Sudarmanto
LSM
GRASI
|
KORUPSI mengakibatkan munculnya dampak negatif
dan sangat berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sangat
merugikan semua pihak di berbagai bidang. Kegagalan penegakan hukum tindak
pidana korupsi tidak hanya didasarkan atas ketidaksempurnaan undang-undang yang
dibuat, akan tetapi juga ketidaksempurnaan aparat penegak hukumnya yang
disinyalir tebang pilih dan terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena
undang-undang yang ada tidak dijalankan secara maksimal. Karena dengan
adanya budaya yang masih menjunjung tinggi budaya feodalisme, yang mana hanya melindungi
kepentingan penguasa maupun pejabat yang berduit saja.
Tuntutan
terhadap integritas dan validitas kultural, mengandung makna bahwa segenap komponen
masyarakat mengambil peran aktif dalam menumbuhkembangkan peran hukum sesuai
dengan martabat manusia. Adanya hukum positif dalam bentuk berbagai produk perundang-undangan,
baik adanya penegakan hukum tindak pidana korupsi, seiring dengan perkembangan zaman
dan dinamika masayarakat, tercatat telah lahir banyak produk perundang-undangan
berkaitan dengan penanggulangan korupsi.
Berkaitan
dengan kasus korupsi sudah beberapa kali pemerintah menerbitkan payung hukum
antara lain Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/Perpu/013/1958,
Undang-Undang No. 24/Prp/1960, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang
No. 31 tahun 1999, dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Keberadaan berbagai
pergantian pengaturan pemberantasan korupsi tersebut, menunjukkan secara jelas
bahwa persoalan penegakan hukum dalam kasus korupsi bukanlah persoalan yang
sederhana.
Kriminalisasi
dan dekriminalisasi korupsi seiring dan berpijak pada berbagai pergantian
perundang-undangan tersebut, telah menunjukkan pula dugaan kuat adanya kolusi
dan nepotisme dalam proses penemuan atau penciptaan payung hukum di Indonesia.
Terutama berkaitan dengan penegakan hukum secara konflik melalui lembaga
pengadilan, bahwa kasus korupsi berpotensi dapat menyeret para penegak hukum
yang seharusnya sebagai penegakan hukum itu sendiri. Dibekuknya sejumlah penegak
hukum antara lain polisi, jaksa, maupun hakim akhir-akhir ini dalam kasus
beraroma korupsi, merupakan fenomena yang sangat memperihatinkan bagi penegakan
hukum dan moral aparat penegak hukum di Indonesia. Sehingga diperlukan pemikiran dalam menegakkan hukum
secara berjenjang dengan memperbaiki moral aparat penegak hukum.
Karena
begitu banyak pertanyaan mengapa penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim
malah terjerumus dalam kasus yang seharusnya diberantasnya ? Alasan muncul
secara akumulutif atau simultan dan pada dasarnya berakar pada moral ahlaknya, sehingga
penegak hukum hanya berpihak pada para penguasa atau pejabat dengan menerima
uang sogokan atau tutup mulut. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penegakan
hukum atas kasus-kasus besar - korupsi dan pelanggaran HAM - adalah keterkaitan
pelaku dengan kekuasaan. Pada tingkat tertentu relasi ini bisa sama sekali
tidak berjarak. Antara yang mengusut dengan yang diusut, lahir dari rahim politik
yang sama. Sehingga pengusutan kasus-kasus besar mandeg karena dianggap mengganggu
eksistensi kelompok politik pendukung yang berkuasa.
Hal tersebut juga acap kali terjadi di wilayah hukum
Jawa Timur yang diketahui banyak kasus korupsinya namun hingga kini hanya jalan
di tempat. Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Anti Korupsi (LSM GRASI) tentunya berharap agar penegakan hukum, terutama yang bersangkutan dengan kasus korupsi di wilayah hukum Jawa Timur dapat berjalan dengan tegak dan adil tanpa pandang bulu, dengan tidak membedakan ras maupun golongan serta tidak berpihak kepada penguasa atau pemilik modal. Karena perlu kita ketahui dari 3 lembaga hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, hanya KPK yang terlihat taringnya karena mampu mengungkap kasus-kasus korupsi besar. Sehingga kami berharap jika terkait dengan kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum di Jawa Timur macet, hanya jalan di tempat, maka kasus-kasus korupsi di Jawa Timur seogyanya diambil alih oleh KPK. Karena dengan macetnya sebagian besar kasus korupsi dan pelanggaran HAM ini menjadi indikasi bobroknya institusi peradilan di Jawa Timur. Jika berkehendak, pembersihan birokrasi kejaksaan dan peradilan dari praktek kotor menjadi syarat mutlak keberhasilan penegakan hukum. (*) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment