Wednesday, October 5, 2016

NASIONAL

MA BABAK-BELUR

Gayus Lumbuun minta Presiden Jokowi terbitkan Perppu, 
Emerson Yuntho minta Ketua MA mundur

Sekjen MA, Nurhadi Abdurachman.
MAHKAMAH Agung (MA) Republik Indonesia jadi bulan-bulanan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap sejumlah orang di lingkup lembaga peradilan pada bulan Pebruari, April dan Mei 2016.
            Pada 13 Februari 2016 KPK menangkap Kasubdit Perdata MA, Andri Tristianto Sutrisna, karena menerima suap Rp 400 juta. Uang itu dari pelaku korupsi Ichsan Suaidi melalui kurir Pengacara Awang. Sejumlah nama hakim agung pun disebut-sebut.
Kemudian pada 20 April 2016 KPK kembali menangkap Panitera PN Jakpus, Edy Nasution, terkait suap pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat oleh Doddy Aryanto Supeno.
Dalam kasus yang diungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 20 April 2016, tersebut KPK sudah menetapkan 2 orang tersangka. Mereka adalah Edy Nasution dan seorang dari pihak swasta, Doddy Apriyanto Supeno. Dari tangan Edy, KPK menyita uang sejumlah Rp 50 juta. Namun, uang tersebut bukanlah pemberian pertama oleh Doddy kepada Edy. Pasalnya, Desember 2015, uang sejumlah Rp 100 juta telah diserahkan oleh Doddy kepada Edy. Sementara jumlah uang secara keseluruhan untuk memuluskan pengajuan PK tersebut adalah sebesar Rp 500 juta, yang sebagian belum dipenuhi oleh Doddy hingga saat ini.
Untuk mencari barang bukti, KPK sudah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi. Termasuk di rumah dan ruang kerja Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurachman. Dan hasil penggeledahan di beberapa lokasi tersebut, KPK menemukan uang sejumlah Rp 1,7 miliar dan sejumlah dokumen penting.
Sekjen MA, Nurhadi Abdurachman, diperiksa penyidik KPK selama delapan jam pada 24 Mei 2016. Saat ke luar ruangan, Nurhadi mengatakan, ia hanya ditanya terkait dengan tugas dan fungsinya sebagai Sekjen MA.
Nurhadi pun membantah telah menyembunyikan sopirnya, Royani, sehingga dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan penyidik KPK.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum mengetahui keberadaan Royani.
Yuyuk mengatakan, KPK masih terus berupaya menghadirkan Royani sebagai saksi untuk perkara suap panitera di PN Jakarta Pusat ini.
Edy Nasution dan Janner Purba saat ditangkap KPK.
Selanjutnya, pada 23 Mei 2016 KPK menangkap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu yang juga Ketua PN Kepahiang, Janner Purba, mantan Wakil Direktur Utama dan Keuangan RSUD M Yunus Bengkulu, Edi Santroni, mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD M Yunus, Syafri Syafii, Hakim Ad Hoc Tipikor PN Kota Bengkulu, Toton, dan Panitera PN Bengkulu, Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Modus penyuapannya adalah mempengaruhi putusan hakim terkait dengan perkara korupsi honor Dewan Pembina RSUD M Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Edi dan Syafri, yang menjadi terdakwa dalam perkara itu, diduga memberikan suap kepada Janner dan Toton agar diputus bebas.
Saat operasi tangkap tangan, penyidik menyita duit Rp 150 juta dari tangan Janner. Duit dari Syafri itu bukan pemberian pertama. Pada 17 Mei 2016, Janner mengaku menerima duit Rp 500 juta dari Edi.
Gayus Lumbuun.
“Kalau hakim apalagi di MA terlibat korupsi, maka negara ini bisa lumpuh,” kata Hakim Agung, Topane Gayus Lumbuun, dalam diskusi dialektika “Lembaga Peradilan di Pusaran Korupsi” di Jakarta, Kamis (26/5).
Karena itu Gayus Lumbuun minta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna mengatasi darurat lembaga peradilan akibat dari banyaknya kasus korupsi yang membuat kepercayaan publik makin merosot terhadap lembaga peradilan di tanah air. “Carut-marut yang menggemparkan ini, saya berpikir presiden harus segera menerbitkan perppu untuk pembenahan lembaga MA dan pencari keadilan,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menyambut baik diterbitkan perppu untuk pembenahan lembaga peradilan tersebut. “Kalau hakim apalagi di MA terlibat korupsi, maka negara ini bisa lumpuh. Apalagi jika korupsi itu sudah mendarah-daging, maka perlu langkah-langkah radikal untuk perbaikan. Berbeda jika legislatif yang terlibat korupsi,” tegas Arsul Sani.
Dia mencontohkan perubahan radikal dan reformasi peradilan di negara Ukraina pasca lepas dari Uni Soviet, di mana 5.000 hakim dari 10.270 hakim menjalani tes dan rekrutmen ulang, dan hasilnya mampu mewujudkan peradilan yang bersih dan kuat untuk menyelamatkan negara itu dari korupsi peradilan. “Untuk Indonesia, saya kira perlu melakukan langkah-langkah radikal tersebut, karena dari sisi kultur dan administrasi masih buruk dan itu seperti gunung es,” ujarnya.
Sedangkan Anggota Ombudsman, Laode Ida, menilai apabila pejabat di MA sudah terlibat korupsi, berarti kepala penegak keadilan di negeri ini sudah busuk. Ia mengibaratkan seperti ikan yang sudah tidak segar, kalau kepalanya sudah busuk, berarti seluruh tubuh ikan tersebut juga membusuk.
Korupsi yang sudah mendarah daging ini dinilainya sudah fatal, karena terjadi dalam pengambilan keputusan perkara di MA. Kasus suap maupun keputusan transaksional telah merugikan banyak orang. “Jadi, MA ini harus diamputasi. Kalau Presiden RI membiarkan, berarti terjebak dalam pembusukan peradilan negara ini. Kalau faktanya MA seperti ini, maka tidak ada harapan lagi bagi penegakan keadilan di negara ini, yakni hopless,” kata mantan Wakil Ketua DPD RI itu.
Sementara Hakim Agung Salman Luthan meminta publik tidak menilai hal ini sebagai cerminan aparat penegak hukum secara keseluruhan. Ia juga mengatakan bahwa kondisi dunia peradilan kita tidak segawat yang muncul di pemberitaan beberapa waktu terakhir ini. "Banyak permasalahan memang benar, tapi bukan gambaran umum lembaga secara menyeluruh," kata Salman di Jakarta, Rabu (25/5).
Menurutnya, kasus terbaru di mana Ketua PN Kepahiyang, Bengkulu, ditangkap KPK dengan empat orang lainnya, hanyalah cerminan dari sebagian masalah di bidang peradilan.
Ia menuturkan, sebagian masalah itu justru merupakan bagian dari pekerjaan rumah yang akan dibenahi MA. "Saya kira ini kan proses alamiah, ini kan terus berlanjut, tapi bagaimana MA merespon ini lebih responsif," ujarnya.
Ia juga tidak sependapat jika dikatakan sistem penanganan perkara di MA dinilai sangat buruk. Pasalnya, ia menilai MA juga sudah menuju kepada era keterbukaan manajemen perkara.
Juru bicara MA, Suhadi, enggan menanggapi pernyataan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, yang meminta Ketua MA, Hatta Ali, untuk mundur karena dinilai gagal dalam memimpin lembaga peradilan. "Silakan saja kalau hanya mengusulkan," kata Suhadi.
Emerson Yuntho.

Sebelumnya, Emerson meminta Ketua MA untuk mundur karena banyaknya hakim yang tertangkap dalam OTT KPK. Menurut Emerson, pengawasan hakim tak terlepas dari kepemimpinan MA. Ia menilai kepemimpinan Ketua MA, Muhammad Hatta Ali, masih lemah. "Kalau dia serius, MA tetapkan darurat korupsi peradilan. Jadi kayak ada instruksilah, ada pernyataan bahwa pengadilan dalam keadaan darurat korupsi," ucap Emerson. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment