Tuesday, April 11, 2017

DRESTA BALI

Demo Ke Dewan, Dokter Di Bali Tolak Lanjutkan Pendidikan

Ketua IDI Bali, dr Kompyang Gautama, saat menyalami pimpinan DPRD Bali.
IKATAN Dokter Indonesia (IDI) Bali melakukan aksi unjuk rasa di DPRD Bali, Senin (24/10). Ratusan dokter ini menyampaikan aspirasi menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Dokter (Dikdok). Pasal 7 dan 8 UU itu mewajibkan dokter yang sudah menyelesaikan pendidikannya diharuskan untuk melanjutkan lagi ke pendidikan DLP selama tiga tahun. Mereka mendesak UU tersebut direvisi, sebab dinilai mubazir dan mengganggu sistem pelayanan.
Setelah berorasi,  perwakilan IDI Bali diterima langsung oleh Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, Ketua Komisi I DPRD Bali, Ketut Tama Tenaya, Ketua Komisi III DPRD Bali, Nengah Tamba, dan sejumlah anggota dewan lainnya. Koordinator aksi yang juga Ketua IDI Bali, dr Kompyang Gautama, yang didampingi Koordinator IDI Kabupaten Badung menyampaikan, aksi para dokter tersebut merupakan aksi damai serempak yang dilakukan seluruh anggota IDI di tanah air.
Menurut dia, berbagai usaha telah dilakukan untuk menyadarkan pemerintah  mengenai persoalan yang dihadapi para dokter di seluruh Indonesia. Aksi kali ini juga dilakukan bertepatan dengan hari ulang tahun IDI yang ke-66. “Kami meminta agar UU Pendidikan Kedokteran dievaluasi dan kami meminta agar pasal 7 dan pasal 8 dihilangkan,” tegasnya.
Menurut dia, lahirnya UU Tentang Pendidikan Kedokteran ini dinilai akan merugikan anggaran negara karena akan terjadi pemborosan. Sebab, negara harus menyekolahkan ribuan dokter yang ada di seluruh Indonesia. UU harus segera  dievaluasi dan direvisi, karena dianggap mubazir dan akan menghabiskan banyak waktu dan menggangu pelayanan kesehatan masyarakat.
Alasan penolakannya, karena masalahnya bukan di dokter, tapi persoalan pelayanan primer adalah ada di sistem pelayanan, sistem pendidikam dan sistem rujukan. Kalau dibandingkan dengan ilmu yang lain, dalam empat tahun dia sudah bisa mendapatkan gelar sarjana (S1), kalau mereka melanjutkan sampai empat tahun dia sudah bisa menyelesaikan pendidikannya sampai S3. Sementara di fakultas kedokteran baru akan mendapat gelar dokter setelah menyelesaikan pendidikan selama 8 tahun. "Orang-orang yang ingin jadi dokter minimal harus menempuh 11-12 tahun. Siapa yang mau melanjutkan ke kedokteran ? Kalau ditambah lagi dengan pendidikan PDL tiga tahun berarti setelah 11 tahun baru selesai dan baru bisa praktek di puskesmas. Hal itulah yang menyebakan UU tersebut harus direvisi," tegasnya.
Gautama menambahkan, terkait kompetensi dokter, ia menilai kalau sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Fakultas Kedokteran UNUD sudah cukup. Pihaknya berharap dari aspirasi yang disampaikan, IDI meminta agar dewan bisa memperjuangan dan membuat rekomendasi agar UU Dikdok direvisi.
"Di FK UNUD doktor dan profesor banyak dengan akreditasi A. Apalagi yang perlu dikhawatirkan ?" katanya.
Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, mengatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan membuat rekomendasi ke pemerinrah pusat. "Kami melihat bahwa UU ini tidak membuat nyaman, akan tetapi justru meresahkan. Sehingga dengan alasan itu, kami akan segera membuat rekomendasi soal penolakan IDI agar UU ini segera direvisi,” katanya.
Ia juga menilai, pendidikan DLP yang disesuaikan dengan standar WHO itu akan sangat lama dan melelahkan. "Padahal profesi dokter kita sudah cukup optimal. Kalau mereka dituntut lagi untuk sekolah kompetensi tiga tahun, sementara di S1 mereka sudah menempuh waktu 8 tahun, maka ini akan membosankan. Hari ini kita buat rekomendasi dan kita sampaikan faktanya yang terjadi di lapangan bahwa UU itu telah membuat keresahan. Intinya, hasilnya dari awal sudah begini, kami khawatir nantinya tidak akan baik seperti apa yang kita harapkan,” kata Adi Wiryatama. (kev/kik)

No comments:

Post a Comment