Friday, January 2, 2015

DRESTA BALI : Denpasar Butuh Figur Seorang Ibu

Putu Meding Edie Gunarta
KOMPLEKSITAS permasalahan yang terjadi dan dialami Kota Denpasar, tidak jauh beda dengan kota-kota metropolitan lain pada umumnya. Sebagai kota tujuan wisata dan menjadi ibu kota Provinsi Bali, Kota Denpasar yang juga sebagai salah satu urat nadi pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak luput dari masalah kemacetan lalulintas, sampah, banjir dan lonjakan jumlah penduduk akibat urbanisasi.
Konsisi itu, menurut Putu Meding Edie Gunarta, advokat yang ditokohkan masyarakat sekaligus sebagai pengamat sosial, bahwa problematika yang terjadi dan dialami Kota Denpasar patut ditangani serius. Patut mendapat penanganan yang cerdas dan cepat sehingga kompleksitas permasalahan tidak malah menjadi ikon baru yang mengiringi perkembangan Kota Denpasar ke depan.
“Permasalahan perkotaan ini harus segara ditangani dengan bijak. Penanganan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan personil, melainkan penanganan cerdas yang mengedepankan edukasi kepada masyarakat,” ujar pria familiar yang dipanggil Edi ini kepada FAKTA.
Penanganan dan penanggulangan permasalahan itu, lebih lanjut dijabarkan pria yang juga sebagai Pengurus Saba Desa Pakraman Sesetan dan Ketua Bali Segara Foundation itu, juga tidak hanya cukup dengan menegakkan aturan atau perda melainkan harus disertai solusi. “Satu contoh pada warung liar, itu muncul sebagai akibat dari kurang tersedianya lahan bagi mereka untuk berjualan. Jika mereka ditertibkan, seharusnya diimbangi dengan disediakannya ruang untuk mereka beraktivitas. Pun demikian dengan parkir liar, ditindak namun patut ada tempat parkir yang memadai,” imbuhnya.
Hal lainnya dalam melakukan penertiban penduduk di antaranya pendatang, menurutnya, tidak cukup hanya dengan sanksi bagi pelanggar. Penertiban sepatutnya dimulai dengan menerapkan seleksi penduduk antara produktif dan pengangguran. Kemudian penyediaan sarana pertunjukan budaya untuk mengakomodir masing-masing budaya masyarakat Kota Denpasar yang heterogen, penyediaan taman, serta penyediaan sarana atau ruang bagi para pemuda untuk mengekspresikan potensinya. Sehingga tidak ada lagi istilah saling curiga dan agresifitas antar-individu atau kelompok masyarakat, tidak timbul masalah gegar budaya. Bahkan personal space akan tetap terbuka.
“Semua itu sepatutnya menjadi bahan pemikiran dan kemudian direalisasikan pemerintah. Jangan hanya mengedepankan aspek ekonomi semata namun mengabaikan potensi budaya. Satu contoh dalam rutinitas perayaan HUT Kota Denpasar yang hanya sekedar pameran dagang. Sarana bagi truna-truni (pemuda-pemudi) pun seharusnya tersedia sebagai wadah untuk mengeksplor potensi-potensi yang dimiliki mereka. Jadikanlah mereka subyek pembangunan bukan sekedar obyek,” sindirnya.
Dari semua permasalahan itu, termasuk masalah tata ruang dan kemacetan yang belum tertangani dengan maksimal, kata dia, sepertinya Kota Denpasar butuh pemimpin figur seorang ibu. Butuh sosok dari kalangan perempuan yang memiliki sifat bijaksana, mengayomi, mengasihi sepenuh hati dan memiliki empati yang besar terhadap masyarakatnya. Seorang figur pemimpin yang bisa merangkul semua kalangan tanpa membedakan latar belakang ekonomi dan sosial, namun tegas dan ulet dalam menegakkan dan merealisasikan visi-misi Kota Denpasar sebagai kota pariwisata budaya.
“Denpasar butuh figur seorang ibu yang dengan bijaksana mampu melakukan penataan penduduk, menata ruang hijau terbuka, serta menata sarana transportasi menjadi masal. Dan figur seorang ibu yang mampu mewujudkan Kota Denpasar sebagai kota yang lebih clean and green serta bebas banjir,” tegas Edi. (F.915) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment