PPK DISBUN PROVINSI SULSEL DIJEMPUT PAKSA DI RS IBNU SINA
SATUAN Tugas Khusus Pidana
Khusus Kejati Sulsel menjemput paksa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan
bibit sambung pucuk kakao Dinas Perkenunan Provinsi Sulsel, Sassi Manopo. Penjemputan
paksa itu dilakukan karena Sassi Manopo mangkir dari pemeriksaan pasca
ditetapkan sebagai tersangka. Penjemputan paksa dilakukan satgatsus yang dipimpin
oleh Kasidik Pidana Khusus Kejati Sulsel, Siti Nurhidayah.
Sassi
Manopo yang saat itu berada di ruang perawatan Aisyiah No.2 RS Ibnu Sina harus
dikeluarkan paksa pada pukul 14.28 Wita dan langsung dibawa ke Kejati Sulsel
sebelum dijebloskan ke Lapas Klas 1 Gunungsari Makassar.
Kasi
Penkum Kejati Sulsel, Salahuddin, mengatakan, alasan kemanusiaan diabaikan
karena tersangka mencoba menghindar dari upaya hukum yang dilakukan penyidik
dengan cara berpura-pura sakit dan dirawat di rumah sakit untuk mengelabuhi
penyidik dan memperlambat proses hukum yang disangkakan.
Upaya
tersangka itu, kata Salahuddin, tidak dibenarkan sebab menghambat penanganan
dan percepatan perkara. Langkah yang dilakukan penyidik lantas mempertegas
tindakan dengan memanggil dokter pembanding bernama Enrico Marentek yang
memeriksa tersangka sebelum dilakukan penjemputan paksa.
Hasil
pemeriksaan dokter pembanding menyebutkan, kesehatan tersangka baik-baik saja,
denyut jantung stabil, tensi darah normal dan tersangka tidak sedang mengidap
penyakit tertentu. “Kami pelajari rekam medis tersangka, lalu kami bandingkan
dengan diagnose dokter pembanding. Ternyata tersangka sehat,” beber Salahuddin
yang diiyakan oleh dr Enrico Marentek bahwa ini hanya akal-akalan sehingga
Kejati Sulsel mengambil sikap tegas.
Setelah
dijemput dan dikeluarkan secara paksa dari RS Ibnu Sina, Sassi Manopo tak bisa
berkutik apalagi mengelak, sehingga tersangka digelandang ke Kejati Sulsel
untuk diperiksa atas statusnya sebagai tersangka. Pemeriksaan yang berlangsung
sekitar 4 jam ini selanjutnya memutuskan penahanan tersangka di Lapas Kelas 1
Gunungsari Makassar.
Salahuddin
menjelaskan, alasan penahanan itu mengacu pada aturan hukum formil KUHAP UU
No.8/1991 Pasal 21 tentang pertimbangan subyektif. Selain dikhawatirkan
mengulangi perbuatannya, tersangka juga dianggap berpotensi menghilangkan
barang bukti dan atau melarikan diri.
Sedangkan
keluarga pasien lainnya merasa kaget dan heran atas kedatangan tim penyidik kejaksaan
yang menjemput paksa Sassi Manopo. Ternyata ada pejabat pemerintah dari Dinas
Perkebunan Provinsi Sulsel di dalam kamar rumah sakit yang dijemput paksa
kejaksaan karena korupsi. Menurut salah satu tetangga kamar inap Sassi Manopo, Ibu
Nur, bahwa sebelum dijemput paksa kejaksaan setiap malam banyak pembesuk yang datang
kepada Sassi Manopo membawa map dan berkas-berkas lainnya untuk ditandatanganinya.
Sementara
untuk pertimbangan obyektif dilakukannya penahanan, lanjut Salahuddin, sebab ancaman
pidana yang disangkakan kepada tersangka, yakni pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU
RI No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan UU RI No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No.31/1999
tentang Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dan pasal 3 jo pasal 18 UU RI No.31/1999
tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU
RI No.20/2001 tentang Tipikor jo pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Ancaman
hukuman di kedua pasal itu minimal 1 tahun penjara dan maksimal 20 tahun,
melebihi batas minimal dilakukannya penahanan yaitu lebih dari 5 tahun penjara.
Untuk kelancaran perkara, kami melakukan penahanan, apalagi berdasarkan syarat
obyektif dan subyektif hal itu dimungkinkan dilakukan”.
Salahuddin
menguraikan, peran tersangka dalam pengadaan biji benih bibit sambung pucuk kakao
Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel yakni selaku Ketua Tim Harga Perkiraan Sendiri
(HPS). Dia diduga melakukan perbuatan mark
up atau menaikkan harga berkali-kali lipat dari harga dasar. Harga yang
dinaikkan itu dapat lolos karena ia juga selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Apa
yang dilakukan kejati tidak berperikemanusiaan karena melakukan penjemputan di
rumah sakit,” bela penasehat hukum tersangka, T Tandi Rapang, yang hadir
mewakili kliennya.
Tandi
mengatakan, pihaknya akan melayangkan surat penangguhan penahanan kliennya. “Kalau
posisi kasusnya, saya baru akan mempelajari, nanti kita susun dulu konstruksi
pembelaannya”.
Hal
yang sama juga dikatakan Yuspina, istri tersangka yang ikut mendampingi penjemputan
dan penahanan tersangka. “Suami saya memang sakit hipertensi, jadi seharusnya
tidak diperlakukan begini. Apalagi selama ini dia kooperatif kalau dipanggil”.
Dalam
pengusutan dugaan korupsi dana pengadaan bibit sambung pucuk kakao Dinas
Perkebunan Provinsi Sulsel Tahun Anggaran 2015 – 2016 ini, tim penyidik telah
menemukan sejumlah perbuatan melawan hukum. Di antaranya, perbuatan mark up
atau menaikkan harga bibit berkali-kali lipat dari harga resmi yang dikeluarkan
pemerintah serta harga pasar yang berlaku di daerah setempat.
Pejabat
yang berwenang, PPK dan KPA atau Kepala Dinas Perkebunan Pemprov Sulsel,
dinilai abai dan tidak obyektif dalam menentukan harga yang hanya didasari oleh
survei di satu titik lokasi saja, serta tidak memiliki harga pembanding.
Akibatnya, terdapat selisih harga yang jumlahnya diestimasi mencapai angka di
atas Rp 2 – Rp 5 milyar. Angka itu merupakan jumlah kerugian negara berdasarkan
perhitungan penyidik.
Adapun
jumlah anggaran pengadaan ini sebesar Rp 18 milyar berasal dari APBN untuk
diadakan di 5 kabupaten, yakni Kabupaten Bone, Soppeng, Luwu, Bantaeng serta
Luwu Utara dengan jumlah total 2.050.000 bibit. Sedangkan harga bibit yang
diadakan Rp 8.500,- per bibit (harga sudah termasuk dengan 15% nilai keuntungan
rekanan yang sah berdasarkan UU plus
biaya angkut sebesar Rp 1.500). Harga ini jauh lebih besar dari harga bibit
yang sebenarnya Rp 6.250 – Rp 6.500, sementara harga angkut yang sebenarnya Rp
600 – Rp 900. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks
No comments:
Post a Comment