Wednesday, November 5, 2014

SOLO RAYA : RISET INKLUSI SOSIAL PNPM PEDULI

"Memenuhi Hak Korban Atas Pemulihan Melalui Pembangunan Inklusif"
Winarso, Ketua Umum Ormas SekBer '65
PADA tahun 2007 pemerintah Indonesia meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM telah menjangkau setiap kecamatan di Indonesia dan ini merupakan pembangunan berbasis masyarakat terbesar. Namun, dari hasil studi pada tahun 2010, ditemukan kelompok-kelompok terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan PNPM. Mereka itu adalah kelompok masyarakat yang karena hambatan fisik dan budaya seperti difabel, kelas etnis, agama dan norma-norma gender yang disandangnya telah dikecualikan kesetaraannya sebagai anggota masyarakat. Untuk mengatasi ini, pemerintah menginisiasi hadirnya PNPM Peduli yang mendorong pembangunan inklusif yang memberi ruang yang setara pada seluruh elemen masyarakat.
Inklusi sosial mensyaratkan pendekatan dua arah yaitu pendekatan penguatan pada yang terpinggirkan dan pendekatan perubahan perilaku pada masyarakat maupun pemerintah untuk mewujudkan penerimaaan dan toleransi. Di satu sisi membangun kapasitas kelompok yang dieksklusikan agar prasangka buruk terhadap mereka dapat diminimalisir. Di sisi yang lain, membangun penerimaan masyarakat terhadap kaum yang terpinggirkan.
Dalam pelaksanannya, PNPM Peduli berkerja sama dengan organisasi masyarakat di bawah pengawasan Kemenko Kesra. Di Kota Solo, PNPM Peduli akan bekerja sama dengan Sekretariat Bersama '65 (SekBer'65).
Ada beberapa kelompok masyarakat sasaran PNPM Peduli Tahap II ini di antaranya adalah korban pelanggaran HAM berat. Bahwa komunitas korban pelanggaran HAM masih terus merasakan berbagai bentuk peminggiran (eksklusi) baik secara sosial, politik, budaya dan ekonomi. Peminggiran yang masih terjadi tersebut menjadikan korban semakin jauh dari pemenuhan terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara.
Ibu Tatik dari IKA
Peristiwa pelanggaran HAM tersebut juga menyebabkan korban tidak memiliki titik pijak yang sama sebagai warga negara. Luka fisik dan psikologi, hilangnya aset produksi, putus/renggangnya modal sosial adalah sebagian dari banyak dampak kekerasan di masa lalu. Pijakan yang tidak sama tersebut berdampak pada semakin dibutuhkannya berbagai bentuk dukungan agar kehidupannya menjadi lebih baik, lebih utuh. Sayangnya, dukungan-dukungan tersebut tidak sepenuhnya mudah atau terjangkau untuk diakses.
Bersamaan dengan peminggiran tersebut, stigma pemberontak, perempuan bekas tentara, PKI, pembunuh, penjarah telah menjadi kosa kata yang dilekatkan pada mereka dan keluarga maupun keturunannya. Frasa dengan konotasi negatif yang tidak jarang membuat masyarakat umum mempercayainya dan menghayatinya sebagai suatu kebenaran.
Lalu, pertanyaan yang muncul, bagaimana caranya agar mereka dapat lebih mengakses dukungan-dukungan tersebut sementara stigma masih melekat kuat di masyarakat ? Bagaimana agar pemerintah dapat lebih terbuka dalam memberikan hak-hak warga negaranya - termasuk di dalamnya hak-hak mereka sebagai korban pelanggaran HAM ? Bagaimana kelompok masyarakat sipil (termasuk di dalamnya kelompok korban) dapat melakukan usaha-usaha transformatif agar korban dapat menikmati hak-haknya ?
Untuk menjawab banyak pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian aksi ini untuk mengenal bentuk peminggiran dan mekanisme yang membuatnya lestari hingga kini (siapa saja aktor-aktor yang berperan, alat apa yang digunakan) serta aset/sumber-sumber daya yang dapat digunakan untuk menjalin dialog dan kerja sama, pandangan dari korban, pelaku peminggiran, penyedia layanan, dan kelompok masyarakat sipil akan menjadi sumber-sumber utama.
Di bawah pengawasan Kemenko Kesra, pada tanggal 18 September 2014, hari Kamis, tepatnya jam 09.30, bertempat di Meeting Room Toko Roti Ganep lantai II R Sutan Syahrir 176 Tambak Segaran, Solo, SekBer '65 melakukan riset inklusi sosial PNPM Peduli dengan tujuan untuk mengenal bentuk peminggiran dan mekanisme yang membuatnya lestari hingga kini (siapa saja aktor-aktor yang berperan, alat apa yang digunakan) serta aset/sumber-sumber daya yang dapat digunakan untuk menjalin dialog dan kerja sama, pandangan dari korban, pelaku peminggiran, penyedia layanan, dan kelompok masyarakat sipil akan menjadi sumber-sumber utama.
Terkait dengan riset inklusi sosial tersebut dengan penyelenggaraannya berbentuk Forum Diskusi Group (FDG) dihadiri oleh Ibu Tatik dari IKA, Aktivis Perjuangan Perempuan dan Anak, Aktivis Mahasiswa Solo Raya, Perwakilan Koperasi dari Pemerintah Daerah, Perwakilan Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah serta Tokoh-tokoh Seni dan Budaya, dan Tokoh Masyarakat di lingkungan korban itu sendiri.
Dalam acara tersebut, semua yang hadir memberikan keterangan yang pada dasarnya sama tentang rekonsiliasi dan pelurusan sejarah tragedi 65 untuk persatuan dan kesatuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sedangkan Winarso sebagai Ketua Umum Ormas SekBer '65 mengajak seluruh elemen yang ada untuk bergabung memperjuangkan hak-hak korban yang terkena pelanggaran berat HAM berdasarkan kebenaran sejarah yang ada untuk Indonesia yang lebih baik. (F.894) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment