Tuesday, September 13, 2016

OPINI

HEBOH KASUS SUMBER WARAS


PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta telah membeli sebidang tanah seluas ± 3,6 Ha dari RS Sumber Waras seharga Rp 755,69 milyar. Pembelian tanah tersebut, menurut laporan investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) berdasarkan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) merugikan negara sekitar Rp 191 milyar.
Kerugian negara itu, masih menurut laporan BPK, disebabkan karena adanya selisih nilai harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Seharusnya Rp 7 juta per m2 namun saat Pemprov DKI Jakarta membeli tanah tersebut nilainya naik menjadi Rp 20 juta per m2. Perbedaan nilai NJOP itu disebabkan adanya perbedaan letak tanah pada alamat yang berbeda.
Menurut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan pihak RS Sumber Waras bahwa tanah yang dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta itu terletak di Jl Kyai Tapak sesuai sertifikat HGB dan PBB-nya. Tetapi, menurut BPK, tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta tersebut pada kenyataannya terletak di Jl Tomang. Kedua alamat itu beda kelurahan pula. Di sinilah penyebab utama hebohnya pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta.
Menurut BPK, secara de facto (kenyataan) letak tanahnya di Jl Tomang. Sedangkan menurut Ahok, secara de jure (hukum/sertifikat) tanahnya terletak di Jl Kyai Tapak. Mengapa bisa terjadi demikian ? Dapat dimungkinkan pada saat Sumber Waras membeli tanah tersebut masih merupakan hamparan tanah yang sangat luas, bisa mencapai puluhan hektar, dan masih dalam keadaaan tanah kosong serta menghadap di Jl Kyai Tapak. Pembeliannya pun sudah puluhan tahun yang lalu yang pada saat itu semuanya beralamat di Jl Kyai Tapak.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Sumber Waras membangun rumah sakit di sebagian tanah yang dimilikinya yang menghadap ke Jl Kyai Tapak. Sedangkan tanah yang dijual kepada Pemprov DKI Jakarta seluas ± 3,6 Ha tetapi tidak menghadap ke Jl Kyai Tapak melainkan terletak di samping/di belakang tanah yang dibangun RS Sumber Waras. Tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta itu tidak ada akses/jalan yang menuju ke Jl Kyai Tapak. Padahal tanah tersebut saat dibeli menghadap ke Jl Tomang dan tanah yang dibeli tersebut sudah tertutup bangunan RS Sumber Waras yang menghadap ke Jl Kyai Tapak.
Permasalahan tersebut sebenarnya tergantung pembelinya. Bila pembelinya adalah orang pribadi atau pihak swasta dan mau membelinya dengan alamat Jl Kyai Tapak dengan nilai NJOP Rp 20 juta per m2 ya tidak ada masalah. Tetapi bila yang membelinya adalah pemerintah/negara bisa bermasalah atau dapat diduga terjadi korupsi atau manipulasi karena letak tanahnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Walaupun surat-suratnya menyebutkan terletak di Jl Kyai Tapak namun pada kenyataannya tanah itu terletak di Jl Tomang. Pertanyaannya, apakah beli surat atau beli tanah ?
Sebenarnya Ahok dan jajarannya tidaklah bodoh. SDM-nya dapat dipastikan pintar-pintar. Tetapi, mengapa sampai terjadi masalah dalam menentukan letak tanah yang dibelinya tersebut ? Hingga memicu pertanyaan lebih lanjut, ada apa di balik itu semua ?
Tanah tersebut bila tidak dijual kepada pihak lain masih tetap beralamat di Jl Kyai Tapak. Tetapi karena tanah itu dijual kepada pihak lain dan tidak ada akses ke Jl Kyai Tapak, karena sudah tertutup bangunan RS Sumber Waras, sedangkan yang ada akses menuju ke Jl Tomang, maka sudah barang tentu alamatnya akan berubah menjadi di Jl Tomang.
Kejanggalan-kejanggalan pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut sebagai berikut :
1.    Tunggakan PBB dan pembayaran BPHTB sebelum tanah tersebut dijual harus dilunasi terlebih dahulu oleh penjualnya (pihak Sumber Waras). Namun ternyata tunggakan PBB dan BPHTB-nya yang mencapai sekitar Rp 15 miliar tidak dilunasi dan tidak dibayar lebih dulu oleh penjualnya.
2.    Pembayaran pembelian tanah itu dilakukan pada saat akhir bulan Desember dan sore hari.
3.    Pembelian tanah dengan cek tunai yang tidak lazim perlu dipertanyakan dan diselidiki.
4.    Nilai NJOP tahun 2013-2014 sebesar Rp 7 juta per m2. Namun tiba-tiba tahun 2015 NJOP-nya berubah menjadi Rp 20 juta per m2. Dalam kurun waktu 1-2 tahun mengalami kenaikan ± 80% sehingga memicu kecurigaan.
5.    Pihak Ciputra yang sebelumnya telah membeli tanah Sumber Waras itu dengan member DP/uang muka puluhan miliar tiba-tiba membatalkan ikatan jual-beli tanah tersebut. Menurut informasi, itu karena katanya tanah tersebut tidak bisa dirubah peruntukannya menjadi kawasan bisnis. Biasanya dan dapat dipastikan pihak swasta bila akan membeli tanah menanyakan terlebih dahulu pada instansi yang berwenang, tidak mungkin tidak menanyakan terlebih dahulu langsung mau melakukan ikatan jual beli dengan membayar uang muka puluhan miliar rupiah lalu membatalkannya dengan resiko uang muka yang sudah dibayarkan tadi tidaik bisa dikembalikan alias merugi. Jangan-jangan pembelian oleh Ciputra itu hanya rekayasa saja untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar saat tanah tersebut dibeli Pemprov DKI Jakarta.
6.    Pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta dilakukan secara langsung, tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan dan aturan yang ada. Beli tanah dengan harga ratusan milyar rupiah tentunya tidak seperti beli ATK atau pengadaan barang dan jasa yang nilainya di bawah Rp 100 juta.
Sampai saat ini KPK masih menyelidiki kasus dugaan korupsi pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut. Bahkan, pimpinan KPK mengatakan, sejauh ini pihaknya belum menemukan adanya indikasi korupsi dalam pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut.
Kabid Pendapatan Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) Kota Surabaya, Agung Supriyo Wibowo SEAk MA, mengatakan bahwa sejak otonomi daerah untuk PBB dan BPHTB kewenangannya dari pusat dilimpahkan pada daerah dalam hal ini Bupati/Walikota/Gubernur untuk DKI Jakarta bersama-sama dengan DPRD sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009 tentang pajak retribusi daerah.
Selanjutnya oleh masing-masing daerah diperdakan untuk pelaksanaan penetapan pajak (NJOP dan BPHTB)-nya termasuk perubahan kenaikan NJOP PBB dan retribusi untuk penetapan dan kenaikan NJOP PBB-nya. Ketentuan tersebut berlaku sama di seluruh Indonesia. Jadi, bila ada yang mengatakan penetapan pajak PBB (NJOP) oleh menteri keuangan atau dirjen pajak, itu sama sekali tidak benar atau dapat dikatakan bohong. Karena menteri keuangan/dirjen pajak sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menetapkan pajak PBB (NJOP) dengan terbitnya UU No.28 Tahun 2009 tersebut. Begitu pula untuk kenaikan NJOP di DKI Jakarta yang berwenang menentukan adalah Gubernur dan DPRD Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) !
Tapi, Ahok yang bakal calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen dalam Pilkada 2017 mendatang sepertinya kebal hukum. Indikasinya, apa saja yang dilakukannya, ia selalu merasa benar, walaupun pihak lain mengatakan dia salah. Ahok selalu koar-koar dan mentang-mentang, bahkan menantang BPK segala. Sepertinya ada yang melindungi agar tidak tersentuh hukum walaupun berbuat salah atau melanggar hukum sekalipun. Wallahualam. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :
Imam Djasmani
Kepala Perwakilan Majalah FAKTA Jawa Timur

No comments:

Post a Comment