Friday, December 2, 2016

OPINI

KASUS SUMBER WARAS,

PIMPINAN KPK TAKUT KEPADA AHOK ATAU JOKOWI ?


PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah melenceng, tidak independen. Kelihatan ada tekanan dari pihak tertentu pada pimpinan KPK agar tidak melanjutkan kasus dugaan korupsi pembelian tanah Sumber Waras oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ketua KPK dalam jumpa pers menjelaskan bahwa dalam pembelian tanah Sumber Waras oleh Gubernur DKI Jakarta belum ditemukan bukti yang melanggar hukum. Itulah akibat dari 5 komisioner KPK yang tidak memiliki latar belakang hukum sehingga kurang atau tidak memahami permasalahan hukum. Lebih-lebih Ketua KPK berlatar belakang dari mantan pejabat birokrasi, patut dicurigai akan mudah dikendalikan oleh penguasa di negeri ini.
Pembelian tanah Sumber Waras bagaimana tidak melanggar hukum. Menurut Prof DR Ramli, ahli hukum pidana, dalam tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One bahwa pengadaan/pembelian tanah Sumber Waras oleh Ahok benar-benar ada penyimpangan dan melanggar hukum. Jelas-jelas ada kerugian negara ± Rp 191 milyar dan melanggar Perpres No.71 Tahun 2012. Sedangkan Perpres No.40 Tahun 2014 merupakan amandemen Perpres No.71 Tahun 2012 yang dirubah hanya 1 (satu) pasal saja yaitu yang luas tanahnya 5 (lima) Ha ke bawah maka pembeliannya bisa langsung ditangani oleh daerah tanpa melalui persetujuan Mendagri/Presiden. Namun semua prosedur yang tercantum dalam Perpres No.71 tahun 2012 tetap harus dilalui. Faktanya, dalam pembelian tanah Sumber Waras tersebut semua prosedur diabaikan, melainkan hanya dengan kwitansi dan melalui notaris saja. Secara diam-diam atau tersembunyi melengkapi persyaratan pengadaan tanah tersebut setelah dilakukan transaksi jual beli berarti fiktif.
Menurut Prof DR Ramli, Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah jelas-jelas melanggar hukum melakukan penyimpangan UU, bagaimana bisa Ketua KPK menyatakan bahwa pembelian tanah Sumber Waras oleh Gubernur DKI Jakarta itu tidak melanggar hukum. Dikatakannya, belum ditemukan bukti melanggar hukumnya. Apakah Ketua KPK tidak paham/tidak mengerti hukum ?
Pimpinan KPK apabila tidak melaksanakan yang telah ditetapkan oleh BPK maka dapat dikenakan sanksi pidana. Supriyanto, mantan Wagub DKI Jakarta, dan Wakil Ketua DPR RI,  Fadli Zon, menjelaskan secara gamblang dan terang-benderang bahwa pembelian tanah Sumber Waras jelas ada penyimpangan dan melanggar hukum. Jelas-jelas negara dirugikan ± Rp 191 milyar berdasarkan hasil audit investigasi lembaga tinggi negara yang berwenang, BPK. Selama ini pun KPK dalam menangani kasus korupsi selalu mengacu pada hasil audit investigasi BPK. Tetapi untuk kasus Sumber Waras, BPK tidak dipercaya oleh KPK.
Prof DR Ramli menjelaskan hasil audit investigasi BPK tidak bisa disandingkan atau dimintakan pendapat para ahli untuk diperdebatkan. BPK melaksanakan tugasnya atas dasar UU dan BPK sebagai lembaga tinggi negara berlandaskan amanat UUD 1945 merupakan auditor negara. Benar atau salahnya hasil audit BPK biarlah pengadilan yang menentukan. KPK bukan lembaga yudisial/pengadilan.
Pimpinan KPK berani-beraninya pasang badan dalam permasalahan pembelian tanah Sumber Waras. Apakah takut kepada Ahok atau pada Jokowi ? Karena yang menandatangani NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) tanah Sumber Waras yang dibeli Ahok itu adalah Jokowi saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Prof DR Ramli menjelaskan bahwa yang menandatangani NJOP tanah Sumber Waras itu adalah Joko Widodo. Tanah Sumber Waras yang dibeli Ahok di Jalan Kyai Tapa itu tahun 2012/2013 nilai NJOP-nya sebesar Rp 7,5 juta kemudian naik menjadi Rp 12 juta setiap meter persegi. Tetapi pada tahun 2014 dinaikkan menjadi Rp 20 juta per meter persegi. Ini sungguh mengejutkan, dalam kurun waktu 1- 2 tahun nilai NJOP-nya naik 100% lebih. Yang menjadi pertanyaaan, mengapa yang menandatangani NJOP Joko Widodo ? Mungkin pada waktu itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi seharusnya yang menandatangani kenaikan NJOP itu cukup Kepala Dinas Pendapatan Pajak DKI Jakarta. Ada apa di balik itu ?
Ahok selama ini gembar-gembor mengatakan bahwa yang menandatangani NJOP zona kawasan itu adalah Menteri Keuangan atau Dirjen Pajak. Ternyata pembohongan publik. Kelihatannya semua itu sejak awal sudah diatur secara rapi dan cepat untuk mendapatkan sesuatu. Mengapa yang menandatangani NJOP-nya adalah Joko Widodo ? Mungkin pada saat itu Jokowi jadi capres dan dipastikan terpilih jadi presiden, sehingga siapa yang akan berani mempermasalahkan presiden nantinya ? Ya begitulah bila gubernur tidak mengerti dan tidak memahami peraturan perundang-undangan asalkan pokoke tabrak saja aturan yang ada, tidak peduli. Yang terpenting ada yang memback up dan kebal hukum.
Oleh :
Imam Djasmani
Pengamat

No comments:

Post a Comment