PRESIDEN JOKOWI TEGUR
KAPOLDA DAN KAJATI SEINDONESIA
Kebijakan atau
diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan.
“Kebijakan atau diskresi yang diambil kepala
daerah jangan sampai dipidanakan”.
|
MASIH maraknya upaya kriminalisasi terhadap kepala
daerah, tampaknya membuat Presiden Joko Widodo sebal. Selasa (19/7), Presiden
Jokowi mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia di Istana Negara,
Jakarta. Presiden kembali meminta aparat penegak hukum untuk tidak
mengkriminalisasi kepala daerah atas kebijakan yang diambil.
Saat
berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. "Kita sudah
pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun
amnesti pajak,” ucapnya.
Menurut
presiden, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah
dikeluarkan oleh pemerintah. "Namun, kalau tidak ada support dari jajaran
di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan,” lanjut
Jokowi dengan nada kecewa.
Jokowi
menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu dia minta kepada kapolda
dan kajati. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah
daerah. Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan
sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan
administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan, mana yang niat nyuri, mana yang
niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar presiden yang mantan
pengusaha mebel itu.
Menurut Ketua KPK, Agus Raharjo, diskresi itu
tidak boleh
dilakukan kalau peraturannya ada.
|
Ketiga,
terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari
untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus
konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum
sampai ke ranah penuntutan di pengadilan. Sebab, belum tentu tersangka itu bersalah.
Selama
setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, walikota,
maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan
jajarannya. "Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media,”
ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.
Seskab
Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya presiden hanya tidak ingin ada upaya
kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan.
Dalam hal ini kepala daerah dan jajarannya. "Tapi kalau benar-benar salah
ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan,” ujar Pramono usai pertemuan.
Temuan
BPK, misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan
memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik,
sehingga seolah-olah sudah bersalah. "Kalau memang kriminalisasi terus
dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri
mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres),” lanjut mantan Sekjen PDIP
itu.
Saat
ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah
yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Kondisi tersebut dinilai sangat
merugikan karena uangnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang
mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana
menganggur yang begitu besar di daerah.
Arief Poyuono.
|
"Karena
apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu," ucapnya.
Karenanya, presiden justru meminta kapolda dan kajati untuk ikut mendorong agar
dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.
Dia
mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur.
Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana itu
berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil
tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.
Pramono
menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para
kapolda dan kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’
tambahnya.
Mendagri,
Tjahjo Kumolo, mengakui, salah satu hal yang dibahas presiden dengan para
penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi
waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. "Ya seharusnya penegak hukum
jangan masuk dulu,” ucapnya.
Bagaimanapun,
tutur Tjahjo, setiap terobosan memerlukan diskresi. Memang, sebagian diskresi
sudah mendapatkan payung hukum. Namun, sebagiannya lagi belum. Yang belum
mendapat payung hukum itulah yang seharusnya tidak buru-buru dipidanakan atau
diperdatakan.
Apabila
dana Rp 246 triliun itu bisa digunakan, tentu pembangunan akan lebih lancar.
Pihaknya juga sudah memberikan arahan kepada kepala daerah agar tidak ragu
dalam mengambil kebijakan. Tidak perlu takut kalau memang tidak menggondol
anggaran. "Kecuali tertangkap tangan, apa boleh buat,” tambahnya.
Kapolri,
Jenderal Tito Karnavian, tidak banyak berkomentar mengenai pertemuan dengan presiden
tersebut. Dia mengakui ada beberapa arahan dari presiden, namun tidak
menjelaskan lebih jauh. "Kami berikan pengarahan lagi kepada anggota
sambil dilakukan pengawasan,” ujarnya singkat.
Informasi
yang diperoleh, Jokowi memang cukup geram. Saat tidak ada awak media, dibeberkan
adanya sejumlah kepala daerah yang menjadi ATM bagi penegak hukum.
Memang,
tahun lalu Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan para Gubernur,
Kapolda, dan Kajati se-Indonesia di Istana Bogor, Jawa Barat. Pertemuan
tersebut membahas sejumlah hal, di antaranya masalah kelesuan ekonomi yang
disebabkan faktor ekonomi global.
Dalam
arahannya, Jokowi menyampaikan langkah jangka pendek untuk menggairahkan ekonomi
yang sedang lesu, yakni dengan belanja pemerintah. Langkah ini di samping akan
menaikkan daya beli masyarakat, juga bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi
nasional.
Secara
khusus presiden menyoroti belanja APBN yang baru tercapai 50 persen dan belanja
modal yang baru terealisasi 20 persen. Bahkan dana daerah yang masih mengendap
di bank waktu itu masih sangat besar, sekitar Rp 273 triliun.
Jokowi
menyadari rendahnya penyerapan anggaran itu antara lain disebabkan masih
banyaknya pejabat yang takut terhadap aparat hukum. Mereka takut
dikriminalisasi ketika menjalankan proyek pembangunan. Ditambah masih adanya
kinerja birokrasi yang lamban.
"Saya
minta kepada semua aparat hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan. Harus
ada diskresi untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan. Masalah perdata
diselesaikan secara perdata, jangan dikriminalkan," imbau Presiden Jokowi
melalui Tim Komunikasi Presiden di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Menurut
Jokowi, permintaan itu semata-mata demi kelancaran program pembangunan pemerintah.
Bukan karena tidak mendukung program antikorupsi. Pejabat atau aparat
pemerintah yang hendak melakukan terobosan atau mempercepat pelaksanaan
pembangunan tidak boleh dibuat takut.
"Silahkan
pidanakan sekeras-kerasnya kalau terbukti mencuri atau menerima suap,"
lanjut Jokowi waktu itu.
Instruksi
Presiden Jokowi yang kembali meminta kebijakan diskresi dan tindakan administrasi
pemerintahan jangan dipidanakan tersebut kontan mendapat tanggapan keras dari
sebagian kalangan. Di antaranya dari Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra,
Arief Poyuono, yang mengatakan bahwa instruksi Presiden Jokowi tersebut sangat
bertentangan dengan konstitusi negara di mana Indonesia secara jelas merupakan
negara yang menjunjung tinggi dan memiliki landasan hukum.
"Sungguh
jelas bahwa Joko Widodo tidak paham tentang tata negara dan UUD 1945 terkait
penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Sebab jika memang kebijakan
kepala daerah ada yang berdampak dan berpotensi merugikan negara maka sudah
selayaknya diperkarakan oleh penegak hukum atas nama negara dan apalagi sampai
uang negara mengalir ke pihak yang menikmati kebijakan kepala daerah
tersebut," katanya di Jakarta, Kamis (21/7/2016).
Arief
menegaskan instruksi Presiden Jokowi yang meminta pihak kejaksaan dan
kepolisian untuk tidak memperkarakan kebijakan kepala daerah itu sama saja
dengan pembiaran untuk menyuburkan korupsi di tiap-tiap daerah.
"Terkait
pernyataan Joko Widodo yang memerintahkan jaksa agung dan kapolri untuk tidak
memperkarakan kebijakan kepala daerah itu adalah sebuah pembodohan yang
dilakukan oleh Jokowi terhadap masyarakat. Sebab siapa yang bisa tahu kalau
kepala daerah secara sengaja atau tidak sengaja membuat kebijakan administrasi
yang salah," pungkasnya.
Sedangkan
Ketua KPK, Agus Rahardjo, yang ikut hadir dalam pertemuan Presiden Jokowi
dengan para Kapolda dan Kajati se-Indonesia tersebut, mengatakan bahwa diskresi
bisa diberikan dalam dua keadaan. Pertama karena peraturannya tidak ada dan
kedua dalam kondisi terpaksa atau overmacht.
"Diskresi
itu kan tidak boleh dilakukan kalau peraturannya ada," kata Agus di
kantornya, Jakarta, Senin (25/7/2016).
Agus
kemudian mencontohkan mengenai APBN-P yang kerap diturunkan pada bulan Oktober.
Menurut Agus, dana tersebut tidak bisa langsung digunakan jika belum ada peraturan
yang mengaturnya.
"Kan
orang sering tertangkap karena APBN-P di bulan Oktober. Itu kemudian harus ada
aturan kalau APBN-P turun seperti itu, kita beri sistem seperti apa agar mereka
tidak nabrak-nabrak," ungkap Agus. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment