KASUS SUMBER WARAS,
PIMPINAN KPK TAKUT
KEPADA AHOK ATAU JOKOWI ?
PIMPINAN Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah melenceng, tidak
independen. Kelihatan ada tekanan dari pihak tertentu pada pimpinan KPK agar tidak melanjutkan kasus dugaan korupsi pembelian tanah Sumber Waras
oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ketua KPK dalam jumpa pers menjelaskan bahwa dalam pembelian tanah Sumber Waras
oleh Gubernur DKI Jakarta belum ditemukan
bukti yang melanggar hukum. Itulah akibat dari 5 komisioner KPK yang tidak
memiliki latar belakang hukum sehingga
kurang atau tidak
memahami permasalahan hukum. Lebih-lebih Ketua KPK berlatar
belakang dari mantan pejabat birokrasi, patut dicurigai
akan mudah
dikendalikan oleh penguasa di negeri ini.
Pembelian tanah Sumber Waras
bagaimana tidak melanggar hukum. Menurut Prof DR
Ramli, ahli hukum pidana,
dalam tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One
bahwa pengadaan/pembelian tanah Sumber
Waras oleh Ahok benar-benar ada penyimpangan
dan melanggar hukum. Jelas-jelas ada kerugian negara ± Rp 191
milyar dan melanggar Perpres No.71 Tahun
2012. Sedangkan Perpres No.40 Tahun
2014 merupakan amandemen Perpres No.71 Tahun 2012
yang dirubah hanya 1 (satu) pasal saja yaitu yang luas tanahnya
5 (lima) Ha ke bawah maka pembeliannya
bisa langsung ditangani oleh daerah tanpa melalui persetujuan
Mendagri/Presiden. Namun semua prosedur yang tercantum dalam Perpres
No.71 tahun 2012 tetap harus dilalui. Faktanya,
dalam pembelian tanah Sumber Waras tersebut semua prosedur diabaikan, melainkan hanya dengan kwitansi dan melalui notaris saja. Secara
diam-diam atau tersembunyi melengkapi persyaratan pengadaan
tanah tersebut setelah dilakukan transaksi jual beli berarti fiktif.
Menurut Prof DR Ramli, Ahok sebagai Gubernur
DKI Jakarta sudah jelas-jelas melanggar hukum melakukan
penyimpangan UU, bagaimana bisa Ketua
KPK menyatakan bahwa pembelian tanah Sumber
Waras oleh Gubernur DKI Jakarta itu tidak
melanggar hukum. Dikatakannya, belum ditemukan
bukti melanggar hukumnya. Apakah Ketua KPK tidak paham/tidak mengerti hukum ?
Pimpinan KPK apabila tidak melaksanakan yang telah
ditetapkan oleh BPK maka dapat dikenakan sanksi
pidana. Supriyanto, mantan Wagub DKI Jakarta, dan
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon,
menjelaskan secara gamblang dan terang-benderang bahwa pembelian
tanah Sumber Waras jelas
ada penyimpangan dan melanggar hukum. Jelas-jelas
negara dirugikan ± Rp 191 milyar berdasarkan hasil audit investigasi lembaga tinggi negara yang berwenang, BPK. Selama ini pun KPK dalam menangani
kasus korupsi selalu mengacu pada hasil audit
investigasi BPK. Tetapi untuk kasus Sumber
Waras, BPK tidak
dipercaya oleh KPK.
Prof DR Ramli menjelaskan hasil audit investigasi BPK
tidak bisa disandingkan atau dimintakan pendapat para ahli untuk diperdebatkan. BPK
melaksanakan tugasnya atas dasar UU dan BPK sebagai lembaga
tinggi negara berlandaskan amanat UUD 1945 merupakan auditor negara.
Benar atau salahnya hasil audit BPK biarlah
pengadilan yang menentukan. KPK bukan lembaga yudisial/pengadilan.
Pimpinan KPK berani-beraninya pasang
badan dalam permasalahan pembelian tanah Sumber
Waras. Apakah takut kepada
Ahok atau pada Jokowi ? Karena yang menandatangani NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) tanah Sumber Waras yang dibeli Ahok itu adalah Jokowi saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Prof DR Ramli menjelaskan bahwa yang
menandatangani NJOP tanah Sumber Waras itu adalah
Joko Widodo. Tanah Sumber Waras yang dibeli
Ahok di Jalan Kyai Tapa itu tahun 2012/2013 nilai NJOP-nya
sebesar Rp 7,5 juta kemudian naik
menjadi Rp 12 juta setiap
meter persegi. Tetapi pada tahun 2014 dinaikkan menjadi Rp 20
juta per meter persegi. Ini sungguh mengejutkan,
dalam kurun waktu 1- 2 tahun nilai NJOP-nya naik
100% lebih. Yang menjadi pertanyaaan, mengapa yang
menandatangani NJOP Joko Widodo ? Mungkin pada
waktu itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi seharusnya
yang menandatangani kenaikan NJOP itu cukup Kepala Dinas Pendapatan Pajak DKI Jakarta. Ada apa di balik itu ?
Ahok selama ini gembar-gembor mengatakan bahwa yang
menandatangani NJOP zona kawasan itu adalah Menteri Keuangan
atau Dirjen Pajak.
Ternyata pembohongan publik. Kelihatannya semua
itu sejak awal sudah diatur secara rapi dan cepat untuk mendapatkan sesuatu.
Mengapa yang menandatangani NJOP-nya adalah Joko Widodo ? Mungkin
pada saat itu Jokowi jadi capres dan
dipastikan terpilih jadi presiden, sehingga siapa yang akan berani
mempermasalahkan presiden nantinya ? Ya begitulah bila gubernur tidak mengerti dan tidak memahami
peraturan perundang-undangan asalkan pokoke tabrak saja aturan yang ada,
tidak peduli. Yang terpenting ada yang memback up dan kebal hukum.
Oleh :
Imam Djasmani
Pengamat
No comments:
Post a Comment