PROSES pengadaan dan jasa yang
lazim dilakukan pemerintah selalu mengacu
dan atau diatur oleh Perpres No.54 Tahun 2010 beserta perubahannya.
Mulai
sistem serta mekanisme pengadaan, secara umum dijalankan
sesuai amanat
yang terangkum dalam aturan itu. Namun tidak demikian
bagi Pelabuhan
Indonesia III seperti yang dilakukan Cabang Benoa, Bali.
Semua
pengadaan dilaksanakan tidak berdasar alias tidak terikat
peraturan
presiden terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Seolah tidak wajib menjadi
pedoman mengingat ada SE Kementerian BUMN, Badan Usaha
Milik Negara
itu membuat aturan lelang sendiri. Pengadaan, mulai
pengumuman hingga
penetapan pemenang proyek, diproses tanpa terikat Perpres
No.54 Tahun
2010 beserta perubahannya.
Kondisi itu dijabarkan Mira Eka Putri
yang menyebut dirinya sebagai Humas
Pelindo III Cabang Benoa saat wawancara tertulis dengan
FAKTA. Salah satunya terkait transparansi proyek yang berlangsung di Pelindo
III Cabang Benoa. Antara lain Pengerukan Kolam Turning Basin dan Dermaga
Selatan Pelabuhan, serta pemborongan perkuatan Dermaga Timur dan Selatan untuk
Cruise Pelabuhan. Pengumuman lelangnya yang ditayangkan di http://eproc.pp3.co.id tidak menyebutkan
berapa besar anggarannya, siapa pemenang lelangnya dan kapan pelaksanaan
kegiatan dijalankan pemenangnya. Sarana pengadaan yang dimuat secara elektronik
itu hanya memuat besaran biaya dokumen pelelangan senilai Rp 5.000.000, nama
paket serta tahapan lelangnya mulai pembuatan paket hingga pengumuman pemenang
serta masa sanggah.
Payung hukum pelaksanaan proyek itu
dijelaskan oleh Mira, mengacu pada
Keputusan Direksi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I
No.UM.50/9/2/P.I-07 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
Salah satu pasalnya menandaskan bahwa prinsip transparan, efisien, efektif,
terbuka dan bersaing, adil/tidak diskriminatif, serta akuntabel, itu dipandang
hanya untuk pihak Pelindo III dan rekanan saja alias tidak untuk konsumsi
publik. Kendati hal itu merupakan hak publik untuk menjalankan pengawasan atau public
control.
Lantas, legalkah jual beli dokumen
lelang yang dilakukan tersebut ? Bagaimana
pertanggungjawaban biaya dokumen sebesar itu ? "Acuan
kami kepada CGC dan SISPRO Pengadaan Barang dan Jasa yang tertuang dalam produk
hukum direksi yaitu Peraturan Direksi PT
Pelabuhan Indonesia III (Persero)," jelas Mira secara tertulis dalam suratnya
yang dikirim via email kepada Hermawan dari FAKTA.
Kondisi itu setidaknya membuktikan
bahwa apa pun proses anggaran yang
digunakan Pelindo III Cabang Benoa tidak perlu diawasi oleh
rakyat. Cukup
diketahui oleh internal kantor cabang serta kantor pusat
pelabuhan selaku
pengalokasi anggaran saja. Dianggap bahwa anggaran yang didapat
itu bukan duit
rakyat, melainkan hasil usaha atau laba perusahaan
Pelindo semata. Padahal UU No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN, pasal 1 angka 1
jelas-jelas menegaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung dari
kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya bahwa secara langsung maupun tidak
langsung, BUMN tetap menggunakan dana APBN (uang rakyat) sehingga control
public patut melekat. Pun demikian terkait
kegiatan pengadaan, seperti yang telah dan tengah
berjalan hingga 2014, sepatutnya tetap terikat Perpres No.54 Tahun 2010 beserta
perubahannya.
"Pelabuhan Benoa dalam
melaksanakan investasi mengacu pada GCG dan
BUMN bersih yang tertuang dalam SISPRO pengadaan barang
dan jasa. Anggaran Pelindo bukan untuk konsumsi publik," tegas Mira. Tidak
hanya besar anggaran, pemenang proyek serta kapan proyeknya dilaksanakan, termasuk
sistem kontrak proyek yang dilaksanakan pun, Mira enggan menyebutkan secara
spesifik. Ia hanya menjelaskan secara umum bahwa terdapat beberapa kontrak proyek
yang dilaksanakan Pelindo III Cabang Benoa bersifat tahunan berjalan dan multiyears yang memang terkait dengan road map pengembangan pelabuhan, di antaranya
untuk peningkatan kapasitas dan fasilitas guna peningkatan pelayanan Pelabuhan
Benoa.
(F.915)R.26
No comments:
Post a Comment