Tuesday, March 25, 2014

MAKASSAR RAYA : KIP NILAI KEJATI SULSEL MELANGGAR HAK-HAK PUBLIK

SEPEKAN terakhir Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan menuai banyak sorotan dari kalangan jurnalis dan aktivis menyusul kebijakan institusi itu menutup informasi perkembangan sejumlah kasus korupsi untuk publik. Hingga Komisi Informasi Publik (KIP) Sulsel menilai langkah Kejati Sulsel itu keliru karena bisa dianggap merampas hak-hak publik.
“Kejati itu badan negara dan menggunakan anggaran negara sehingga seharusnya terbuka atau transparan dalam setiap melaksanakan aktivitasnya, apalagi menyangkut penanganan kasus korupsi,” tegas Ketua KIP Sulsel, Aswar, kepada wartawan, sambil menambahkan bahwa memang ada wilayah keterbukaan informasi publik yang diatur dalam undang-undang ada yang sifatnya tertutup dan ada yang harus terbuka. Misalnya proses penyelidikan, biasanya mereka tertutup untuk hal ini. “Seharusnya pihak kejaksaan mengekspose ke publik, apalagi yang sudah memasuki tahap penyidikan harus dibuka ke publik”.
Kejaksaan jangan hanya mengekspose kasus dugaan korupsi yang tidak ada kaitannya dengan uang negara, seperti Kades Tapong, Andi Farmila, yang dituding korupsi dan sudah dijadikan tersangka oleh pihak Polres Enrekang. Dan, yang paling mengejutkan, Kades Tapong telah dinonaktifkan oleh Bupati Enrekang atas desakan pihak kepolisian.
            Kenapa pihak Kejati sengaja menutup-nutupi kasus korupsi yang besar dan kenapa hanya korupsi yang nilainya Rp 45 jutaan seperti yang dituduhkan pada 4 kades dari Kabupaten Enrekang yang dibuka, sedangkan ada yang milyaran tidak dibuka secara transparan ? KPK saja sangat terbuka dalam menginformasikan kasus korupsi ditanganinya.
Aswar menyarankan Kejati membangun prinsip keterbukaan kepada pers dan aktivis, tujuanya agar publik bisa mengetahui perkembangan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya. Kalau ditutup-tutupi malah orang bisa memprediksikan macam-macam. “Jadi, kalau saran saya, terbuka saja,” kata Aswar.
Aktivis dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Cabang Sulsel pun menyayangkan tindakan Kejati yang menutup diri. Wahidin Kamase, Direktur PBHI Sulsel, mengatakan, jika Kejati menutup diri terus bisa dipersepsikan bahwa institusi ini sudah masuk angin dan ini juga pertanda kejaksaan tidak pro-pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya di Sulsel. Ada apa ? “Perkembangan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan harus terbuka di mana hak masyarakat atau publik ingin mengetahui perkembangannya. Kasus korupsi memuat kepentingan banyak orang sehingga tidak ada alasan kejaksaan menutupi perkembangan kasusnya”.
Wahidin mengatakan wajar ketika publik menaruh curiga pada Kejati. Menurut dia, perkembangan sebuah kasus korupsi bukan rahasia negara sehingga tidak ada alasan kejaksaan menutupinya dan publik berhak tahu perkembangannya. “Jika Kejati terus bersikap seperti ini maka PBHI minta Kejaksaan Agung RI melakukan pengawasan terhadap kebijakan Kejati Sulsel tersebut. Padahal sebelumnya Kejati Sulsel cukup transparan dalam membuka informasi kasus korupsi, tapi semenjak ada pergantian asisten pidana khususnya terjadi perubahan. (Tim)R.26


No comments:

Post a Comment