Monday, December 22, 2014

ADVETORIAL RSU DR SOETOMO

RSU DR SOETOMO BUTUH TAMBAHAN RUANG PERAWATAN
“Fenomena overload pasien terjadi sejak berlakunya BPJS,” kata Direktur RSU Dr Soetomo.
BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ternyata tak selamanya menjamin semua fasilitas bagi pesertanya. Program jaminan kesehatan yang digulirkan pemerintah itu telanjur disambut sangat baik oleh rakyat, namun fasilitasnya justru tak menjaminnya.
Direktur RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo
Direktur RSU Dr Soetomo, dr Dodo Anondo, mengatakan, fenomena overload pasien terjadi sejak berlakunya BPJS. Dia menyebutkan, sebelum ada program BPJS, jumlah pasien rawat jalan sebanyak 3.000 orang per hari. Kini setelah ada BPJS, jumlahnya naik drastis sampai 5.000 pasien. Itu berarti ada penambahan 2.000 pasien.
Akibatnya, RSU Dr Soetomo penuh. Belum lagi jika dihitung interaksinya. Jika setiap pasien diantar dua orang, ada 15.000 orang berinteraksi setiap hari.
Menurut dia, banyak faktor penyebab terjadinya lonjakan pasien tersebut. Salah satunya karena RSU Dr Soetomo merupakan rumah sakit level tiga. Itu berarti RS tersebut menjadi jujukan terakhir. Semua pasien yang sudah tidak tertangani akan dirujuk ke RSU Dr Soetomo. Apalagi RSU Dr Soetomo adalah RS rujukan Indonesia timur. ”Kami ini rujukan terakhir. Kalau sudah mentok, mau ke mana lagi ?” ungkapnya.
Selain itu, sesuai dengan instruksi menteri kesehatan dan gubernur, haram hukumnya menolak pasien. ”Kalau masuk di emergency, harus diterima. Makanya, RS ini selalu penuh,” tuturnya.
Kemudian setiap pasien UGD yang tidak memiliki surat BPJS masih diberi waktu untuk mengurus dokumen tersebut. Yakni, dalam waktu 2x24 jam. Medical record pasien juga masih diuruskan.
Kepala instalasi rawat darurat, dr Urip, menambahkan, pasien umum yang tidak memiliki uang akan dipiutangkan. Itu berbeda dengan RS swasta yang tidak menerima pasien ngutang. ”Bayarnya di akhir pelayanan. Kalau swasta, harus pakai uang muka. Makanya, orang memilih ke sini,” kata Urip.
Menurut Urip, sebenarnya rumah sakit sudah memiliki senjata khusus untuk menangani perkara itu. Yakni, dengan brankar atau ranjang transfer yang memiliki roda.
Saat ini IRD memiliki 80 brankar. Jika habis, tersedia matras. RSU Dr Soetomo mempunyai 30 matras. Namun, hanya 20 yang dipakai, 10 lainnya disimpan.
Tapi, jika semua brankar dan matras sudah terpakai, RS terpaksa menggunakan brankar ambulan. Biasanya pukul 17.00, semua fasilitas tempat tidur tersebut sudah penuh.
Karena itu, Urip menyebut butuh penambahan brankar. ”Kalau habis, saya nggak mentolo lihat pasien tidur di bawah,” ujarnya.
Dia juga berharap ada penambahan ruang perawatan. Sebab, pasien yang memerlukan perawatan lebih lanjut harus ditempatkan di ruang rawat inap.
Tapi, masalahnya, kamar untuk menginap pasien kurang. Saat ini kamar rawat inap sudah memiliki 1.550 bed occupancy ratio (BOR) atau tempat tidur untuk 5.000 pasien. Jumlah BOR itu tentu tidak mencukupi. Menurut Urip, idealnya ada penambahan 1.000 BOR lagi. Pembangunan tersebut tentu membutuhkan biaya besar.
Lebih jauh dr Dodo mengatakan, RSU Dr Soetomo adalah RS milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga dananya terbatas, bergantung APBD. Dia mencontohkan, proyek gedung jantung dan liver transplant yang hingga kini belum selesai. Namun, Dodo optimis proyek pembangunan bisa terlaksana. Sementara ini, RSU Dr Soetomo memfungsikan ruang transisi baru yang dibuka pada 1 September lalu. Ruang tersebut memiliki 20 tempat tidur.
Menurut Dodo, sebenarnya RSU Dr Soetomo pernah ditinjau langsung oleh Presiden SBY dan jajaran petinggi Pemprov Jatim, termasuk Gubernur Jatim, Soekarwo. Melihat pasien yang membludak, saat itu Soekarwo meminta RSU Dr Soetomo diperluas. Perluasan tersebut bisa dilakukan di lahan belakang rumah sakit. ”Rencananya tahun depan dibangun gedung rawat inap baru biar pasien nyaman,” jelasnya.
Dodo menegaskan, saat ini RSU Dr Soetomo memiliki PR besar untuk menangani overload pasien. Yakni, penataan sistem rujukan. Artinya, sebelum pasien dimasukkan ke RS itu, semua level di bawahnya harus sudah terlewati.
Menurut Dodo, masalah overload pasien di RSU Dr Soetomo merupakan imbas masalah di hulu. Sebab, ada persoalan yang terjadi di hulu atau pada fasilitas kesehatan (faskes) dasar seperti puskesmas.
Sudah hampir sembilan bulan program kesehatan bergulir, antusiasme masyarakat pun sangat tinggi dalam menyambut program kesehatan tersebut. Sayangnya, antusiasme masyarakat itu tidak diimbangi dengan sistem rujukan BPJS yang tepat. Hati siapa pun pasti tersentuh saat melihat Siriacus Kabhi, salah seorang pasien kelas I di RSU Dr Soetomo Surabaya. Dia dirawat di emperan ruang Pandan Wangi khusus perempuan.
Wajah pria 56 tahun itu tampak pucat. Sesekali dia menahan rasa sakit yang mendera. Tetapi, tekadnya untuk sembuh lebih kuat daripada rasa sakitnya. Karena itu, pasien asal Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tersebut sabar dengan kondisi tempat perawatan rumah sakit yang ala kadarnya itu.
Siriacus sudah seminggu ditempatkan di ruangan yang sebenarnya tidak layak untuk merawat pasien. Pria tersebut mengidap penyakit gagal ginjal kronis.
Dia dirujuk oleh rumah sakit daerah di Kupang untuk mendapatkan penanganan lebih baik di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. ’’Katanya kamar penuh, jadi harus menunggu kamar kosong,’’ ujar Meriyasinta Kolit, istri Siriacus.
Antrean pasien yang begitu panjang dengan fasilitas ruang rawat inap terbatas membuat Meri harus memakluminya. Sebab, pasien yang berada di emperan hingga lorong-lorong ruangan tidak hanya Siriacus. Saat itu ada tiga pasien lain yang juga dirawat di lorong tersebut. Di sepanjang lorong bagian dalam IRNA pun, terlihat lebih dari delapan pasien ditempatkan di atas brankar yang dibawa dari ruang IRD.
Meski begitu, Meri tetap memilih suaminya ditempatkan sementara di lorong. ’’Yang terpenting, suami saya ditangani dokter,’’ katanya.
Hal senada diungkapkan Ana Virana. Pasien ca mammae (kanker payudara) kelas II tersebut juga pernah menjalani rawat inap di lorong. Padahal, kondisi penyakitnya cukup parah. ’’Waktu itu ruang inap kelas II penuh. Saya harus menunggu sampai dua hari, baru dapat kamar,’’ ujar Ana sambil berbaring lemas di atas kasur.
Ana menambahkan, setelah ada pasien yang check out, pasien di lorong dipindahkan ke kamar. Menurut dia, pasien yang datang ke RSU Dr Soetomo memang harus bersabar. Bahkan, pasien rujukan dari poliklinik maupun IRD harus menerima untuk digabungkan dengan pasien lain. ’’Harus terima kalau digabungkan dengan pasien beda kelas maupun beda penyakit,’’ ucapnya.
Kondisi tersebut hampir terjadi di setiap instalasi rawat inap (IRNA). Termasuk, di IRNA bedah, Cempaka. IRNA tersebut diperuntukkan pasien yang baru menjalani operasi atau pembedahan. Bahkan, antrean di IRNA itu lebih parah daripada di IRNA medik.
Tabri, salah seorang pasien IRNA Cempaka mengatakan sudah antre kamar selama dua bulan. Penantian panjang tersebut membuat kondisi kanker mulut yang diderita pria 77 tahun itu semakin parah. Benjolan di mulut Tabri yang dulu kecil kini terus membesar. ’’Kami diminta menunggu. Soalnya, kamar operasi penuh,’’ kata Ratih, cucu perempuan Tabri.
Karena belum ada kamar operasi yang kosong, Tabri pun menjalani rawat jalan sementara waktu di rumahnya. Karena benjolan di mulutnya semakin besar, dia pun memakai masker untuk menutupinya. Tabri harus menjalani operasi pengangkatan kanker agar tidak menjalar ke bagian lain.
Kepala Ruang Irna Bedah Cempaka, Ani, membenarkan bahwa penantian kamar kosong di irna bedah jauh lebih panjang daripada di irna medik. ”Waktu ngamar disesuaikan dengan kamar operasi dan ruangan,” ungkap Ani. Jadi, jika kamar irna bedah penuh, pasien harus menunggu di rumah. Itu dilakukan agar pasien tidak membayar biaya kamar tanpa operasi. Dengan begitu, beban pasien tidak besar dan membantu pasien lain yang memang sudah saatnya ngamar untuk dirawat di rumah sakit. Yang antre adalah pasien yang akan menjalani operasi elektif. Artinya, operasi nonemergency dan bisa direncanakan.
Sistem rujukan berjenjang yang diusung BPJS itu dirancang, salah satunya, untuk menghindari overload di faskes tersier (RSU Dr Soetomo dan RSAL dr Ramlan).
Kenyataannya, RSU Dr Soetomo sebagai rumah sakit daerah tipe A masih kebanjiran pasien. Hal tersebut disebabkan faskes primer yang menjalankan pengobatan 144 jenis penyakit masih terkendala obat-obatan serta peralatan penunjang pemeriksaan.
Puskesmas Tenggilis, misalnya. Hingga bulan kesembilan program BPJS berjalan, puskesmas tersebut masih terkendala kurangnya obat-obatan. Misalnya, obat jantung dan tetanus. ”Obat masih kurang. Di puskesmas kami belum ada serum antitetanus,” ungkap Kepala Puskesmas Tenggilis, dr Dessy J Setia.
Padahal, dua penyakit itu harus ditangani di fasilitas kesehatan dasar. Akibat keterbatasan dan kekurangan tersebut, pasien akhirnya dirujuk ke RS tipe C dan B atau faskes sekunder.
Begitu juga penyakit rabun jauh atau miopi yang belum bisa ditangani secara maksimal di Puskesmas Tenggilis. Peralatan yang sudah terlampau tua mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak akurat. Pasien pun dirujuk ke rumah sakit sekunder atau yang memiliki peralatan lengkap.
Dessy mengakui, kendala tersebut memang sering terjadi di hampir seluruh puskesmas. Keterbatasan fasilitas kesehatan dan obat-obatan itu membuat pelayanan di tingkat puskesmas terkendala. ”Kami diminta melayani, tapi obat kurang. Saya juga tidak tahu siapa yang akan melengkapi kekurangan itu ?” jelasnya.
Terkait dengan sistem rujukan BPJS, Dessy menuturkan bahwa faskes dasar bisa memberikan rujukan pasien langsung ke RS tipe A. Itu berlaku untuk jenis penyakit tertentu. Di antaranya hemofilia, kanker, cuci darah, serta penyakit yang diobati dengan kemoterapi dan radioterapi. ”Kalau jenis penyakit ganas, pasien langsung kami rujuk ke rumah sakit tersier,” paparnya.
Alasannya, faskes tipe A memiliki peralatan lengkap dan mumpuni untuk menangani pasien dengan penyakit ganas. Menurut Dessy, persoalan tersebut hingga kini terus disosialisasikan dan dicari jalan keluarnya. Sebab, nanti seluruh warga Indonesia harus sudah memakai BPJS. Dengan begitu, layanan di segala jenjang pun perlu dioptimalkan.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo alias Pakde Karwo, mengatakan, BPJS memang perlu dievaluasi. Menurut dia, masalah BPJS saat ini adalah terbatasnya kantor yang melayani program tersebut. Kontrol yang dilakukan hingga kini masih kurang. Seharusnya kantor BPJS tidak hanya satu, tetapi ada di banyak tempat. Termasuk, ada di setiap rumah sakit. ’’Harus ada banyak loket yang berhubungan dengan BPJS. Itu problemnya. Pelayanannya terbatas, padahal orang sakit ada di rumah sakit,’’ ungkap Soekarwo.
Dia menambahkan, BPJS masih menggunakan manajemen perkantoran kuno. Dia juga sudah menyampaikan masalah tersebut kepada Komisi IX DPR. Apalagi saat ini akan ada Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola BPJS. ’’KIS itu kartu kuratif, kartunya orang sakit,’’ tuturnya.
Menurut Soekarwo, politik kesehatan sejak reformasi sudah salah dalam memberikan solusi. Seharusnya, bukan memberikan solusi untuk orang sakit, tetapi memberikan solusi kepada orang sehat agar jangan sakit. Yang terjadi saat ini adalah memberikan fasilitas puskesmas dengan dipan yang banyak sehingga menimbulkan kesan orang sakit juga banyak. ’’Seharusnya pencegahan mulai dari bawah yang diperhatikan,’’ tandasnya. (F.835) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment