapa sampai terjadi masalah dalam menentukan letak tanah yang dibelinya tersebut ? Hingga memicu
pertanyaan lebih lanjut, ada apa di balik
itu semua ?
Tanah tersebut bila tidak dijual kepada
pihak lain masih tetap beralamat di Jl Kyai Tapak.
Tetapi karena tanah itu dijual
kepada pihak lain dan tidak ada akses ke Jl Kyai
Tapak, karena sudah tertutup bangunan RS Sumber Waras,
sedangkan yang ada akses menuju ke Jl
Tomang, maka sudah barang tentu alamatnya
akan berubah menjadi di Jl Tomang.
Kejanggalan-kejanggalan
pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut sebagai berikut :
1.
Tunggakan PBB dan pembayaran BPHTB sebelum tanah
tersebut dijual harus dilunasi terlebih dahulu oleh penjualnya
(pihak Sumber Waras).
Namun ternyata tunggakan PBB dan BPHTB-nya yang mencapai sekitar Rp 15 miliar tidak dilunasi dan
tidak dibayar lebih dulu oleh penjualnya.
2.
Pembayaran pembelian tanah itu dilakukan pada saat akhir bulan Desember dan sore hari.
3.
Pembelian tanah dengan cek tunai yang tidak
lazim perlu dipertanyakan dan diselidiki.
4.
Nilai NJOP tahun 2013-2014 sebesar Rp 7 juta per m2.
Namun tiba-tiba tahun 2015 NJOP-nya berubah menjadi Rp 20
juta per m2. Dalam kurun waktu 1-2 tahun mengalami kenaikan ± 80% sehingga memicu kecurigaan.
5.
Pihak Ciputra yang sebelumnya telah
membeli tanah Sumber Waras itu dengan member DP/uang muka puluhan miliar
tiba-tiba membatalkan
ikatan jual-beli tanah tersebut. Menurut informasi,
itu karena katanya tanah tersebut tidak bisa dirubah
peruntukannya menjadi kawasan bisnis. Biasanya dan
dapat dipastikan pihak swasta bila akan membeli tanah
menanyakan terlebih dahulu pada instansi yang berwenang,
tidak mungkin tidak menanyakan terlebih dahulu langsung mau
melakukan ikatan jual beli dengan membayar uang muka puluhan miliar rupiah lalu
membatalkannya dengan resiko uang muka yang sudah dibayarkan tadi tidaik bisa
dikembalikan alias merugi. Jangan-jangan pembelian oleh Ciputra
itu hanya rekayasa saja untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar saat tanah
tersebut dibeli Pemprov DKI Jakarta.
6.
Pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta dilakukan secara langsung,
tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan dan aturan
yang ada. Beli tanah dengan harga ratusan milyar rupiah tentunya tidak seperti beli ATK atau pengadaan barang dan jasa
yang nilainya di bawah Rp 100 juta.
Sampai saat ini KPK masih menyelidiki kasus dugaan korupsi pembelian tanah Sumber Waras
oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut. Bahkan, pimpinan KPK mengatakan, sejauh ini
pihaknya belum menemukan adanya indikasi korupsi dalam pembelian tanah Sumber
Waras oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut.
Kabid
Pendapatan Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) Kota Surabaya, Agung Supriyo Wibowo SEAk MA, mengatakan bahwa sejak otonomi daerah
untuk PBB dan BPHTB kewenangannya dari pusat dilimpahkan pada daerah dalam hal ini
Bupati/Walikota/Gubernur untuk DKI Jakarta bersama-sama dengan DPRD sesuai
dengan UU No.28 Tahun 2009 tentang pajak retribusi daerah.
Selanjutnya
oleh masing-masing daerah diperdakan untuk pelaksanaan penetapan pajak (NJOP dan
BPHTB)-nya termasuk perubahan kenaikan NJOP PBB dan retribusi untuk penetapan
dan kenaikan NJOP PBB-nya. Ketentuan tersebut berlaku sama di seluruh
Indonesia. Jadi, bila ada yang mengatakan penetapan pajak PBB (NJOP) oleh
menteri keuangan atau dirjen pajak, itu sama sekali tidak benar atau dapat
dikatakan bohong. Karena menteri keuangan/dirjen pajak sudah tidak mempunyai
kewenangan lagi untuk menetapkan pajak PBB (NJOP) dengan terbitnya UU No.28 Tahun
2009 tersebut. Begitu pula untuk kenaikan NJOP di DKI Jakarta yang berwenang
menentukan adalah Gubernur dan DPRD Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan
Daerah (Perda) !
Tapi, Ahok
yang bakal calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen dalam Pilkada 2017 mendatang
sepertinya
kebal hukum. Indikasinya, apa saja yang
dilakukannya, ia selalu merasa benar, walaupun
pihak lain mengatakan dia salah. Ahok selalu
koar-koar dan mentang-mentang, bahkan menantang BPK segala.
Sepertinya ada yang melindungi agar tidak
tersentuh hukum walaupun berbuat salah atau melanggar
hukum sekalipun. Wallahualam. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Imam Djasmani
No comments:
Post a Comment